Seribu syukur aku panjatkan pada Tuhan sebab aksi kabur kemarin sama sekali tidak diketahui oleh suamiku. Mungkin dia sudah terlalu lelah dengan pekerjaan sampai tak menyadari kalau aku memakai baju rumahan begitu asal ditambah keringat yang mengalir di kening bekas berlari mengejar waktu. Aku begitu bangga pada kaki lemahku yang mampu diajak bekerjasama untuk berlari padahal jika diingat-ingat dulu aku merupakan seseorang yang amat payah pada bidang atletik karena cepat merasakan lelah.
Karena keberhasilan itu aku memberanikan diri lagi untuk kabur meskipun sedikit terlambat dari kemarin karena harus memasak untuk makan malam. Sekitar jam setengah lima aku baru sampai dengan tubuh menggigil akibat udara dingin yang disebabkan oleh derasnya hujan. Latte hangat aku pesan dan cangkirnya aku genggam erat-erat untuk menyalurkan hangat pada telapak tangan yang gemetaran. Lantai dua masih menjadi tujuanku karena aku ingin duduk lagi di tempat kemarin dan kembali berangan-angan akan hidup bebas yang amat aku inginkan meskipun sebenarnya amat jauh dari kenyataan. Hidupku sudah tersangkar dan dilabeli kata istri oleh orang itu. Entah sampai kapan aku seperti ini, entah sampai kapan aku mengenakan topeng berpura-pura bahagia, entah sampai kapan aku bertahan walau kenyataannya aku sudah begitu frustasi.
Latte dalam cangkir aku sesap pelan dengan mata memperhatikan jalan dari sisi yang tidak diketahui oleh mereka yang ada di sana. Lekuk senyum mereka tertangkap oleh retina dan seketika hati ini merasakan iri amat sangat. Sudah lama aku tidak tersenyum sebebas itu, sebab selama ini yang kutunjukan hanyalah kepalsuan belaka supaya tidak mendapat pertanyaan macam-macam dari mereka.
Jujur, aku lelah.
Juga, aku kesepian.
Kembali hal tersebut terlintas pada pikiran yang mana membuat aku kembali merasakan sesak. Hidupku sebelum menikah adalah masa terbahagia yang pernah aku rasakan, lalu kemudian hancur perlahan karena menikah dengannya. Aku menjadi sendirian dengan terkekang aturan konyol buatan orang itu. Aku benar-benar kesepian.
"Aku boleh duduk di sini?"
Aku terkejut. Kutolehkan kepala cepat-cepat pada sumber suara yang ternyata berasal dari seorang pria bertubuh tinggi yang berdiri tepat di samping meja. Hangat suaranya membuatku langsung teringat pada latte dalam cangkir yang tersisa sedikit. Aku tentu saja mempersilahkannya dengan senang hati karena akhirnya ada yang menempati kursi kosong itu. "Silahkan."
Dia memberikan senyum yang tanpa sadar membuatku ikut tersenyum.
Aku .. bahagia.
Orang itu tidak mengatakan apa-apa lagi setelahnya. Dia terdiam dengan ekspresi canggung yang begitu lucu. Aku kemudian menolehkan kepala kembali pada kaca. Aku diam juga, namun dalam hati sedang tertawa. Aku tahu, dia ingin berbicara sesuatu lagi namun sepertinya .. tertahan? Hei, mengapa memangnya? Bicara saja, jangan diam seperti itu. Aku akan menanggapinya dengan senang hati atas wujud rasa terimakasihku karena sudah duduk di kursi itu. Apapun topiknya, akan aku tanggapi. Jangan terdiam kaku seperti itu sambil terus menatapku.
Masalahnya .. jantungku berdebar dengan tempo tidak normal sekarang.
Aku tidak tahu apa ini.
"Ah.." Aku beralih melihatnya. Mati-matian aku sembunyikan rasa antusias karena akhirnya dia kembali membuka suara. "Aku tidak mengganggu, kan?"
Aku menggelengkan kepala. "Tentu tidak." Dia sama sekali tidak mengganggu. Aku malah membutuhkannya untuk mengatasi sepi dan menyelamatkanku dari angan-angan tinggi yang hanya membuatku berharap banyak kemudian dihempas oleh kenyataan.
"Sedari kemarin aku melihatmu di sini. Sedari kemarin juga aku berniatan untuk duduk di hadapanmu lalu mengajakmu berbicara ̶ " tiba-tiba dia berhenti. Aku menyeritkan dahi. "Maaf, aku terlalu jujur dan banyak bicara."
Oh, aku baru menyadari kalau pria ini adalah seseorang yang memperhatikanku kemarin.
"Tidak apa-apa," ucapku dengan gelengan kepala. Ada suatu perasaan dalam yang tak bisa kujelaskan dalam lubuk hati sebab mendengar pernyataannya yang ingin mengajakku bicara. Maksudku, seiring dengan bertambahnya zaman, keramahan begitu juga kepedulian terhadap orang lain semakin terkikis apalagi terhadap orang asing seperti diriku ini baginya. "Omong-omong kenapa?" Aku sedikit salah tingkah dengan caranya menatapku. "Jarang sekali melihat orang lain ingin mengobrol dengan orang asing. Mengingat zaman terus bertambah, semakin bertambah pula ketidakperdulian manusia pada manusia lain."
Pertanyaanku tidak aneh, kan?
"Hanya .. aku tidak bisa melihat seseorang duduk sendirian dan terlihat kesepian."
Aku tertawa. Dia mengetahui apa yang sedang aku rasakan. Apakah aku menunjukan kesepianku terlalu jelas sampai dia mengetahuinya? Tapi, aku senang karena dia menyadarinya sehingga mengajakku berbicara. Aku perlahan merasakan kenyamanan.
Andai suamiku seperti ini.
Pernyataan jujurnya hendak kujawab untuk melanjutkan obrolan. Namun ponselku yang tersimpan dalam saku berbunyi nyaring. Seketika ketakutan menyergap kala mendengar suara suamiku yang mengatakan kalau dia sudah tiba di rumah dan tidak mendapatiku di manapun. Sial, mengapa harus hari ini? Ini benar-benar di luar dugaan.
Entah apa yang akan aku dapat darinya, aku harus siap untuk itu.
Tidak, aku sangat takut.
"Maaf, suamiku sudah menungguku pulang."
Demikian pamitku karena pikiran sudah tidak lagi fokus pada apapun. Aku buru-buru pergi dengan meninggalkan cangkir kosong pada meja juga dia yang tetap duduk di sana. Maafkan aku, Tuan yang tidak kuketahui namanya. Aku ingin mengobrol lama denganmu namun seseorang sudah menungguku di rumah.
Mungkin, kita bisa bertemu besok, kalau aku baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Mate
FanfictionGurat takdir Tuhan mempertemukan kita di meja kotak dua kursi dekat kaca dengan pemandangan jalan yang tak pernah ingin sepi. Larut kita dalam berbagi kata sampai tak sadar kita juga berbagi rasa. © 2020 - Njuneoclear a.k.a Ciya (Biasakan melihat ta...