Tegukan Ketigabelas, J

946 238 1
                                    

Bodohnya aku baru teringat aku meninggalkan jenga di rumah saat sudah mendorong pintu café. Entah mengapa hari ini aku seperti kehilangan fokus sampai hal terkecil pun aku bisa sampai lupa. Aku tak henti menepuk kening saat memesan kopi, sampai barista yang membuat pesananku bertanya apa hal yang membuatku tak henti melakukan hal itu sambil bergumam tidak jelas. Aku menjawab kalau hari ini sel otakku mengalami gangguan jaringan sehingga tidak dapat menyambung satu sama lain. Jawaban yang kacau, barista itu menertawakanku sambil mendorong nampan coklat. Dia berkata semoga kopi ini membantu menyambungkan jaringan-jaringan yang ada di otak. Semoga saja. Pertemuanku dengan Renjun bisa kacau kalau seperti ini ceritanya.

Sebelum aku menaiki tangga, aku teringat sesuatu. Aku kembali menuju meja barista untuk meminta dua kertas dan kalau bisa dua pulpen. Aku teringat satu permainan yang cukup seru untuk dimainkan bersama Renjun. Barista itu tentu saja bertanya untuk apa dua hal tersebut, yang aku jawab untuk membuat daftar minuman favorit yang pernah aku coba di sini. Tentu saja aku berbohong dan barista itu tahu, tapi tetap aku diberikan dua kertas beserta dua pulpen dengan perjanjian pulpen tersebut dikembalikan setelah dipakai. Tentu saja aku akan mengembalikannya tanpa perlu diminta.

Kertas dan pulpen aku kantungi. Nampan digenggam erat-erat sambil menapaki tangga. Sampai di lantai dua meja yang biasa aku dan Renjun tempati masih kosong. Tentu saja, karena selalu aku yang datang duluan dan Renjun akan datang sepuluh menit setelah aku datang. Aku sudah hapal tentang hal itu di luar kepala.

Sesuai perkiraan, Renjun datang sepuluh menit kemudian dengan senyum secerah langit. Matanya berbinar diterpa sinar sehingga pupil coklat itu semakin terlihat begitu indah. Kepolosan terpancar di sana, membuatku semakin gemas padahal dia hanya diam begitu. Aku kemudian membalas senyumnya. "Apa yang kamu pesan hari ini?"

"Moccachino lagi." Dia menyesap sedikit cairan yang ia bilang moccachino. Cangkir lalu diletakkan di meja berdampingan dengan cangkir milikku. "Aku ingin minuman manis." Renjun seperti mencari sesuatu. Sepertinya dia mencari paper bag yang kemarin aku bawa. "Mana jenganya?"

Tuh, kan tebakanku benar. Aku mengusap tengkuk. "Aku lupa membawanya," jelasku penuh rasa bersalah.

Aku makin meruntuki kebodohanku yang lupa membawa jenga. Renjun membuat ekspresi kecewa dan bibirnya mengerucut. Semangatnya seperti menguap begitu saja. Aku buru-buru mengeluarkan kertas serta pulpen yang aku pinjam. Renjun menatapku dengan pandangan bertanya. Aku lalu menjelaskan, "Kamu tau permainan bingo bukan?"

"Aku tahu."

"Maaf, aku baru ingat aku meninggalkan jenga saat sudah sampai di sini. Hari ini kita bermain bingo saja, ya?" Aku menatapnya memelas, antara meminta maaf dan meminta persetujuan untuk permainan hari ini. Renjun akhirnya mengangguk. Aku dibuat lega. Aku memberinya selembar kertas dan satu buah pulpen. "Hukumannya ingin tetap sama atau berbeda?"

"Sama!" Renjun menjawab cepat penuh semangat. Aku tertawa. Sepertinya Renjun ingin melihat aku menari lagi di pinggir jalan seperti kemarin. "Aku mau kamu menari lagi di sana!" Dia menujuk jalan dengan semengat.

"Kalau kamu yang kalah?" Tanyaku jail.

Telunjuknya menjauhi kaca. Renjun menipiskan bibir yang mana membuat pipi gembilnya menggembung. Aku kembali dibuat gemas dengan tingkah kecil yang dia lakukan. "Aku yang menari di sana."

"Kamu yakin?"

"Limapuluh persen, sih. Aku belum seberani itu."

"Kalau begitu, ayo mulai supaya tahu siapa yang kalah hari ini. Aku lagi atau malah kamu."

Kertas aku taruh di permukaan nampan sebagai alas. Lalu, mengangkatnya agar Renjun tidak melihat angka-angka yang aku tulis secara acak dalam duapuluh lima kotak. Renjun melakukan hal yang sama. Dia benar-benar menyembunyikannya sampai wajahnya tertutup nampan. Aku lekas tertawa.

Coffee MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang