Tegukan Kedua, J

3.3K 465 55
                                    

Esok harinya hujan kembali datang menyapa bumi seperti aku yang juga kembali datang ke cafe ini setelah susah payah menerobos dirinya. Aku duduk di tempat yang sama seperti kemarin dengan harapan yang tinggi akan kamu yang juga kembali datang ke tempat ini. Tapi, sampai jarum panjang pada jam tangan menunjuk tenggara, sampai cairan pahit pada cangkir tak lagi hangat, manis wajahmu belum menyapa pandangan. Tempat dudukmu kemarin makin hampa kelihatannya disapu oleh pendingin ruangan. Aku hampir menyerah pada kenyataan dan berniat untuk pulang karena kamu tak kunjung datang seperti dugaan. Namun, kamu seperti meledek niatku; kamu akhirnya datang dengan coat berbeda warna namun syal tetap sama. Cangkir porselen dengan uap panas menari di atasnya mendarat pada meja. Wajahmu ditolehkan kembali ke luar, namun masih bisa kulihat rona merah di pipimu yang disebabkan oleh cuaca dingin. Aku tak sadar tersenyum melihatnya.

Semalam suntuk aku memantapkan hati untuk menyapamu hari ini sampai rasanya kepala ingin pecah. Tapi lebur sudah kemantapan itu saat melihat wajahmu. Aku gemetaran. Aku ditertawakan oleh keraguan. Hangat mendadak dingin. Aku ketakutan padahal hanya ingin duduk di hadapanmu lalu menyapamu. Sihir apa yang sudah kamu mantrakan kepadaku sampai ingin bangkitpun rasanya tidak mampu?

Aku masih tetap diam di sini sementara mata terus terpaku pada eksistensimu yang juga terus terdiam tanpa berniat untuk bergerak atau menoleh memperhatikan sisi lain selain jalan yang nampaknya begitu menarik sedari kemarin.

Hatiku berkata, "Duduklah di kursi kosong itu."

Tapi pikiranku berkata lain, "Diam saja di sini."

Pada akhirnya hatiku mengkhianati pikiranku. Aku mengambil cangkir dan lekas menghampirimu, berdiri di samping meja seperti orang bodoh dengan kaki gemetaran. "Aku boleh duduk di sini?"

Waktu seakan membeku saat mataku bertemu dengan matamu yang akhirnya berpaling dari luar dan menatapku begitu terkejut. Berkilat pupil hitam itu terkena cahaya lampu membuatnya seperti tengah berbinar-binar. Entah kata apa yang tepat untuk mengilustrasikan kedua bola mata jernih milikmu, sebab indah ataupun cantik terlalu sederhana untuk itu. Matamu seakan menghisapku, lalu membuai jiwaku, sampai seperti kehilangan akal diriku. Matamu ternyata sebegitu berbahaya jika dilihat dari jarak sedekat ini sampai terlintas pikiran: apakah kamu benar-benar memiliki mantra pembuat hilang akal? Aku kehilangan kendali atas diriku, yang ingin kulakukan adalah melihatmu terus menerus. Apa yang sebenarnya sudah kamu lakukan padaku, wahai pemilik syal merah dengan wajah manis mengesankan?

Aku spontan berkedip ketika bibir itu bergerak. "Silahkan."

Tak pernah aku merasakan sesenang ini ketika seseorang mempersilahkan keinginanku. Senyum aku berikan sebelum duduk di kursi yang sejak kemarin seperti memanggilku untuk duduk di sana. Aku berdeham canggung. Wajah aku kontrol mati-matian agar tidak membuat kesan aneh. Cangkir lalu aku dekatkan pada bibir meskipun faktanya sudah tidak ada apa-apa lagi di sana. Kopiku tandas sejak tadi karena menunggumu, sebab itulah aku berniat pulang. Tapi nyatanya kamu datang dan aku duduk di hadapanmu sekarang penuh kegugupan. Aku tidak tahu harus berbuat apa.

Ada banyak kata yang ingin aku lontarkan sebagai pembuka obrolan. Namun, tertahan itu semua pada pangkal tenggorokan dan akhirnya aku tetap terdiam menatapmu yang kembali melihat keluar dengan wajah seperti biasanya. Buruk. Aku membuat kesan buruk. Aku sekarang seperti orang bodoh di hadapanmu.

"Ah.." Itu terlontar tak terencana. Aku mengutuk diri dalam hati. Namun akhirnya kamu melihatku kembali dengan kepala sedikit dimiringkan. Matamu menatapku. Mendadak aku seperti lupa cara untuk bernapas. Otak segera mengirimkan sinyal untuk menghirup oksigen kalau tidak ingin terjerembab kehilangan sadar. Aku mencoba bernapas normal dan menyembunyikannya dengan senyum seperti tak terjadi apapun. "Aku tidak mengganggu, kan?"

Rambutmu bergoyang selaras dengan gelengan kepala. "Tentu tidak."

Aku mengetuk punggung jemari pada meja. "Sedari kemarin aku melihatmu di sini. Sedari kemarin juga aku berniat untuk duduk di hadapanmu lalu mengajakmu berbicara ̶ " Aku tersadar kalau aku bebicara terlalu panjang sebagai pembuka obrolan. Ah, wajahku hendak ditaruh di mana kalau seperti ini. "Maaf, aku terlalu banyak bicara."

Kamu menggeleng kembali dengan senyum tipis terlukis pada bibir merah mudamu. Aku lagi-lagi terpaku. Kamu ternyata semakin manis kalau sedang tersenyum seperti itu. "Tidak apa-apa."

Lembut suaranya..

"Omong-omong, kenapa?" pertanyaanmu membawaku kembali pada kenyataan setelah aku terbuai pada bayang-bayang indah yang kamu ciptakan sebab senyum tipis itu. Matamu menatapku. Aku dibuat salah tingkah. "Jarang sekali melihat orang lain ingin mengobrol dengan orang asing. Mengingat zaman terus bertambah, semakin bertambah pula ketidakperdulian manusia pada manusia lain."

"Hanya .. aku tidak bisa melihat seseorang duduk sendirian dan terlihat kesepian."

Tawa lantas mengalun renyah dari bibirmu, menghantam kepalaku lalu turun membuat rasa menggelitik pada perut. Tawa manis yang ternyata mengandung opium si pembuat candu. Aku pikir hanya matamu saja, tapi ternyata tawamu juga memiliki mantra yang membuat korbannya seperti kehilangan akal sampai berbicarapun rasanya tidak bisa.

Korbannya adalah aku.

Aku kehilangan kemampuan berbicara untuk sekejap karena tawamu.

Tawamu .. indah.

Sebuah suara yang ternyata berasal dari ponselmu membuatku kembali pada dunia. Kamu langsung mengangkatnya saat itu juga. Wajahmu mendadak berubah ketakutan. Perasaanku menjadi tidak enak. Ponselmu lalu menjauh dari telinga dan aku menunggu kalimatmu dengan tidak sabar.

"Maaf, suamiku sudah menungguku pulang."

Aku terpaku, bukan karena tersihir, namun karena tertampar kenyataaan.

Aku jatuh pada dasar kekecewaan.

Coffee MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang