Tegukan Kesembilanbelas, R

888 230 2
                                    

Aku terbangun dengan kepala terasa sakit. Lantas aku menyadari kalau kepalaku terluka sebab terasa lilitan perban di sana juga bau obat merah yang teramat menyengat. Aku benar-benar tidak berdaya bahkan untuk duduk pun aku tidak bisa. Suara derit pintu lalu membuat atensiku beralih. Suamiku datang dengan semangkuk bubur dan teh hangat teralas nampan. Aku sempat menolak ketika dia hendak membantuku duduk karena demi apapun kejadian di mana dia mendorongku masih teringat jelas dan itu membuatku meringis. Aku ketakutan. Aku takut dengannya. Namun, dia tetap mendekat, memelukku dengan lembut lalu membantuku untuk bersandar. Jelas aku terkejut karena ini bukan seperti dirinya. Aku mengenalnya sebagai sosok keras, bukan penuh kelembutan seperti ini. Pasti ada sesuatu yang terjadi selama aku tidak sadarkan diri.

"Berapa lama aku tidak sadar?" Sendok yang mengarah pada mulut aku tepis. Keanehan lain terjadi; dia tidak memaksaku sama sekali. Sendok diletakkan kembali pada mangkuk. Aku menatapnya heran. "Apa begitu lama sampai merubah sifatmu itu?"

"Dua hari, mungkin?" Aku membulatkan mata. Maksudnya, mengapa aku selemah itu? Hanya karena terbentur lalu terluka bisa sampai tidak sadar dua hari? Aku tidak percaya, tapi dia mengangguk kecil. Aku menghembuskan napas. "Ada trauma di kepalamu."

"Karenamu." Aku mengusap perban yang melilit kepala. "Aku seperti ini."

"Maafkan aku."

Lagi-lagi aku terkejut. Seseorang ditaktor seperti dirinya yang begitu anti dengan kata maaf tiba-tiba meminta maaf kepadaku? Sebenarnya, apa yang terjadi selama aku tidak sadarkan diri sampai orang ini berubah sedemikian kontrasnya? Entah karena merasa bersalah, atau ada hal lain. Aku begitu penasaran. "Ini bukan kamu."

"Ini aku."

"Kamu tidak seperti ini."

"Seseorang berkata, kalau ingin dicintaimu, maka harus membuatmu merasa dicintai."

Aku merasa familiar dengan kalimatnya. Satu nama langsung terlintas yang mana membuatku teringat sesuatu. Jeno. Aku lupa untuk bertemu dengannya. Pasti dia seharian menungguku namun aku tidak datang karena luka di kepalaku ini. Aku melihat jam pada nakas. Jam empat sore, waktu temu yang sudah kita janjikan. Menghiraukan sakit di kepala, aku bangkit dengan tergesa namun ditahan oleh suamiku. Aku berontak dengan sekuat tenaga. Sebab tubuh yang lemas aku langsung kalah. "Lepaskan aku."

"Kamu masih sakit, Renjun."

"Aku ingin bertemu Jeno!" Aku menekankan setiap kata yang aku ucap dengan mata menatapnya tajam. Tangan aku tepis namun sia-sia. Aku tetap dipeluknya erat. "Lepaskan aku, kumohon. Aku ingin bertemu dengannya."

Dia memelukku erat. Luruh sudah air mata yang kutahan. Membayangkan Jeno yang menungguku membuatku benar-benar merasa bersalah. Pasti dia benar-benar kecewa denganku karena tidak menepati janji. Dadaku sesak. Tangisanku mengencang. "Tolong, aku ingin bertemu Jeno."

"Renjun." Lembut namaku disebut. Pelukan terlepas. Dia memegang bahuku tak kalah lembut. Matanya menatapku lekat yang sama sekali tak bisa kuartikan apa maksudnya. Panik makin menyerang. Aku masih ingat sekali perkataan dia yang akan menemui Jeno. Aku takut Jeno tidak dalam keadaan baik. "Dia tidak akan menemuimu lagi."

"Bohong!" Bohong. Itu hanya bohong. Jeno tidak mungkin berkata seperti itu. Tidak mungkin Jeno tidak menemuiku lagi. kita masih bisa bertemu. Kita masih bisa mengobrol. Kita masih bisa bertukar cerita. Kita masih bisa bermain jenga. Kita masih bisa bermain semua permainan yang belum kita coba. "Kamu bohong! Itu akal-akalanmu saja supaya aku tidak bertemu dengannya lagi!"

"Renjun." Dia masih memanggilku lembut. "Dia yang mengatakan sendiri kepadaku kemarin."

"Pasti kamu yang mengancamnya." Matanya bergetar. Aku tertawa lirih. "Benar, kan?"

"Tunggu sebentar."

Dia bangkit. Tubuhku yang sudah lemah makin melemah. Jatuh aku pada sandaran dengan air mata yang tak kunjung berhenti.

Jeno tidak mungkin berkata seperti itu. itu hanya bohong belaka. Perkataan yang dibuat-buat. Dia membual.

Aku kembali menatapnya karena tanganku digenggam lembut. Dia duduk kembali di sisi tempat tidur. Telapak tanganku dibuka. Sepucuk surat sampai di sana. Surat berwarna biru pudar dengan namaku tertera di sana. "Dia memberikan ini kepadamu."

Surat itu kuremas.

"Dia menyuruhmu untuk membacanya saat keadaanmu sudah membaik."

Surat itu tak lagi sepenuhnya kering. Air mata jatuh membuat titik gelap di sana.

Napasku sudah tidak lagi beraturan saat membaca namanya di bawah namaku.

Untuk, Renjun.

Dari, Jeno, coffee mate-mu. 

Coffee MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang