Meskipun aku sudah hidup duapuluh lima tahun di dunia ini, tidak pernah sama sekali aku merasakan yang namanya jatuh cinta karena sebagian besar hidupku benar-benar dihabiskan dengan ambisi penuh untuk terus menjadi nomor satu sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan hal demikian. Mencoba pun percuma karena aku tidak ada minat untuk itu. Orangtuaku lalu memintaku untuk menikah dengan anak dari teman mereka. Aku menerimanya meskipun aku tahu tidak akan ada cinta di antara kita. Dan, benar terbukti. Aku tidak bisa mencintainya, malah membencinya karena perlahan dia menghancurkan hidupku.
Sampai aku bertemu dengan Jeno, di sini.
Sejak pertemuan kedua, Jeno perlahan seperti masuk ke dalam pikiranku lalu mengacaukannya. Bayangan Jeno selalu hadir dimanapun aku berada. Sampai aku hendak tidur, pasti terbayang sosok Jeno tengah tersenyum kepadaku dan tanpa sengaja aku akan mengucapkan selamat tidur kepadanya meskipun aku tahu itu tidak akan sampai. Aku yang biasanya selalu sabar akan selalu, perlahan menjadi seseorang yang tidak sabaran; aku tidak sabar sore datang karena aku ingin bertemu Jeno. Dan, aku paling benci jika jarum pendek di jam tangan sudah menunjukkan angka lima begitu juga langit yang berubah oranye, karena aku berpisah dengan Jeno.
Kebahagiaan yang tiga bulan ini menjadi anganku akhirnya menjadi kenyataan. Bercerita sekaligus bertukar canda sampai tertawa terbahak-bahak dengan Jeno membuatku merasa bahagia lagi. seperti yang aku katakan waktu itu, Jeno menjemputku dari kesepian. Aku merasa hidup lagi. aku merasakan kebebasana lagi. aku merasa aku menjadi diriku sendiri karena Jeno. Semuanya tentang Jeno.
Jeno perlahan menjadi sosok penting di hidupku.
Suatu malam aku menyadari kalau ada suatu getaran aneh yang selalu aku rasakan saat bersama dengan Jeno. Getaran yang tidak bisa aku ungkap dengan kata-kata saking membingungkannya. Getaran yang meskipun dideskripsikan dengan gerakanpun tidak akan pernah tersampaikan maksudnya. Aku perlahan mencari, dan aku menemukan jawabannya. Jawaban yang mana membuat kalimat 'aku tidak pernah jatuh cinta selama hidupku' terpatahkan.
Aku sudah banyak mencari dan membaca, tapi aku masih penasaran. Lantas, aku memberanikan diri untuk bertanya pada Jeno tapi kusangka aku mendapat cerita juga pernyataan yang membuatku tak bisa berkata-kata.
Jeno pernah jatuh cinta pada seseorang yang sudah menikah.
Aku menaruh harapan besar sebab itu.
Namun, cerita Jeno berakhir tidak baik dan aku menjadi was-was.
Aku lalu bertanya, kalau itu terulang dia akan bagaimana?
Karena aku akan membuatnya jatuh cinta kepadaku.
Jeno menjawab, dia akan kembali menjadi pendosa.
Aku bersorak.
Kenyataan kalau setan sudah mengambil akal sehatku sampai bahagia dan berencana membuat seseorang kembali menjadi pendosa membuatku tertawa geli dalam hati.
Tapi, bahagiaku cepat-cepat tergantikan kekecewaan teramat sangat karena Jeno mengatakan tidak akan mengulangnya lagi, yang berarti aku tidak ada kesempatan membuatnya jatuh cinta kepadaku.
Aku marah karena itu.
Sampai di rumah yang hanya aku lakukan adalah menangis. Menangisi kebodohanku karena berangan terlalu tinggi. Aku sebenarnya tahu kalau berangan tinggi itu akan hanya menimbulkan kekecewaan. Tapi, aku bodoh, aku malah melakukannya. Persetan dengan suamiku yang terus bertanya apa yang membuatku menangis, aku tidak perduli. Aku ingin meluapkan segala amarah dan kekecewaanku dengan tangisan. Aku tahu Jeno tidak ada salah apapun di sini (malah dia sedang memperbaiki diri), namun aku marah kepadanya. Aku marah kepadanya karena membuatku kecewa. Aku lalu tertidur dengan air mata terus mengalir di pipi.
Aku terbangun di jam dua pagi. Aku duduk di balkon dengan tubuh dilapis selimut. Udara dingin terus berhembus membuat rambutku makin berantakan sebabnya. Aku termenung. Aku melamun. Aku pernah membaca di internet kalau malam itu akan ada banyak pikiran acak yang datang, membuat sakit kepala dan dadapun ikut sesak. Dari sekian banyak pikiran yang datang, tetap Jeno menjadi permasalahan utamanya. Aku ingat kalimatnya lagi dan karena itu aku menangis lagi. Aku menangis tanpa suara, biar mataku saja yang berbicara.
Pagiku seperti tak ada jiwa. Aku terus termenung di mata sembab. Kapan suamiku pergi pun aku tidak tahu. Aku hanya duduk di sofa dengan mata menatap kosong ke depan. Di sore hari, aku tidak sadar aku beranjak bersih-bersih diri dan memakai pakaian yang biasa aku pakai untuk pergi ke café. Tidak sadar juga aku sudah sampai dan sekarang duduk di depan Jeno yang menatapku bingung.
"Renjun, kenapa?"
Jeno terus bertanya seperti itu karena aku tak kunjung menjawab.
Semalam aku banyak berpikir dan aku memutuskan sesuatu.
Hari ini aku memberitahu Jeno kalau aku jatuh cinta padanya.
Biarlah aku yang memulai walaupun akhirannya akan menjadi pahit.
"Jeno." Air mataku mengumpul di pelupuk. "Aku ̶ "
"Renjun!"
Kalimatku terhenti. Aku membeku di tempat. Tidak perlu menebak lagi siapa yang memanggil barusan. Aku menunduk begitu dalam dengan jantung makin berdebar tidak karuan. Dalam satu tarikan aku dibuat berdiri. Di pandanganku yang mulai mengabur, aku melihat Jeno berdiri dari bangkunya. Satu kedipan, air mataku luruh, bertepatan dengan Jeno yang mendapat tinjuan di pipinya. Aku menangis makin menjadi karena Jeno terjatuh menghantam bangku.
Malaikat hitam itu datang tidak diundang.
Pemandangan terakhir yang aku lihat adalah Jeno yang memegangi pipinya lalu aku ditarik kencang menuruni tangga seperti tidak ada rasa kasihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Mate
FanfictionGurat takdir Tuhan mempertemukan kita di meja kotak dua kursi dekat kaca dengan pemandangan jalan yang tak pernah ingin sepi. Larut kita dalam berbagi kata sampai tak sadar kita juga berbagi rasa. © 2020 - Njuneoclear a.k.a Ciya (Biasakan melihat ta...