Tegukan Ketujuh, R

1.3K 305 3
                                    

Langit cerah terhias awan putih menjadi temanku dalam melangkah menuju café yang tersisa beberapa meter lagi di depan mata. Di empat meter sebelum pintu, aku mendongak untuk melihat sosok Jeno yang melamun dengan cangkir (yang kutebak pasti isinya adalah Americano) dalam genggaman tangan. Kesempatan aku ambil untuk menatap pria dengan senyum bagai bulan sabit itu begitu lekat sebab aku tak akan pernah berani melakukan hal tersebut langsung di hadapannya. Ada sesuatu yang membuatku merasakan getaran halus ketika mencoba nekat menatapnya lalu kemudian merasakan kapok karena sebegitu hebat efeknya. Tanpa sadar Jeno menjadi sosok yang berbahaya. Dia berbahaya karena membuatku merasakan suatu perasaan yang pernah kutemui pada siapapun.

Ini sudah pertemuan yang kesekian kali sehingga aku berani menyimpulkan demikian.

Tatapan kita bertemu. Jeno melambaikan tangan dengan senyum yang menular pada bibir; aku ikut tersenyum dan melambaikan tangan meskipun mataku sedikit bergeser ke arah lain asal tak tepat pada mata jelaganya yang sejernih telaga. Bibirnya bergerak mengucapkan sesuatu. Aku tahu dia menyuruhku untuk segera datang karena sembari berucap dia juga menunjuk kursi yang biasa aku tempati. Aku mengangguk cepat dan segera melangkah masuk ke dalam café.

Hari ini aku memilih memesan Americano dan kue kering supaya manis juga tercecap pada lidah. Seniorku yang memberitahukan aku soal kombinasi ini ("Setelah minum Americano yang pahit, cobalah mengunyah kue kering yang manis."). Dia mengatakan Americano dan kue kering ini melambangkan kehidupan yang senantiasa berotasi antara manis dan pahit. Aku menyadari kalau perkataannya memang benar. Kehidupan ini tak selalu pahit juga tak selalu manis, akan tterus berotasi keadaannya. Makanya aku percaya kalau nanti aku bisa menjemput manis meskipun masih terasa jauh.

"Sudah lama?"

"AKu baru datang." Cangkir diletakkan di atas meja. Aku dipersilahkan untuk melihat isinya. "Masih penuh."

"Masih penuh atau sengaja kamu lambatkan minumnya?"

Jeno tertawa.

Sepuluh detik tawa Jeno begitu berharga sampai aku tenggelam dalam senyuman konyol yang mungkin membuatku terlihat seperti orang bodoh. Aku mendengus geli setelahnya lalu menertawakan kebodohanku di hadapannya. Tawa Jeno sudah berakhir dan tersisa senyuman kecil di bibir. "Americano ini panas."

"Punyaku juga panas."

"Kamu pesan Americano juga?"

"Aku ingin." Piring berisi kue kering aku geser ke tengah. "Ada kue kering juga."

"Boleh aku ambil satu?"

"Mau bayar berapa?"

"Bukankah kamu menawarkan ini padaku?"

"Aku tidak bilang begitu."

Kita tertawa.

Entah, bersama dengan Jeno membuatku nyaman melempar candaan seperti ini. Aku tidak perlu takut akan tatapan tajam seperti halnya suamiku lakukakn ketika aku mencoba mengajaknya bercanda. Karena Jeno akan menaggapinya dengan candaan juga seperti yang barusan dia lakukan, lalu kita akan berakhir dengan tertawa.

"Renjun."

Aku tidak tahu kalau namaku terdengar begitu indah ketika diucapkan olehnya. Aku menggeser bangku untuk lebih mendekat dan mendengarkan apa yang Jeno ingin katakan padaku. "Apa?"

"Bisakah kita menjadi teman?"

"Teman?"

"Tapi, teman yang hanya bertemu di sini. Ketika di luar café, kita kembali menjadi sosok asing, seperti tak mengenal satu sama lain."

Aku tidak mengerti mengapa Jeno membuat batasan seperti itu jika ingin berteman denganku. Maksudnya, aneh, mengapa kita hanya berteman di satu tempat dan jika keluar dari tempat tersebut kita bukanlah siapa-siapa. Aku berniat untuk bertanya karena sejujurnya aku sama sekali tidak terima. Namun, sorot matanya yang seperti memohon membuat urung. Lagipula ketika aku pikir lagi memang kita hanya bisa bertemu di sini saja karena kalau di tempat lain pasti aku bersama suamiku dan aku tidak akan bebas kalau ada dirinya.

"Coffee mate? Sebutan untuk kita berdua." Aku pernah mendengar istilah itu dari salah satu film yang pernah kutonton. Dua tokoh dalam film tersebut selalu bertemu di café yang sama lalu memutuskan untuk berteman. Mereka berbagai obrolan ditemani kopi di meja, sama halnya seperti aku dan Jeno sehingga aku berpikir kita cocok dengan sebutan itu.

"Coffee mate? Kedengarannya bagus." Jeno menyesap Americano-nya lalu memakan kue kering yang aku sediakan. "Kue kering ini penyelamat lidah dari kepahitan."

"Itu sebabnya aku membeli ini."

Jeno mengangguk lembut. "Jadi, apa yang coffee mate biasa lakukan"

Aku menggeleng. "Aku tidak tahu."

"Bisakah coffee mate saling bercerita tentang hidupnya masing-masing?"

Aku berpikir sejenak. "Tentu saja." Aku menyetujui karena aku ingin bercerita pada Jeno tentang hal yang aku alami sekarang. Mungkin dengan itu beban di hatiku sedikit berkurang meskipun sama sekali tak menemukan solusi. Lagipula, aku lebih suka didengarkan daripada diberikan solusi. "Siapa dulu yang ingin bercerita?"

"Ingin suit?"

Aku tak bisa untuk tidak tertawa dengan usul Jeno yang terdengar konyol. Maksudku, dengan suit untuk menentukan siapa yang bercerita?

"Kenapa tertawa?" Jeno bertanya begitu polos. Bukannya berhenti, tawaku semakin mengencang. "Renjun?"

"Aneh saja, mengapa suit?"

"Lalu mau dengan apa?"

Aku mendengus geli. Tanganku lalu terulur. "Oke, ayo suit."

Jeno mengeluarkan batu, aku mengeluarkan kertas. Kita saling menatap dengan kening dikerutkan, lantas tertawa karena sepertinya memikirkan hal yang sama. "Kalau menang menjadi yang pertama atau terakhir?"

Jeno menjawab, "Yang pertama?"

"Baiklah." Aku mengangguk-angguk. Tangan dikembalikan pada saku. "Besok aku akan bercerita."

"Pasti kamu ingin pulang."

"Tentu saja." Aku menghabiskan Americano pada cangkir dalam sekali teguk. Pahit benar-benar terasa sampai aku menyerit. Buru-buru mengambil kue kering yang kebetulan tersisa satu dan dibawa ke mulut. Manis menyebar begitu cepat memenuhi rongga mulut menggantikan rasa pahit sebelumnya. "Aku pamit dulu. Sampai jumpa besok."

Jeno tersenyum begitu lembut. Rasa manis pada kue kering tergantikan oleh senyum manisnya. Kalau tak buru-buru berpaling, bisa-bisa aku terjebak dalam rayu tak bersuara dari bulan sabit yang terbit di pukul empat sore, alias mata Jeno ketika ia terseyum. "Hati-hati."

Aku melangkah begitu ringan menuju tangga. Sebelum benar-benar turun, aku berbalik badan untuk melihat Jeno sekali lagi dan melambaikan tangan. Jeno membalasnya cepat dan aku merasakan bunga-bunga mekar begitu indah di balik punggungnya. 

Coffee MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang