Tegukan Kesebelas, J

1K 254 0
                                    

Jikalau kemarin mendung mendadak diambil alih cerah (yang membuatku melihat ekspresi kesal Renjun karena merasa terkhianati cuaca), hari ini hujanlah yang mengambil alih cerah. Namun, cukup membingungkan sebab awalnya matahari bersinar begitu terik membakar kulit, tapi kemudian rintik hujan turun seperti tak ada izin. Jadilah cerah dan hujan berdampingan. Untungnya, aku begitu juga Renjun sudah duduk di bangku masing-masing sambil menyesap kopi. Tak ada protes pada hujan ataupun cerah. Hanya saja kita berkomentar mengapa cuaca sekarang benar-benar ambigu. Tidak ada kepastian sehingga menebakpun belum tentu mujur.

"Apa makna dibalik cuaca hari ini?" Aku menjauhkan cangkir dari bibir. Renjun bertanya mendadak dengan cangkir yang tak jauh dari mulutnya. Alisku dinaikkan sebelah, dia terkekeh. Akhirnya cangkir putih beruap itu diletakkan pada meja. Tatapannya lekat menatapku. Aku diserang salah tingkah. "Biasanya kamu sudah mengoceh tentang demikian?"

"Maknanya?" cangkir milikku juga diletakkan pada meja. Punggung jemari diketuk selaras dengan detik yang berlalu. "Selalu sedia payung kapanpun itu."

"Maksudku bukan seperti itu."

"Apa?"

"Yang kemarin!"

"Apa?"

"Pelajaran?"

"Oh." Aku akhirnya paham. "Aku tidak tahu. Aku hanya tahu mitos tentang hujan yang turun padahal langit cerah, seperti sekarang."

"Kalau hujan turun padahal langit cerah, pertanda sesuatu yang tidak baik akan terjadi. Itu bukan?" Aku mengangguk membenarkan. "Kamu percaya soal itu?"

"Yang namanya mitos tidak bisa kupercaya karena tidak ada penjelasan ilmiah mencakup fakta dibalik itu. Mitos hanya buatan saja sebagai peringatan." Aku melihat keluar. Hujan sudah berhenti, mungkin sudah diusir jauh oleh tiupan angin sore. "Paham maksudku, kan?"

Renjun mengangguk. "Kalau begitu, sekarang giliranmu bercerita?"

"Tiba-tiba?"

Renjun tertawa. Selalu, pasti dia akan begitu kalau giliranku bercerita. "Aku ingin mendengarmu bercerita lagi."

"Tentang masa SMA-ku, boleh?"

"Kalau ada yang bia diceritakan dari masa itu, silahkan."

Aku terdiam, mengeruk memori lama yang sedikit tertimbun dengan memori lain dalam ingatan. Dan, aku menemukannya. Mungkin ini bisa menjadi ceritaku hari ini. "Dibandingkan dengan kamu, aku SMA bukanlah siapa-siapa."

Renjun menarik bangku untuk mendekat. Tangan disatukan dan kepala disandarkan di sana.

"Di kelas aku berada di posisi paling belakang. Mungkin sebab kelelahan, aku kadang tertidur saat pelajaran sehingga aku tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Lalu, aku melihat temanku yang berada di posisi terdepan. Aku iri dengan mereka. Dibandingkan dengan mereka, aku siapa? Mereka pintar dan hebat, sedangkan aku bodoh. Saat-saat itu begitu berat untukku sampai aku kehilangan kepercayaan diri. Imbasnya aku menjadi penyendiri karena takut dengan mereka, juga nilai yang semakin menurun sampai aku dipanggil menghadap guru.

"Awalnya aku merasa takut. Aku takut sesuatu akan terjadi karena kebodohanku ini. Makin-makin takutnya saat aku sadar aku tak punya siapa-siapa di sini. Namun ternyata dugaanku salah. ketakutanku terpatahkan. Malah aku bersyukur karena dipanggil oleh guruku."

"Kenapa?" Renjun bertanya.

"Saat dipanggil, aku bukan dimarahi. Aku malah diajak untuk bercerita apa yang sedang aku pikirkan sampai nilaiku makin menurun. Jadilah aku menceritakan semuanya. Aku menguras habis isi hatiku yang selama ini terpendam sampai aku merasa frustasi. Lekas bercerita, guruku menyadarkanku bahwasannya aku juga pintar dan hebat seperti mereka. Mereka pintar dan hebat dalam bidang pelajaran sedangkan aku hebat dalam bidang fisik. Aku sama sekali belum mengerti sampai guruku menjelaskan kalau menusia memiliki kecerdasan yang berbeda. Jika mereka cerdas dalam linguistik dan logika, maka aku cerdas dalam kinestetik dan musikal. Aku lebih condong pada bidang fisik dan musik. Dan, karena penjelasan beliau, kepercayaan diriku yang berada di titik nol perlahan naik dan aku mulai percaya dengan diriku sendiri."

"Lalu, nilaimu?"

"Setelahnya aku berusaha keras untuk mengikuti setiap pelajaran dengan baik, dan guruku juga memberitahu bagaimana cara belajar yang tepat. Perlahan aku memperbaiki itu semua dan nilaiku menjadi lebih baik dari sebelumnya meskipun aku masih ada di posisi belakang. Tapi, nilaiku yang membaik itu sudah membuatku puas." Aku membasahi tenggorokanku dengan cairan pahit dari cangkir. "Pada intinya, jangan bandingkan diri sendiri dengan orang lain dan mulailah percaya pada diri sendiri. Guruku mengatakan itu padaku di hari kelulusan."

"Aku juga pernah mendengar nasihat dari guruku," katanya. "Beliau berkata, kalau kita membandingkan diri kita dengan orang lain, pasti yang ada hanya kekecewaan karena kita tidak bisa seperti mereka. Coba bandingkan dirimu yang sekarang dengan dirimu di masa lalu, pasti kamu akan merasa bangga karena kamu yang sekarang pasti lebih baik dengan dirimu yang dulu."

Hangat terasa dalam dada setelah Renjun menyelesaikan ucapannya. Nyatanya, ucapan Renjun tadi langsung membuatku membandingkan diriku yang sekarang dan diriku di masa lalu. Dan, benar. Terasa banyak perubahan dan diriku yang sekarang jauh lebih baik dari diriku yang dulu. Tiba-tiba aku merasa bersyukur dan bangga dengan diriku sendiri. "Aku senang bisa mendengar itu."

"Aku juga senang mendengar cerita itu darimu."

"Ceritaku selesai." Aku menyandarkan punggung pada sandaran bangku. Suara tulang saling bersahutan. "Besok kamu yang bercerita."

"Aku bosan bercerita terus," jawabnya, tidak ada semangat sama seperti ekspresi wajahnya.

Aku menerawang langit, lalu posisi tubuh ditegakkan kembali. Lantas, aku tertawa karena Renjun mengurucutkan bibir. "Kenapa?"

"Bosan saja."

Aku mengulum bibir sembari berpikir. Hal apa yang bisa kita lakukan berdua selain bercerita.

Kemudian, aku teringat sesuatu. Cepat-cepat kuberitahu padanya. "Kalau kita bermain permainan?"

Mata coklat jernih itu berbinar. Kembali, aku salah tingkah. "Apa?"

"Lihat saja besok."

Binar mata Renjun meredup. Punggungnya jatuh pada sandaran. Ekspresinya menjadi cemberut dan karena itu aku tertawa. Renjun benar-benar menggemaskan. "Kamu sengaja membuatku penasaran?" tanyanya.

"Sepertinya membuatmu tidak tidur karena penasaran itu sangat seru."

"Jeno!"

"Apa, Renjun?"

"Beritahu sekarang saja, ayolah."

"Aku malas. Besok saja, ya?"

"Kalau besok aku terus menguap, itu salahmu."

"Kenapa aku?"

"Karena kamu!"

Tak mampu menahan geli, aku tertawa.

Renjun kemudian pamit karena oranye sudah berdampingan dengan biru. Aku sedikit merasa tidak enak sebab wajahnya tertekuk dan tak ada ucapan sampai jumpa seperti biasanya. Aku termenung melihat keluar. Dalam hati memantapkan diri untuk meminta maaf kepadanya esok hari. Sampai mendadak telinga mendengar suara Renjun memanggil namaku. Aku pikir itu hanya ilusi sebab rasa bersalah tapi sekali lagi dia memanggilku sehingga cepat-cepat aku menoleh. Ternyata Renjun bukan ilusi, dia masih ada di tangga, tersenyum begitu cerah. Lalu, ucapan sampai jumpa terucap dari bibirnya begitu lembut dan dia perlahan menghilang dari pandanganku. Dadaku yang sebelumnya berat mendadak terasa ringan. Renjun ternyata tidak marah padaku, sama sekali. Aku lega. Aku bahagia.

Aku menatap bangku kosong di depanku lamat-lamat. Fantasi lalu merenggut kenyataan. Aku seperti melihat Renjun di depanku lagi, tersenyum begitu manis membuat perutku terasa seperti dihuni seribu kupu-kupu. Musim semi seperti terjadi di dadaku karena aku merasakan mekar bunga di sana. Aku berbunga-bunga. Sebab itu aku tersenyum begitu lebar seperti orang gila dengan jantung yang berdebar lebih cepat dari biasanya. 

Coffee MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang