Tegukan Ketujuhbelas, R

839 228 14
                                    

"Kenapa kamu belum berangkat?"

Tidak biasanya orang itu begitu santai padahal jam di dinding sudah menunjukan angka delapan. Pakaian kerja yang aku siapkan tidak dipakai. Dia tetap setia dengan pakaian tidurnya yang tentu saja membuatku keheranan sekaligus was-was. Heran karena mengapa dia begitu santai, was-was karena takut dia tidak bekerja sehingga aku tidak bisa datang ke café hari ini. Aku tahu, aku seperti tidak punya rasa malu karena tetap ingin bertemu Jeno padahal sudah jelas kejadian kemarin banyak merubah situasi antara kita. Namun, bukannya mundur aku malah semakin berani. Aku tetap ingin meyakinkan Jeno bahwasanya kita bisa bersama. Tentang suamiku, aku bisa mengurusnya. Aku sedang mencari pengacara yang mampu mengurus gugatan ceraiku.

Aku ingin lepas darinya.

"Aku mengawasimu." Dia melipat koran dan menatapku tajam. Aku tidak takut, aku membalasnya tak kalah tajam. Segala kebencian aku ungkap dengan tatapan mata. Dia menyulut marahku. "Aku tahu kamu pasti akan mengunjungi si orang itu. Orang sialan yang membuatmu berani-beraninya kabur padahal sudah jelas aturanku–membuatmu menjadi pembangkang."

"Kamu yang sialan." Aku mengepal tangan erat-erat. Aku semakin marah terlebih dia menyebut Jeno sebagai sialan. Tidak tahukah kalau sebenarnya yang sialan itu adalah dia? Dia sialan, Merusak banyak hal. Mengacaukan banyak hal. "Berkacalah terlebih dahulu sebelum berkata. Dia lebih baik dibandingkan dirimu."

"Apa yang sudah kalian lakukan sehingga kamu begitu membelanya dibandingkan suamimu sendiri, Renjun?" Punggungku makin bersentuhan dengan sandaran sofa. Dia menghampiriku dan langsung menarikku berdiri dalam sekali tarikan. Sakit, tanganku sakit. Namun, aku tidak boleh kelihatan lemah dihadapan si malaikat hitam itu. "Berciuman? Tidur bersama lalu dia membayarmu dengan nominal tinggi? Iya, Renjun? Apa uang yang aku beri belum cukup untukmu?" Dia meremas tanganku. "Jalang."

Aku tidak bisa menahannya. Aku menampar keras pipinya sampai terdengar bunyi memilukan. Tapi dia pantas mendapatkannya karena berani-beraninya mengataiku seperti itu. "Jaga omonganmu." Faktanya aku sama sekali tidak pernah menggunakan uang pemberiannya. Selama ini aku menyokong hidup dengan tabunganku sendiri. Tidak sudi aku menggunakannya, bahkan menyentuhnya seujung jaripun. "Sampah."

Nyeri hebat terasa di pipiku setelah terkena tinjuannya. Benar-benar sakit sampai aku meneteskan air mata. Dia menatapku tajam seperti tak ada rasa bersalah. Memang malaikat hitam, tidak, dia lebih tepat untuk disebut iblis. "Ayahku menyerahkanku kepadamu bukan untuk mendapatkan perlakuan seperti ini. Kamu iblis. Aku muak denganmu."

"Kamu yang memulai duluan, Renjun. Kamu yang memancing emosiku dengan kata-katamu." Kerah bajuku ditarik. Aku sedikit sesak karena tercekik. Memberontak pun percuma karena tenaganya begitu kuat. "Sekarang jawab, Renjun. Apa hubunganmu dengan orang itu?"

"Aku mencintainya."

Pipiku kembali terkena tinjuan.

"Nyatanya kamu lebih sampah karena berani-beraninya mencintai orang lain padahal kamu sudah memiliki suami."

"Karena dia lebih pantas aku cintai daripada suamiku sendiri."

"Aku suamimu, Renjun!"

"Daripada disebut suami, kamu lebih pantas disebut iblis! Kamu iblis! Penghacur hidupku! Penghancur semuanya!"

Dia mendorongku. Sakit terasa di kepalaku yang menghantam lantai dingin. Pipiku terasa kebas. Sakit juga terasa di punggung karena diinjaknya. "Kamu benar-benar iblis. Kusumpahi neraka menjadi tempatmu berakhir." Injakannya semakin terasa. Aku meneteskan air mata karena tak mampu menahan sakit lagi.

Belum usai penderitaanku. Kembali aku ditarik begitu kencang. Rambutku turut ditariknya dan aku dibawa ke kamar. Benar-benar tidak ada rasa manusiawi, aku di dorong kencang sampai kepalaku menyentuh lantai kembali. Bau karat menguar tercampur aroma lemon. Aku meringis pedih. Dalam kesadaranku yang tersisa sedikit, aku mendengar pintu dibanting kencang dan dikunci. Aku dikurungnya.

"Besok akan kutemui si perusak itu, memperingatinya jangan sekali-sekali bertemu denganmu lagi atau kuhancurkan hidupnya sampai tak bersisa sama sekali."

Kesadaranku lalu hilang. 

Coffee MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang