Tegukan Keempatbelas, J

936 231 6
                                    

Dalam setiap hal yang aku lakukan di mulai dari pagi, tak luput dari gumaman pengingat untuk tidak meninggalkan paper bag berisi jenga seperti kemarin. Sampai aku pusing sendiri. Sampai aku tidak sengaja mengatakannya secara keras alih-alih memberi aba-aba kepada anak didikku, yang tentu saja mendapat pertanyaan dari mereka. Tiga hari berturut-turut aku mempermalukan diriku sendiri. Kalau sampai hari keempat masih sama, mungkin aku akan melakukan meditasi mulai dari malam sampai pagi untuk mengembalikan fokus yang mulai dipertanyakan keberadaannya. Di manakan dia berada?

Matahari mulai bergerak ke arah barat. Aku menenteng paper bag ini dengan langkah begitu ringan sambil menyenandungkan nada yang aku buat sendiri. Barista menyapaku ketika aku sudah masuk ke dalam café. Dia mengatakan kalau hari ini ada diskon tigapuluh persen untuk pelanggan setia, aku termasuk di dalamnya. Tentu aku menyambut gembira kabar ini dengan memesan Iced Americano. Aku juga mendapat bonus kue kering seperti yang Renjun beli tempo hari. Jadilah di nampanku bukan hanya terdapat segelas iced Americano dengan es batu memenuhi gelas, tapi juga terdapat kue kering berjumlah lima buah tertata rapih di atas piring putih. Aku mengucapkan terima kasih, lalu menaiki tangga dan menuju meja yang aku anggap seperti markas rahasia antara aku dan Renjun.

Tentang kemarin, aku memikirkannya sampai jam dua pagi. Otak dan hatiku kembali berperang sengit perihal perasaan indah namun juga dosa-ku pada Renjun. Sama halnya seperti waktu itu, ketika aku berpikir untuk menjauhi Renjun, aku sudah membuat sugesti untuk tidak makin jatuh padanya. Namun, ketika mataku bertemu dengan matanya yang memandangku begitu lembut, menguap sudah sugesti tersebut tak bersisa. Kenyataannya aku sudah jatuh begitu dalam padanya dan sudah tidak bisa mendaki keluar lagi. Sekalipun terdapat banyak cara, pasti aku akan mengabaikannya karena aku sudah terjebak dan memilih untuk terus terjebak. Aku menertawakan diriku sendiri yang kembali menjadi bodoh. Aku menertawakan diriku sendiri yang ingkar janji dengan diriku di masa lalu. Sungguh miris. Aku kasihan pada diriku sendiri.

"Hari ini aku bawa jenga." Aku mengeluarkannya dari dalam paper bag. Tidak ada reaksi dari Renjun yang membuatku bertanya-tanya. Semakin aku bertanya-tanya karena kini mata jernih itu memandangkan dengan pandangan kosong. Renjun melamun. "Renjun?"

Dia terkesiap. "Iya?"

"Kamu melamun?" Renjun menggeleng. "Kalau begitu, ayo main."

"Jeno." Suara lembutnya memanggilku, membuatku seperti diantar menuju nirwana. Ditambah matanya sekarang menatapku lekat dan aku seperti dihisap masuk sehingga lupa sekitar. "Aku ingin bertanya sesuatu."

Aku berdeham. "Apa?"

"Bagaimana rasanya jatuh cinta?"

Kenapa harus pertanyaan itu, Renjun? Apakah kamu sedang meledekku yang berani-beraninya, tidak ada rasa takutnya, jatuh cinta kepadamu?

"Kenapa?" Aku bertanya. Sedikit ada takut di dalamnya. Paper bag tanpa sadar kuremas.

"Jawab saja."

Air dari gelas jatuh membasahi meja. Mataku teralihkan ke sana. Aku tidak berani menatap mata Renjun. "Ada banyak rasa yang kita rasakan ketika jatuh cinta. Semuanya tercampur menjadi satu. Benar-benar menjadi acak sampai kita bingung apa yang sedang kita rasakan sekarang?" Jariku memainkan air di meja dan melanjutkan, "Jatuh cinta dapat membuat bahagia, sedih, cemas dalam satu waktu. Jatuh cinta juga dapat membuat kita hanya fokus kepada sosok yang sedang kita cintai. Ketika bertemu, perasaan senang akan membucah. Ketika berpisah, perasaan sedih akan datang. Sampai muncul pertanyaan, bagaimana cara untuk selalu bersamanya?" Aku mengintip sedikit, mencoba berani menatapnya kembali. "Kamu paham?"

"Kamu pernah jatuh cinta?" Tanyanya, masih dengan tatapan yang sama.

"Pernah." Dan sedang, pada seseorang di hadapanku sekarang.

"Bisa kamu ceritakan?"

Aku mendadak gelisah. "Kamu kenapa, Renjun?"

"Ceritakan saja, Jeno." Aku akhirnya mampu menatap matanya ... yang bergetar. Ketakutan terasa di setiap kedipannya. Renjun gelisah. "Aku mohon."

"Aku pernah jatuh cinta, dua tahun lalu."

Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin menceritakan. Namun, Renjun benar-benar membuatku kalah dengan tatapan memohonnya. Akhirnya, dengan sesak dalam dada, aku mengungkap cerita yang benar-benar ingin aku hapus dari ingatanku saking buruknya cerita itu.

"Dia seorang pelatih balet."

Kamu masih menyimak dalam diam.

"Dia sudah menikah."

Mata Renjun membulat.

"Aku mengenalnya karena temanku. Dia mengenalkanku padanya dan kita berkenalan. Dia cantik. Wajahnya oval dengan segala detail wajah yang benar-benar sempurna. Pertemuan kita semakin sering karena ketidak sengajaan. Aku selalu bertemu dengannya di manapun. Sampai aku sadar kalau aku senang bertemu dengannya, sedih saat dia mengucapkan sampai jumpa. Malam-malam aku selalu memikirkannya. Aku tahu, aku jatuh cinta padanya. Awalnya aku berusaha keras untuk menepis perasaan ini karena aku tidak mau merusak pernikahannya. Namun, semakin lama perasaanku semakin membuncah dan tidak bisa dibiarkan sama sekali.

"Aku mencoba mengajaknya untuk bertemu, dan dia menyetujui. Malam hari di bulan Desember tanggal Sembilan belas, kita bertemu bukan secara tidak disengaja. Kita berjalan-jalan dengan perasaan bahagia. Di hari itu juga aku mencoba mengungkapkan perasaanku padanya karena tidak bisa disembunyikan lagi. Aku sudah mempersiapkan diri untuk ditolak, namun ternyata aku diterima. Dia juga jatuh cinta kepadaku. Kita berdua sama-sama berdosa.

"Kita menjalani hubungan diam-diam ini begitu rapih. Persetan dengan dosa, aku tidak perduli. Waktu itu aku benar-benar dibutakan oleh cinta. Kita sudah melakukan banyak hal. Pertama kali-ku, aku serahkan padanya. Semuanya aku lakukan dengannya. Aku bahagia dengannya dan diapun begitu."

Aku menahan sesak. Air mata mengumpul siap untuk jatuh.

"Sampai suatu hari hubungan kita diketahui oleh suaminya. Aku dihampiri dan dihabisi sampai aku tidak bisa merasakan tubuhku sendiri. Bukan hanya tubuhku yang hancur, tapi hatiku juga hancur saat mengetahui sejak itu aku tak bisa bertemu dengannya lagi, bahkan sampai sekarang. Dia pergi meninggalkan aku yang kesakitan menahan rindu.

"Walau dicobapun, aku tidak bisa melupakannya bersama dengan kenangan-kenangan kita. Sampai seseorang menyadarkanku kalau aku tak bisa terus seperti ini. Perlahan aku mulai mendaki dari kubangan dosa itu dan memulai hidup baru. Aku berhasil, meskipun kenangan-kenangan itu tetap melintas. Tapi, aku menjadikan itu semua sebagai pelajaran agar aku tak mengulanginya lagi."

Namun aku megkhianati diriku sendiri.

Sekarang aku mengulangnya lagi.

Aku mencintai seseorang yang sudah dimiliki.

Aku mencintai dia yang sekarang ada di hadapanku.

Dia, Renjun. Aku mencintainya.

"Sudah." Haus terasa setelah bercerita panjang-lebar. Gelas yang terus membasah sebab mencairnya es batu kuambil dan aku minum isinya sampai tandas dalam sekali teguk. Segarnya membasahi tenggorokan. Tersisa es batu yang aku biarkan mencair terkena suhu. "Seperti itu ceritanya."

Renjun terdiam, mungkin masih mencerna cerita yang dapat kusebut sebagai pengakuan dosa. Memang, akupun menganggapnya begitu rumit sehingga nalar perlu bermain untuk ini. Tak lama Renjun mengangguk, frappenya. Tersisa buih yang perlahan turun mendekati dasar. "Lantas jika itu terulang, kamu akan bagaimana?" Tanyanya kemudian. Aku kontan terhenyak.

Akan bagaimana?

Itu yang aku pikirkan. Aku kembali mencintai istri dari seseorang. Aku mencintai Renjun yang sudah memiliki suami. Apa kejadian beberapa tahun lalu itu akan kembali terulang? Apakah cerita yang awalnya begitu manis akan berakhir menyedihkan?

Satu jawaban yang pasti untuk itu.

"Aku kembali menjadi seorang pendosa dan kembali sakit ketika Tuhan menegurku keras."

Itulah aku sekarang.

Renjun menatapku.

Aku tersenyum. "Sudah, tidak perlu dipikirkan. Itu kejadian lama. Aku mungkin tidak akan mengulangnya lagi."

Aku berbohong.

Renjun tidak menanggapi dan terus diam, bahkan sampai pulang pun dia tidak pamit kepadaku.

Coffee MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang