Panas sudah begitu menyengat meskipun jam belum menunjuk angka duabelas. Burung berkicau nyaring pada rentangan kabel listrik seperti tidak mau henti. Aku tidak merasa berisik, malah senang dengan suara mereka yang saling beradu satu sama lain menciptakan senandung acak bernada riang. Suara burung-burung itu juga turut menemaniku menyiapkan segala sesuatu yang kebutuhkan untuk melatih. Semakin dekat hari olimpiade, waktu melatih semakin panjang juga. Aku bahkan membawa baju ganti dan peralatan mandi karena terdapat rencana melatih sampai sore. Anak didik-ku tidak keberatan, justru meminta pertambahan waktu lagi supaya makin maksimal. Tentu tidak kita perbolehkan karena mereka dapat cepat lelah. Percuma berlatih banyak kalau stamina tidak ada. Bukannya menang malah langsung tumbang di menit pertama.
Sapu tangan lembut berwarna kuning membuatku menghentikan pergerakan tangan. Sapu tangan itu milik Renjun yang diberikan padaku karena aku menumpahkan (sedikit) kopi di baju. Pengalaman memalukan yang membuat aku seperti orang bodoh di depan Renjun. Waktu itu aku sedang minum dan tiba-tiba saja Renjun tersenyum tanpa sebab. Aku yang terkejut langsung tersedak sehingga cairan pahit itu mengenai baju. Renjun memberikan sapu tangannya karena tisu tidak (atau mungkin lupa) diberikan oleh barista.
"Kembalikannya nanti saja," katanya waktu itu dengan lembut. Aku spontan mengangguk dan menyimpannya dalam saku.
Sekarang aku bertanya-tanya? Kapan aku mengembalikannya?
Kemarin, aku sudah datang ke café dengan mengantungi sapu tangan kuning (yang sudah aku cuci sampai bersih) dengan maksud mengembalikan pada pemiliknya. Namun sampai matahari tenggelam dan bulan nampak, dari langit cerah sampai menjadi gelap, sampai aku sudah ditegur barista karena café ini akan tutup, Renjun tak kunjung datang. Bangku tersebut kosong menyisakan sepi. Aku terlihat seperti orang bodoh karena menunggunya selama itu. Aku tidak marah atau kecewa sedikitpun. Hanya ada pertanyaan dibalut ketakutan yang terus menghantuiku,
Renjun ada di mana?
Kenapa dia tidak datang?
Dia baik-baik saja, kan?
Aku benar-benar khawatir. Aku tidak memiliki nomor telepon apalagi alamat rumahnya sebab perjanjian yang aku buat soal teman yang hanya bertemu di sini dan menjadi orang asing di luar café. Menyesal pun tidak berguna sama sekali karena sudah terlambat. Sekarang yang bisa aku lakukan hanya berdoa terus menerus, memohon kepada Tuhan (walaupun aku tahu aku sudah tidak dianggap hambanya sebab beribu dosa yang aku buat) untuk terus melindungi Renjun.
Aku merindukan Renjun.
Sangat-sangat merindukannya.
Lamunan terbuyar sebab ketukan keras pada pintu. Sapu tangan milik Renjun aku simpan dalam saku sembari melangkah mendekati pintu. ketukan makin terdengar jelas dan keras. Kebingungan melanda sebab aku sama sekali tidak memiliki janji temu di rumah. Ketika aku membuka pintu, aku spontan menghembuskan napas. Seseorang dengan ekspresi marah nampak di hadapan. Aku langsung mengenalinya dalam sekali tatap. Dia, seseorang yang Renjun sebagai malaikat hitam, suaminya. "Ada apa?"
"Saya ingin berbicara dengan anda." Nadanya sepekat merah. Dia marah.
"Jikalau dengan emosi, saya menolaknya."
Orang itu menghembuskn napas. Kepalan tangan yang sempat aku lihat akhirnya meluruh. "Saya ingin berbicara dengan anda." Nadanya sudah lebih baik dari sebelumnya. Aku melebarkan pintu dan mempersilahkannya masuk dan duduk pada sofa.
"Ingin minum?"
"Saya ingin berbicara dengan anda." Dia mengulangnya lagi.
Langkahku terhenti. Aku mengurungkan niat untuk ke dapur dan duduk di sofa. "Apa yang ingin anda bicarakan?"
"Jauhi Renjun." Aku mendengus. Kalimat ini aku dengar lagi untuk kedua kali. "Karena anda Renjun menjadi melawan saya. Dia menjadi pembangkang. Bukan lagi Renjun yang mematuhi aturan saya."
"Maaf, sebelumnya." Aku berdeham. Mata berkilat emosi itu aku tatap. "Bagaimana bisa anda menyimpulkan kalau Renjun membangkang karena saya?"
"Saya tahu kalian sudah berkali-kali bertemu di tempat itu. Semenjak itu Renjun menjadi berubah dan saya yakin pasti karena anda."
"Saya tidak paham apa korelasinya."
"Anda menyuruh Renjun membangkang dengan maksud menghancurkan pernikahan kita berdua."
Aku menghembuskan napas. "Seburuk-buruknya saya menjadi seorang manusia, saya tidak pernah menyuruh seseorang untuk berperilaku buruk juga. Saya tidak pernah menyuruh Renjun, apalagi berniat menghancurkan pernikahan kalian berdua meskipun saya begitu mencintai Renjun. Akal sehat saya masih berjalan dengan baik." Tidak pernah aku merasakan semarah ini dengan perkataan seseorang. "Renjun menjadi pembangkang, bukan karena saya, tetapi karena anda sendiri, suaminya. Saya tahu dia sudah lama ingin membangkang bahkan sebelum bertemu saya sebab dia lelah dengan semua aturan yang anda buat. Dia ingin bebas dengan tidak diikat aturan seperti yang anda buat. Dia benar-benar kehilangan dirinya karena anda. Sebabnya anda, bukan saya."
Orang itu terdiam. Pening mendadak terasa. Dadaku begitu sesak. Karena aku juga ikut merasakan apa yang Renjun rasakan. Aku merasakan lelahnya. Aku merasakan kesepiannya. Aku merasakan segala yang dia rasakan. Aku benar-benar bersyukur sebab Renjun menceritakan apa yang dia rasakan kepadaku, sebab pasti berat rasanya menyimpan ini semua sendirian.
Renjun, aku ingin memelukmu.
"Dia mencintai anda." Suaminya dengan lirih berkata. Aku menjadi terkejut. "Itu salah besar."
Gelengan kepala aku berikan padanya. "Salah yang tak bisa disalahkan. Mencintai seseorang bukan sebuah kesalahan, sebab waktu saja yang membuatnya terlihat salah." Aku tahu kalau suami Renjun begitu mencintai Renjun, terlihat dari bola matanya yang terpancar keputus-asaan ketika mengatakan Renjun mencintaiku. Aku sakit, namun aku siapa? Aku hanya teman yang tanpa sengaja mencintainya. Namun, selama ini cara mencintainya salah. Sehingga Renjun mengartikannya berbeda. "Kalau anda ingin dicintainya, buatlah dia merasa dicintai."
"Jauhi Renjun."
Aku tersenyum. Air mata sekuat mungkin aku tahan. "Saya mengalah untuk anda. Saya akan menjauhi Renjun seperti yang anda minta."
Aku memang mencintainya, namun aku aku tidak berhak.
Pada akhirnya aku kembali mengalah dan merasakan kehilangan orang yang aku cintai untuk kedua kali.
"Saya mohon, jaga Renjun."
Itu kata terakhir yang aku ucapkan sebelum akhirnya orang itu pergi meninggalkan rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Mate
FanfictionGurat takdir Tuhan mempertemukan kita di meja kotak dua kursi dekat kaca dengan pemandangan jalan yang tak pernah ingin sepi. Larut kita dalam berbagi kata sampai tak sadar kita juga berbagi rasa. © 2020 - Njuneoclear a.k.a Ciya (Biasakan melihat ta...