Tiga bulan menjadi seorang istri dari pria tampan berpangkat direktur nyatanya sama sekali tidak membawa kebahagiaan seperti kebanyakan orang katakan atau seperti pada drama-drama picisan yang aku tonton saat bosan benar-benar hampir membunuhku, atau mungkin hanya aku yang mencecap rasa terkekang selayaknya burung dalam sangkar sebab aturan suamiku yang melarangku untuk keluar rumah. Kalaupun ingin keluar, harus bersama dirinya. Aku tidak diberi kesempatan untuk memberikan argumen sedikitpun untuk itu. Aku disuruh tutup mulut. Aku dipaksa untuk mematuhi aturannya. Tiga bulan ini aku masih mampu, namun pada akhirnya aku sama sekali tidak bisa menahannya. Jiwa bebasku memberontak dan karena itulah sekarang aku mencoba keluar rumah dengan segenap resiko dalam genggaman. Aku berlari padahal tidak punya tujuan. Sampai akhirnya aku menemukan cafe dekat perempatan (aku menyadari kalau aku sudah begitu jauh dari rumah) dan tanpa sadar masuk ke dalamnya.
Lantai dua ̶ menurut barista yang mengajakku mengobrol tadi ̶ adalah tempat yang tepat untuk menjernihkan pikiran terlebih di meja dekat kaca yang menampilkan pemandangan jalan. Barista itu seperti menyadari penampilan kacau-ku sehingga berkata demikian. Aku menuruti dan sekarang aku sudah duduk di tempat yang dimaksud. Aku menoleh ke kanan. Dadaku dilingkupi perasaan bahagia sampai sesak rasanya sebab melihat kembali keramaian setelah sekian lama tenggelam dalam kesepian yang membuatku hampir gila. Aku seperti merasakan kebebasan walau aku tahu ini hanya sebentar karena aku harus kembali pulang sebelum suamiku tiba dan mendapatiku tidak ada di rumah.
Kenyataan lalu tenggelam tergantikan oleh angan-angan sampai tak sadar aku terdiam begitu lama dengan mata terpaku pada pada jalanan yang sebenarnya tidak ada pemandangan menarik selain sekumpulan manusia yang melangkah dari satu titik ke titik yang lain juga kendaraan-kendaraan yang melintas seperti tak ingin berhenti. Dalam keterdiamanku aku menyesalkan banyak hal; salah satunya menyesalkan mengapa dulu aku mengabulkan permintaan orangtuaku untuk menikah dengannya. Aku benar-benar tersiksa sekarang. Orangtuaku tidak tahu tentang itu, yang mereka tahu kalau aku bahagia padahal semuanya adalah kepalsuan. Suamiku juga penuh kepalsuan, berpura-pura begitu baik walau kenyataannya dia adalah malaikat hitam. Kita menjalani ini semua dengan kepalsuan.
Sekarang aku merasa kesepian.
Rasanya aku ingin mengobrol dengan seseorang karena lama-lama aku tidak betah dengan keterdiaman juga pikiran yang semakin lama semakin menjalar tidak tentu arah. Aku takut berpikiran macam-macam yang akhirnya hanya mengancam diriku sendiri. Dan, satu-satunya cara untuk menepis itu semua adalah dengan mengobrol, entah apa topiknya yang terpenting aku teralihkan. Namun, dengan siapa? Aku datang sendirian. Temanku tidak ada yang tinggal di dekat sini. Akhirnya aku kembali menatap luar, tenggelam dalam kesepian yang begitu menyesakkan.
Lama aku melamun sampai tak sadar langit berubah warna. Aku harus segera kembali karena sebentar lagi suamiku akan tiba di rumah. Syal yang melilit leher aku benarkan. Ponsel kembali disimpan pada saku begitu juga dengan kepalan tangan. Aku terburu beranjak dengan dada berdebar panik. Aku takut aku tidak sampai di rumah tepat waktu. Aku takut dia mengetahui aksi nekatku ini.
Sempat ketika melewati satu meja, aku menyadari sepasang mata tengah memperhatikanku. Namun, ini bukan waktunya untuk perduli. Aku tengah diburu oleh waktu.
Sebenarnya aku masih ingin bebas.
Aku ingin merasakan kembali sesuatu yang dinamakan kebebasan.
Apa bisa aku kembali datang ke sini esok hari?
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Mate
FanfictionGurat takdir Tuhan mempertemukan kita di meja kotak dua kursi dekat kaca dengan pemandangan jalan yang tak pernah ingin sepi. Larut kita dalam berbagi kata sampai tak sadar kita juga berbagi rasa. © 2020 - Njuneoclear a.k.a Ciya (Biasakan melihat ta...