Tegukan Keduapuluh satu, J

1.5K 248 41
                                    

Sudah berapa lama aku tidak mencium aroma khas dari café ini? Sebulan? Dua bulan? Atau sepertinya lebih karena aku disambut dengan pertanyaan bombardir dari barista tentang ke mana saja aku selama ini. Aku begitu malu karena seketika kita menjadi pusat perhatian. Segera aku mendekat pada mejanya dan berbisik untuk memelankan suara disambung, "Kalau rindu jangan berteriak". Perkataanku disambut tawa olehnya dan dilanjut pertanyaan minuman apa yang ingin aku pesan hari ini. Aku memesan Americano dengan es batu harus penuh menyentuh bibir gelas. Sambil membuat pesanan, si barista kembali mengulang pertanyaan perihal ke mana saja aku selama ini sampai berbulan-bulan tidak mampir?

Dua bulan yang lalu (kalau tidak salah) aku fokus dengan olimpiade. Syukur kepada Tuhan, hasil latihan sejak pagi sampai malam yang dilakukan oleh anak didik-ku tidak berakhir sia-sia. Mereka menyabet medali dan aku merasa bangga. Setelah olimpiade itu aku mengambil libur panjang karena ingin mengistirahatkan diri dari segala kepenatan manusiawi untuk fokus pada diri sendiri. Aku menjernihkan pikiran sekaligus menghilangkan bayangan seseorang yang amat aku rindukan namun tak bisa kugapai karena status sakral yang dia miliki. Meskipun kenyataannya sekuat apapun aku mencoba, tetap saja dia melintas tanpa permisi dan membuatku makin lebur dalam kerinduan.

Sebulan setelahnya aku pergi keluar kota dengan maksud yang sama, menjernihkan pikiran dan melupakan sejenak bayang-bayang yang mengganggu. Aku memilih tinggal di pesisir pantai dengan harapan pecah sudah hal yang mengganggu seperti ombak ketika menghantam batu karang. Mujur, perlahan terhapus bayangannya dari pikiranku, yang tersisa hanyalah kenangan-kenangan yang memang akan terus membekas. Sejatinya manusia tidak akan pernah bisa menghapus kenangan dan akan terus menyisa dalam ingatan. Aku masih mengingat ceritanya. Aku masih ingat bagaimana dia menari di pinggir jalan. Semuanya, masih teringat. Namun, wajahnya samar.

Aku kembali ke rumah. Kembali menjadi seorang pelatih sibuk yang mengurus banyak anak. Aku kembali bangkit. Aku kembali menjadi diriku yang dulu sebelum kejadian itu hampir mengacau hidup.

Cerita di atas tak aku ceritakan, yang aku beri tahu pada si barista kalau selama ini aku sedang sibuk melatih. Untungnya dia percaya, malah berkata meskipun aku sibuk harus tetap datang ke sini. Aku mengangguk mengiyakan. Nampan sudah aku bawa namun dia memanggilku. Aku berbalik.

Dia mengulurkan sesuatu. "Ada surat."

"Surat?" Aku menerimanya dengan bingung. "Dari siapa?"

"Seseorang yang selalu duduk denganmu."

Aku membeku.

Lekas aku naik ke atas. Meja yang biasa aku (dan dia) tempati kosong. Tanpa berpikir panjang aku duduk di sana. Segarnya Americano aku abaikan karena aku lebih tertarik dengan surat ini. Surat dari seseorang yang wajahnya mulai samar dalam ingatan namun perasaanku padanya tetap saja sama. Amplopnya berwarna sama dengan amplop yang waktu itu aku gunakan. Namun, kertasnya berwarna kuning pucat dengan aroma vanila khas dirinya. Aku menghirupnya dalam-dalam. Sesak di dada setelahnya. Samar-samar wajahnya mulai menunjukkan kejelasan. Bukan hanya wajah, namun keseluruhan dirinya seperti terlihat di hadapanku, duduk dengan senyumnya yang khas itu. Aku tertawa. Aku makin merindukannya. Rasanya sia-sia hampir tiga bulan aku menjernihkan pikiran. Dia datang lagi, mengacaukan pikiran.

Aku membacanya perlahan.

Untuk, Jeno.

Surat ini ditulis dua bulan setelah suratmu. Lama, ya?

Hai, Jeno. Ini Renjun.

Rasanya aku amat berterima kasih karena keberanianmu untuk duduk di hadapanku. Kalau tidak begitu, pasti kita tidak saling mengenal dan nama coffee mate-pun tidak pernah ada. Aku berterima kasih karenamu yang menyarankan untuk saling bercerita membuat beban di hatiku sedikit berkurang. Juga, sebab kata-katamu aku makin memaknai apa itu hidup. Aku belajar bersyukur dan mengambil makna dari setiap yang aku lakukan. Aku berterima kasih kepadamu karena kamu membuatku kembali tertawa setelah aku merasa mati beberapa bulan. Kamu membuatku kembali hidup dan mencecap kebebasan walau sebentar. Aku benar-benar berterima kasih untuk semuanya.

Perihal keputusanmu untuk menjauh, aku mencoba menerimanya dengan ikhlas. Awal mulanya aku tetap memikirkan apa alasanmu memutuskan itu padahal kamu sudah menjelaskannya begitu jelas. Aku lantas menghargai keputusanmu, karena kalaupun aku menolak pasti tidak akan bisa, kan?

Kamu mengatakan kalau aku harus membantu suamiku untuk mencintainya. Aku mencoba dan perlahan-lahan aku dapat melakukannya. Sekali lagi aku berterima kasih kepadamu karena membuat suamiku sadar kalau yang selama ini dia lakukan kepadaku sangat mengekangku. Aku sekarang diberikan kebebasan. Aku disayanginya. Aku dicintainya. Kita menjadi pasangan yang bahagia. Semuanya total berubah.

Jeno, aku bahagia sekarang. Apa kamu juga bahagia?

Jeno, meskipun aku mulai mencintai suamiku, tapi rasa cintaku kepadamu selalu tetap. Sebab kamu menjadi pertamaku; cinta pertama sekaligus luka pertama. Cinta pertama tidak akan pernah terlupa dan akan terus membekas sepahit apapun ceritanya. Aku tidak bisa melupakanmu sampai kapanpun.

Jeno, kalau kamu berharap kita tidak bertemu, aku juga begitu. Aku harap kita tidak bertemu ̶ sebelum kamu bahagia sepertiku. Kamu harus bahagia juga. Hidup dengan penuh cinta dan kehangatan keluarga seperti yang aku rasakan sekarang.

Jeno, aku masih mencintaimu. Sangat-sangat mencintaimu.

Aku juga merindukanmu.

Dari aku, Renjun.

Aku lipat surat itu dan memasukannya dalam amplop kembali. Lega terasa karena Renjun sudah bahagia. Aku tidak main-main dengan perkataanku; kalau Renjun bahagia, maka aku juga bahagia. Aku ikut bahagia karena dia bahagia. Akhirnya dia benar-benar dicintai oleh seseorang yang tepat, juga mencintai seseorang yang tepat. Aku membayangkan betapa indahnya senyum itu setelah lepas dari beban. Senyum kebahagiaan juga penuh cinta.

Bangku kosong yang dulu biasa Renjun tempati aku pandangi lekat. Terbentuk Renjun dalam ilusi tengah tersenyum kepadaku begitu manis. Aku membalasnya. Kita berdua tersenyum. Lalu dia hilang begitu saja menyisakan sepi. Aku kembali dalam sepi dan tak ingin bangkit darinya. Renjun berharap aku merasakan hangat keluarga, namun sayang aku tidak ada niat untuk itu. Aku nyaman dengan diriku sendiri. Aku tidak ingin mencintai siapapun lagi.

Karena aku terus mencintai Renjun.

Americano aku teguk. Hampa, tidak ada tawa Renjun karena minumku berantakan. Tidak ada sahutan desah lega sebab telah menghabiskan cairan pahit dari masing-masing gelas. Tidak ada cerita yang dilanjutkan. Tidak ada jenga yang roboh karena kecerobohan. Tidak ada itu semua karena semuanya sudah berbeda.

Kini tersisa aku sendiri, duduk di sini, meyakini diri,

Juga perasaan menggebu yang tidak bisa surut,

Kepada Renjun, yang tetap tersimpan selamanya. 

Coffee MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang