Tegukan Keenam, J

1.4K 333 1
                                    

Tak seperti kemarin di mana langit cerah menampakkan warna birunya, hari ini abu-abu mengambil peran dan menutupi sinar matahari dengan tak tahu dirinya. Dalam sekali kedipan, rintik hujan turun membasahi jalanan aspal sehingga mereka yang masih di luar berhamburan mencari tempat teduh. Namun, tak ada kelegaan yang kurasakan meskipun begitu, adalah kamu yang membuatku gelisah dan terus mengintip keluar di sela embun yang menutupi jendela karena kamu belum datang juga. Tigapuluh menit aku menunggu kedatanganmu namun kamu sama sekali tak nampak, mungkin karena kamu terlambat atau karena kamu tengah meneduh. Kepastianmu untuk datang berkurang beberapa persen, namun kuharap kamu tetap menepati janjimu dengan datang ke sini dan duduk di hadapanku, berbagi obrolan sampai waktu memaksamu untuk pergi lebih dulu. Walau aku seperti orang bodoh yang duduk di sini seperti orang gelisah dan menyesap Americano yang hanya tersisa beberapa tetes, aku tetap menunggumu datang meskipun tidak ada kepastian untuk itu.

"Maaf, aku terlambat."

Seketika cerah menyapa ketika kepalaku ditolehkan cepat untuk melihatmu yang akhirnya datang menepati janji. Senyum yang semalam suntuk membuatku susah untuk tidur terlukis begitu apik tak tertandingi yang mana membuatku mau tak mau ikut tersenyum sebagai balasan meskipun aku yakin kalau senyumku kali ini terlihat aneh dan membuatku seperti orang bodoh. Kamu duduk dan melepas coat yang terdapat titik gelap karena imbas hujan lalu meletakkan pada sandaran kursi. Kini nampak kamu yang begitu manis dengan sweater berwarna gading dan masih menyunggingkan senyum kepadaku seperti tak ada kata lelah. "Sudah lama?"

"Sebelum hujan turun aku sudah di sini."

"Lama?"

"Sepuluh menit?"

Anggaplah duapuluh menit itu tidak ada supaya kamu tidak merasa tidak enak kepadaku.

"Itu lama." Kamu mengerucutkan bibir. Ternyata sama saja, kamu tetap merasakan tidak enak."Maaf, tadi hujan membuatku meneduh dulu untuk mencari payung."

"Tidak masalah." Benar, itu tidak masalah. Aku bahkan rela menunggu di sini sampai esok sore sampai kamu akhirnya datang dan duduk di sini. "Kamu tidak kedinginan, kan?"

"Sweater-ku cukup tebal untuk itu." Kamu mengangkat cangkir putih. "Latte ini juga hangat." Lalu, kamu menyesapnya sedikit. "Aku jadi hangat."

Aku tidak bisa untuk tidak tersenyum sebab kamu yang berusaha meyakinkanku bahwa kamu dalam keadaan hangat meskipun hujan sempat nakal membasahi. Aku menatapmu,lalu kamu membalasku. Kamu tertawa, dan akupun tertawa. Kita berbagi tawa dengan sebab sederhana namun membuat sejuta makna; bahwa kebahagiaan bisa saja datang dari kesederhanaan yang tak disengaja.

Berbagi tawa itu termasuk kebahagiaan, kan?

"Ah, baguslah."

"Kamu hangat?"

"Duduk dekat penghangat ruangan, kurang hangat apa lagi aku?"

Kamu tertawa.

"Mmm.. boleh aku bertanya sesuatu?" Aku teringat tentang namamu yang belum aku ketahui sampai di detik ini walau sudah ketiga kalinya kita bertemu.

"Apa?"

"Boleh aku tahu namamu?"

Kamu menaruh cangkir sampai terdengar denting lembut saat mengenai kerasnya meja. Lantas, tanganmu menjulur dan kamu menatapku dengan mata coklatmu yang berbinar. "Aku, Renjun."

Aku membalas uluran tanganmu, "Aku, Jeno," dan berjabat sebentar sebelum kamu menyudahi lima detik berharga itu. "Senang berkenalan denganmu."

"Nama kamu bagus."

"Kamu pun."

"Apa pekerjaanmu?"

Aku mengetuk punggung jari pada meja. "Pelatih taekwondo?"

"Oh, benarkah? Wah, hebat."

"Kamu?"

"Menjadi seorang istri tentu saja bukan pekerjaan, kan?"

"Bukan." Aku menghembuskan sesak dalam dada. Sampai terlupa aku kalau statusmu merupakan seorang istri. Kekecewaan kutelan bulat-bulat. Aku menunjukkan padamu kalau aku baik-baik saja dengan fakta itu. "Jadi kamu tidak bekerja?"

"Iya." Kamu mengangguk. "Padahal aku ingin bekerja."

"Kenapa?"

"Hanya.. tidak bisa?"

Aku tahu terdapat sesuatu tidak beres dalam kata yang kamu ucapkan, terlihat dari sorot matamu yang menyayu dan begitu sedih kelihatannya. Aku buru-buru mengganti topik meskipun aku penasaran apa yang membuatmu menjawab seperti itu. "Pasti kamu bosan lalu datang ke sini."

"Kamu peramal?"

"Bahkan aku punya kartu tarot di rumah."

Kamu tertawa lagi begitu manisnya. "Sampinganmu membuka praktek lamaran di pinggir jalan?"

"Aku sempat berpikir seperti namun aku takut tertabrak mobil." Biasanya aku paling menghindari untuk berucap nyeleneh seperti yang aku lakukan beberapa saat lalu, namun ketika melihatmu tertawa karena itu, aku jadi ingin lagi dan lagi. Biar aku seperti orang bodoh, asal wajahmu kembali cerah seperti langit di musim panas. "Masuk ke Rumah Sakit karena patah tangan sudah cukup, jangan ditambah lagi sebabnya."

"Patah tangan?"

"Itu hal yang biasa."

Kamu menunduk. Cangkir di meja kamu ketuk-ketuk dengan kuku. "Hati-hati."

Aku mendengus geli. Tak habis pikir mengapa kalimat sesederhana itu membuatku seperti diterbangkan ke angkasa dengan bahan bakar kebahagiaan. Bibir aku kulum, dengan berani melihat kamu yang masih betah menunduk. "Terima kasih."

Pertemuan singkat ini berakhir dengan kamu yang seperti biasa pamit duluan setelah melihat jam di tangan. Kamu kembali membuat janji untuk bertemu lagi di tempat yang sama juga di jam yang sama. Aku menyanggupi sepenuh hati sebelum kamu benar-benar pergi.

Hari ini aku bahagia.

Aku ingin besok cepat-cepat datang menyapaku.

Aku ingin bertemu kamu lagi. 

Coffee MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang