Benar-benar cuaca seminggu ini mempermainkanku. Aku sudah repot-repot menenteng payung sebab langit menunjukkan mendung, namun di seperempat perjalanan matahari kembali nampak dan bersinar begitu terik. Benar-benar menyebalkan. Terpaksa aku minggir untuk melepas coat karena suhu naik begitu cepat dan menyampirkan pada lengan. Meskipun begitu, panas tetap terasa karena aku juga memakai sweater cukup tebal. Rasanya aku ingin cepat-cepat sampai dan duduk menikmati dinginnya pendingin ruangan. Latte dengan es batu memenuhi gelas juga sepertinya cocok untuk meredam panas di tubuh serta hatiku yang masih kesal dengan pengkhianatan si cuaca. Langkah aku percepat karena sekarang terbayang di kepalaku tentang minuman dingin itu. Tenggorokanku makin terasa haus. Aku ingin minum.
"Satu Iced latte," ucapku terburu.
"Cuaca hari ini aneh, ya?"
Barista itu tersenyum kecil setelah bertemu pandang denganku. Aku menjawab, "Sangat aneh."
Minuman yang aku dambakan sudah selesai dibuat. Nampan di dorong mendekat kepadaku dan sehelai tisu tak luput diletakkan di sana. Aku mendapat bonus yaitu tambahan es batu sehingga kubus dingin itu benar-benar memenuhi gelas. Aku mengucapkan terima kasih. Barista itu pengertian sekali. Sambil menaiki tangga aku memperhatikan minumanku yang begitu segar. Air yang mengalir pada gelas membuatku semakin kehausan. Lantas aku tersadar dari lamunan sebab suara Jeno yang memperingatiku. Aku terkesiap dan sedikit bergeser, tersadar aku kemudian kalau aku hampir saja menabrak sebuah meja. Untung di lantai dua ini sekarang hanya ada aku dan Jeno. Jadilah aku tak begitu malu. Tapi, tetap saja aku kesal dengan Jeno yang sekarang menertawakanku begitu kencang.
Meskipun seharusnya aku jangan kesal pada pria itu karena dialah yang menyelamatku dari hancurnya ekspestasi akan segarnya latte dingin.
"Melamunkan apa, sih?" Jeno bertanya di sisa-sisa tawanya. Ah, seindah apapun tawanya, kalau sudah menyebalkan tetap saja menyebalkan.
"Melamunkan latte ini." Gelas basah itu angkat dari nampan dan segera saja aku minum. Segar latte yang membuatku hampir menabrak meja tadi akhirnya terasa di tenggorokan. Aku total lega namun sekali tegukan saja tidak cukup. Aku meneguknya sekali lagi dan menggapai es batu dengan lidah. "Ah, leganya."
"Kamu benar-benar kehausan?"
"Sangat." Gelas aku taruh di meja. Nampan aku geser mendekati jendela. "Cuaca sekarang benar-benar tidak bisa ditebak, ya?"
"Kutebak kamu kesal karena cuaca mendung mendadak cerah dalam sekejap. Betul?"
Aku mengangguk. Jemariku bermain dengan air yang mengaliri gelas. "Aku sudah mempersiapkan payung, memakai coat tebal, dan sweater ini juga supaya tidak kedinginan jika hujan benar turun."
Jeno tertawa. "Tapi, akhirnya matahari yang tampak, kan?"
"Benar. Pengkhianat."
"Astaga, Renjun." Jeno menggelengkan kepala. "Cuacapun kena omelmu?"
"Memang harus. Aku kesal sekali."
"Walau mengeselkan, ada maknanya, lho." Jeno melirik sekilas keluar. Matanya terlihat semakin indah sebab terkena sinar mentari. Kembali dia menatapku begitu hangat. "Kamu sudah takut kalau hujan turun. Mempersiapkan ini-itu, memakai coat tebal, juga sweater yang sama tebalnya. Tapi, ternyata matahari bersinar begitu terik, kan? Sama saja seperti apa yang kamu takutkan sekarang, kamu khawatirkan sekarang, belum tentu akan terjadi di kedepannya."
Aku tertegun.
"Segala sesuatu yang terjadi kepada kita, jadikan itu pelajaran. Sesederhana apapun kejadiannya, tetap jadikan pelajaran. Mungkin saja itu akan memberikan dampak besar meskipun tidak kita sadari." Jeno berdecak. Tangan dilipat di atas meja dan kepalanya mendekat. "Contohnya seperti kamu yang hampir menabrak meja tadi. Ambil pelajarannya: jangan melamun kalau tidak latte bisa melayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Coffee Mate
FanficGurat takdir Tuhan mempertemukan kita di meja kotak dua kursi dekat kaca dengan pemandangan jalan yang tak pernah ingin sepi. Larut kita dalam berbagi kata sampai tak sadar kita juga berbagi rasa. © 2020 - Njuneoclear a.k.a Ciya (Biasakan melihat ta...