|IDI 18| Terbawa Suasana

4.5K 491 12
                                    

Yang jauh bukan perasaan
Yang berjarak raga, bukan rasa.

Cinta adalah fitrah yang di berikan oleh yang Maha Kuasa. Ketika cinta menghampiri seorang hamba, maka manusia yang diberikan tak bisa menolak kehendaknya. Walau di luar terlihat membantah, tapi dalam hati keduanya menyimpan perasaan yang sama. Hanya saja berbeda dalam mengungkapkan rasa yang sesungguhnya.

Faktor egois adalah salah satu yang menjadi alasannya. Harga diri juga pendapat dan pemikiran yang terlalu besar, membuat harga diri seseorang tetap di pertahankan. Bahkan untuk mengungkapkan, keduanya hanya diam dan tak banyak berbicara.

"Hati-hati, dong. Kalau luka gini, kamu juga yang sakit," ucap Wijaya ingin menghisap kembali, namun Andini segera menarik tangannya yang terluka.

"Apaan, sih. Jangan sok peduli, deh. Luka ini kecil, kok," balas Andini mencoba tak berekspresi.

Wijaya yang melihat itu pun menatap tajam. Ia segera menarik tangan Andini, dan membawa jari yang terluka pada mulutnya. Wijaya kembali menghisap darah segar milik Andini. Tanpa banyak bicara, pria itu membawa jari Andini menuju wastafel untuk membersihkan darah yang mengering.

"Aw, sakit," ringis Andini merasa perih.

"Udah tahu sakit, tapi masih mau dibiarkan. Kalau gak segera di atasi, bisa bahaya," balas Wijaya kemudian membawa Andini, namun sebelum itu, Wijaya berkata pada salah satu pembantu di rumah Mamanya.

"Bik, tolong bersihkan pecahan piring." Wijaya pun kemudian membawa Andini menuju ruang tengah, tempat yang sepi dan tak ada orang.

"Duduk dulu, aku ambilkan P3," ucap Wijaya kemudian meraih kotak P3 yang ada di dinding ruang tengah.

Andini hanya bisa melihat betapa ekspresi khawatir keluar dari wajah datar milik suaminya. Entah kenapa, ia merasakan ada hal yang aneh, ketika Wijaya begitu pada dirinya. Perhatian ini lebih besar, dari pada perhatian Arjuna pada dirinya. Andini kemudian menahan senyum, ketika wajah datar itu sedang mengobati lukanya.

"Pelan-pelan, dong, gak punya perasaan banget, sih. Perih, tau," celoteh Andini membuat Wijaya menatapnya dalam.

"Ini gak seberapa, dari pada aku yang sabar menghadapi kamu." Wijaya kembali mengolesi obat merah pada jari telunjuk Andini.

Andini pun hanya bisa terdiam membeku. Tak ada yang bisa ia lakukan lagi? Selain merasa bersalah di dasar hati. Mungkin ini juga salahnya. Ketika Wijaya bersama dirinya, Pria itu tampak tak bahagia. Raut wajahnya juga diam dan dingin tak tersentuh, tapi ketika bersama Lina, pria itu terlihat ceria dan bahagia.

"Kenapa lo milih nikah sama gue? Sedangkan lo punya sahabat yang baik, dan muslimah seperti Lina." Andini bertanya, dengan tatapan mata yang menatap kearah Wijaya.

Wijaya tak menjawab. Pria itu justru sibuk dengan perban yang membalut jari telunjuknya. Kehati-hatian yang pria itu tunjukkan ketika mengatasi lukanya, membuat Andini sadar bahwa pria itu tak mau memberinya luka.

"Udah selesai. Kalau gak bisa cuci piring, jangan cuci piring. Bahaya," ujar Wijaya membuat Andini sedikit terhenyak.

Ketika Wijaya akan berdiri dan ingin menaruh kota obat di atas meja, Andini justru menarik tubuh pria itu, dan mengecup bibir Wijaya singkat, membuat aliran listrik seakan menyengat tubuh tegap milik Wijaya.

Imamku Dari Instagram (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang