|IDI 10| Fase Sulit

5K 529 2
                                    

Untuk sekarang, aku hanya ingin melewati fase yang membuat hatiku sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Untuk sekarang, aku hanya ingin melewati fase yang membuat hatiku sakit.

Fase dalam KBBI adalah tingkatan masa, atau perkembangan manusia dari dulu hingga sekarang. Perkembangan yang membuat kita tak stay saja pada masa lalu yang menimbulkan jejak luka. Ketika kita keluar dalam fase yang mengekang dan penuh kesulitan, kita akan memahami satu hal. Berjuang lebih baik dari pada menyerah sebelum Medan perang. Kita anggap di anggap pecundang, jika kita kalah sebelum mencoba arti perjuangan.

Walau ia tak mau melewati fase ini, tapi Andini akan tetap melewati. Anggap saja ini tantangan bagi dirinya. Tantangan yang tak pernah usai, walau hatinya ingin cepat menyerah. Dalam hati ia menolak semaunya, tapi ia tak mampu memberontak dengan kata-kata.

"Andini, besok adalah hari pernikahan kamu. Jangan permalukan Ayah dan Bunda." Ridwan berkata ketika acara makannya sudah selesai.

Andini yang tengah menguyah menghentikan aktivitasnya. Ia menatap sendu pada sang Ayah. Apa ia seburuk itu? Menjadi anak dari keluarga yang cukup berada?

"Emang Andini selalu buat Ayah malu, ya? Gak ada anak, yang ingin mempermalukan kedua orang tuanya sendiri," balas Andini menatap sang ayah begitu dalam.

"Tentu saja. Kau itu wanita, tapi kelakuan tak mencerminkan seorang muslimah." Ridwan kembali menyesap kopinya.

Rahma yang mendengar itu sedikit terkejut dengan apa yang suaminya itu katakan pada anaknya. Tak seharusnya, seorang orang tua berkata yang akan membuat hati anaknya terluka. Apa lagi besok hari bahagia untuk anaknya, walau dalam hati ia tak yakin dengan itu semua.

"Ayah ... Jangan terlalu keras dengan Andini. Besok hari pernikahan, tak baik menyakiti hati anak sendiri," tegur Rahma dengan suara yang lembut.

Ridwan mengusap wajahnya frustasi. "Dia itu tak pantas lagi untuk di perlakukan lembut. Ayah malu, Bun. Keluarga kita keluarga yang religi, tapi lihat anak kita? Dia selalu keluar masuk club, tanpa mengingat Allah bahwa itu akan mendapatkan siksa."

Andini yang mendengar itu membanting sendok di piringnya. Andini menatap sang ayah dengan mata yang berkaca-kaca. "Kalau Andini membuat Ayah malu, kenapa Andini harus hidup? Andini mau mati saja. Andini selama ini selalu di paksa untuk mengikuti semua peraturan Ayah, tapi Ayah gak mau mengerti kondisi hati Andini."

"Apa yang kamu bicarakan Andini!" bentak Ridwan dengan mata yang memerah, menahan segala rasa emosi yang ada.

"Ayah, istighfar," ucap Rahma sembari menahan suaminya.

"Ayah gak paham, kalau Andini gak cinta sama Wijaya. Andini mau menikah dengan pria yang Andini cinta, bukan pria yang hanya sementara. Andini gak mau, Yah," lirih Andini menatap mata sang ayah.

"Apa Arjuna menempati janjinya pada Ayah? Pria itu bilang, setelah ia lulus S1, ia akan melamar kamu dan membawa keluarganya kemari. Sekarang apa? Dia malah melanjutkan studi dan meninggalkan kamu tanpa kepastian lagi. Apa itu yang di namakan mencintai? Jawab Ayah!" Ridwan berteriak marah pada sang anak yang selalu saja melawan dirinya.

Hati Andini hancur saat ini. Belum cukup luka yang ia dapat, sekarang sang ayah kembali menyudutkan dirinya lagi. Apa tak ada yang mengerti kondisinya? Walau hanya sebiji kacang saja. Andini yang mendengar itu tak kuat. Ia segera berlari, meninggalkan aksi makan dan masuk ke dalam kamarnya.

"Lihat, apa itu yang di katakan dengan anak yang baik?" tanya Ridwan sembari menatap sang istri.

Rahma yang mendengar itu hanya tersenyum. Ia kemudian memberikan minum pada suaminya. "Biar Bunda yang berbicara. Sesuatu yang di lakukan secara emosi, maka hasilnya tak akan baik Ayah. Bunda ke atas dulu."

Rahma dengan baju gamis besarnya berjalan menaiki anak tangga. Ketika ia berada di depan kamar anaknya, ia segera membuka, dan menemukan Andini yang tengah menangis sembari memeluk lututnya. Rahma kemudian menutup pintu. Ia kemudian merengkuh tubuh sang anak dalam pelukannya.

"Tak selamanya yang kau anggap baik, akan terlihat sama juga. Yang kau anggap jahat, belum tentu jahat. Pahami kasih sayang Ayah kamu, Nak." Rahma mengelus rambut panjang milik Andini.

Andini yang mendengar itu menatap mata sang Bunda. Mungkin hanya sang bunda yang mengerti apa yang ia rasa, tanpa perlu berkata. Jika ia menikah, siapa yang akan mengerti kondisinya? Pria itu tak mungkin peduli dengan dirinya.

"Kalau Ayah sayang, gak mungkin menyakiti hati Andini, Bun. Andini selama ini mungkin buat malu Bunda dan Ayah, tapi Andini gak bisa di paksa." Andini meneteskan air matanya.

Rahma tahu, tak selamanya apa yang kita katakan akan di anggap baik oleh yang mendengar. Makanya, pemilihan diksi sebelum berbicara sangat diperlukan. Tipe dan perasaan orang berbeda-beda. Kita tak bisa melihat, mana orang yang bermain hati, mana yang tidak. Semua itu sudah di atur oleh yang Maha Kuasa.

Yang harus menerima takdir bukan hanya Andini saja, tapi ia sebagai ibunya pun harus membutuhkan kesabaran dalam memahami anaknya. Andini orang yang tak suka di atur, mungkin ini terbawa dari suaminya. Mungkin keluarga mereka religi, tapi ada satu orang yang tak mau di ajak baik. Bukan tak mau, tapi belum terketuk pintu hati.

"Ayah sayang sama kamu, makanya Ayah mau kamu berubah. Ketika besok kata sah sudah terucap, maka kamu bukan lagi tanggung jawab kita. Kamu sudah milik Wijaya, dan apapun yang kamu lakukan, Wijaya bisa menegur kamu kapan saja. Mungkin tak sama dengan Ayah, tapi cara seseorang nantinya akan berbeda. Jangan cari masalah, kalau Ayah gak mau marah lagi sama kamu. Paham, Nak?" tanya Rahma menjelaskan dengan suara yang halus dan lembut.

Andini tampak mengangguk dari pelukannya. Ia pun hanya bisa tersenyum merasakan respon itu. "Surga kamu dan orang tua, ada pada suami. Jika kamu ingin masuk surga, maka kamu harus melayani dan mengikuti suami kamu. Jangan membantah. Perlahan-lahan kamu akan terbiasa dengan kehidupan Ayah dan Bunda nanti."

Andini yang mendengar itu justru kembali menangis. "Andini gak cinta sama Wijaya. Pernikahan ini pasti akan menyiksa Andini. Andini takut."

"Tak ada pernikahan yang menyiksa. Setiap orang tua, pasti ingin anaknya bahagia. Apapun yang di pilih oleh Bunda dan Ayah, itu memang yang terbaik untuk semua. Wijaya pria yang baik, bahkan anak buah Ayah sudah mengikuti dia beberapa hari ini. Ayah berkata seperti itu, karena ia melihat kamu menghina Wijaya yang tak lain adalah calon kamu sendiri."

Andini yang mendengar itu pun terkejut. Ia menatap mata sang bunda, berusaha untuk mencari kebohongan yang mungkin ada. Andini pun tak menemukan kebohongan di sana. Ternyata memang benar, jika apa yang dikatakan bundanya tak ada yang bohong. Ayahnya ternyata selalu menyuruh orang untuk mengikuti aktivitas dirinya. Pantas saja, ketika ia selalu pergi keluar malam, ayahnya selalu tau apa yang ia lakukan. Mungkin ketika ia menikah nanti, kehidupan akan terasa bebas.

#TBC

GIVE ME VOTMENT PLEASE 💜

DON'T FORGET VOMENT GUYSS

PART KALI INI GIMANA?

Imamku Dari Instagram (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang