HAPPY READING!!11
****
Halo papa, Marsya udah ngelakuin apa yang papa bilang. Papa tinggal nunggu kabar baik dari Marsya aja,"
"Okey pa, papa jaga kesehatan ya."
Sambungan telepon Marsya terputus, panggilan dari seorang lelaki yang dipanggilnya papa. Tak lain dan tak bukan adalah ayah Marsya.
"Kamu gak bisa nyakitin aku lagi Rafa, kamu harus bertanggung jawab atas hidupku."
****
Aku menikmati keheningan malam di balkon kamar dan merasakan kesejukan udara yang masuk dalam relung jiwaku. Ku pandangi pepohonan yang bergoyang mengikuti irama musik yang diciptakan oleh angin dan udara. Saat saat seperti ini sudah tak pernah lagi kulakukan semenjak seseorang itu memasuki kehidupanku.
Tok...tok...tok
"Non Deeva." panggil seseorang yang sepertinya adalah Bi Inah.
Aku melangkahkan kakiku menuju pintu, membukanya dengan perlahan sehingga tampaklah wajah cemas dari Bi Inah.
"Ada apa bi?" tanyaku lirih hampir tak bisa didengar oleh siapa pun.
"Non makan dulu ya, udah Bibi siapin di bawah dari pagi non belum makan." pinta Bi Inah.
Aku tersenyum tipis. "Bibi gak usah repot repot, Deeva udah makan diluar."
"Ya sudah, nanti Bibi bawain susu buat non."
"Makasih ya bi," aku memeluk hangat Bi Inah.
Saat seperti ini aku membutuhkan sebuah pelukan dari seorang ibu, seseorang yang mampu menciptakan ketenangan disaat anaknya berada dalam sebuah masalah.
Tetesan air yang sangat tak kuinginkan menetes perlahan membuat diriku semakin lemah. "Deeva cuma punya bibi, semuanya udah ninggalin Deeva."
"Jangan ngomong gitu non, semua bakal baik baik aja. Yakin sama Allah, banyak banyak berdoa ya non." ucapnya memberikan nasehat.
Aku melepaskan pelukanku, mengangguk perlahan mengusap air mata yang telah tumpah.
"Non harus janji, non harus kuat jangan lemah seperti ini. Non Deeva yang Bibi kenal bukan kekgini," wanita itu menghentikan ucapannya sejenak.
Wanita tua yang kini sudah kuanggap orangtuaku membelai lembut kepalaku. "Non Deeva yang Bibi kenal itu periang dan selalu sumringah,"
"Non harus kuat demi tuan Akbar, Nyonya Zia, orangtuanya non, janji ya." Bi Inah mengangkat tangan dan membentuk kepalan hingga tersisa jari kelingking yang masih berdiri kokoh.
Aku tersenyum, mengangkat tanganku dan menyatukan kelingkingku pada kelingking Bi Inah, menandakan terciptanya sebuah perjanjian antara seorang anak dan ibu.
"Siap bi." patuhku dengan semangat yang kembali berkobar.
"Non tidur gih, udah malem."
Aku mengangguk pelan dan menutup kembali pintu kamar lalu membaringkan tubuhku dikasur. Hingga tanpa kusadari aku sudah hilang kendali dan lelap di alam bawah sadarku alias sudah berada di alam mimpi.
****
"Kenapa aku lemah ya Allah hingga aku gak mampu mengakui dihadapan Marsya kalau aku sudah menikah. Tolong beri hamba kekuatan untuk menjalani takdir yang telah engkau gariskan pada hamba." pinta Rafa lirih sambil mengadahkan kedua tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADEERA
Teen FictionGak kebayang nikah di umur yang masih belasan tahun. Gimana ya rasanya? Aku terpaksa menikah dengan lelaki yang tak kucintai. Kami menikah bukan karena dijodohkan, namun karena sebuah kondisi yang memaksa kami untuk menikah. Sama halnya seperti ce...