Bagian 28

267 12 2
                                    

HAPPY READING!!

28
****

Tante Bella membuka pintu mencari pelaku yang telah sengaja memecahkan kaca jendela rumahnya. Aku mengikuti Tante Bella.

Namun hasilnya nihil, sama sekali tidak ada orang diluar sana. Aku berlari menuju pagar rumah, menengok kanan kiri dan tak ada siapapun. Kami kemudian masuk ke dalam rumah karena tak mendapatkan apa yang dicari.

"Tadi saya denger ada yang pecah Tante, apa yang pecah?" Aku dan Tante saling memandang.

Ya Allah Babang Rafa yang kegantengannya mengalahkan Babang Tamvan, datangnya kurang lama.

"Udah telat." ucapku ketus. Tante Bella menegurku karena terlalu kejam menjawab pertanyaan Rafa.

"Ada yang lempar batu ke rumah, itu kamu bisa lihat sendiri."

Rafa mengamati batu yang sudah melesat masuk ke dalam rumah melalui kaca yang begitu indah.

"Seseorang membenci kita, tepatnya salah satu dari kita." Rafa melirik Tante Bella seolah mengintimidasi bak seorang detektif yang ingin mengupas tuntas sebuah kasus pembunuhan. "Tante adalah sasaran yang paling kuat, apa Tante punya musuh?"

Tante Bella kaget kalau ada orang yang membenci dirinya, dia mencoba mengingat sesuatu sambil menimang-nimang Wira yang mulai rewel.

"Hanya ada satu kemungkinan siapa pelakunya."

****
Aku dan Rafa tengah duduk di sofa yang sama tapi masih ada jarak diantara kami, memandangi tukang yang sedang memperbaiki kaca jendela rumah.

"Seperti di film-film misteri." ucapku membuka keheningan diantara kami. Rafa menatapku.

"Jangan terlalu dipikirkan, ini tidak seserius itu." Aku mengangguk pelan. "Wanita sama seperti kaca itu. Dia terlihat kuat tapi sesungguhnya ia sangat mudah retak."

Aku membalas tatapan Rafa yang begitu tenang. Sekian detik kemudian aku menarik senyum tipis. "Jika terlalu erat dipegang ia akan pecah dan melukai tanganmu, jika terlalu longgar dia akan jatuh berkeping."

Rafa merunduk, aku yakin saat ini ada rasa penyesalan dari dirinya. Entah apa yang membuat dirinya menyesal, itu masih menjadi sebuah misteri untukku.

"Jangan main-main dengan wanita." sambungku. Aku beranjak dan mendekati bapak paruh baya yang hampir saja menyelesaikan pekerjaannya.

"Istirahat dulu, Pak. Itu tehnya nanti dingin."

Bapak itu tersenyum hingga akhirnya duduk ditepi sofa berseberangan dengan Rafa dan aku.

Bapak itu menyesap teh dengan perlahan.

"Bapak sudah berapa lama kerja seperti ini?" tanyaku berlagak sok ramah padanya.

"Ini bukan pekerjaan tetap saya, Nak. Saya cuman pekerja paruh waktu, kalau ada yang memanggil saya lah saya datang. Kalau gak ada ya saya yang datengi." ucap Bapak itu diakhiri gelak tawa pelan.

Aku dan Rafa ikut bahagia melihat tawa lepas sang Bapak.

"Sudah hampir tiga puluh tahun saya kerja paruh waktu, alhamdulilah sampai sekarang saya dan anak-anak saya masih bisa hidup. Semua yang sudah Allah berikan pada keluarga saya sudah sangat cukup baik itu banyak ataupun sedikit.

ADEERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang