HAPPY READING!!
12
****Aku memberikan hatiku sepenuhnya padamu. Apa yang terjadi padaku tanpa kesalahan apapun. Kau sudah menyentuh hatiku melalui hatimu. Kau membelai lembut jiwaku seakan kau menyaksikan bintang dalam dekapanmu. Aku tidak tahu sejak kapan dia datang dalam pikiranku, seolah mengajakku menari dengan membentangkan tangan menikmati hembusan angin tanpa beban apapun.
Rasanya ingin ku hentikan segalanya, dunia seakan berhenti sekejap. Walau kau tidak mengatakan apapun, aku dapat merasakan kegelisahan yang bergelut dalam hatimu. Bimbang mengungkapkan bahwa aku telah menjadi angin dan kau adalah musim. Aku akan menjadi angin dan datang padamu.
****
Aku mendekat. Mempercepat langkahku ketika Bang Rafa memanggil diriku, katanya ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Detak jantungku berdegup dengan kencang, darah mengalir begitu deras hingga bisa kurasakan setiap aliran darah yang bergerak lincah. Pandangan penuh harapan agar terus bersama menjalani manis pahit kehidupan dan ketakutan dunia berlari meninggalkan aku."Ada apa bang?" sekali lagi aku menatapnya penuh rasa cemas, sepersekon kemudian dia mulai menggerakkan bibirnya.
Ada sebuah kenyataan pilu yang agaknya dia pendam, tak bisa diungkap dengan kebenaran. "Aku membutuhkan dirimu, seperti udara untuk bernafas. Setiap kali aku ingin tertawa atau menangis, aku mencarimu seperti telapak kaki mencari bumi untuk berpijak." sejenak dia mengesah panjang untuk mengatur pernapasannya yang kini mulai berpencar tak tau arah.
Aku mengernyitkan dahi. Tak paham maksud dia mengatakan hal hal manis ini padaku. Sejenak aku teringat pada sekelumit masalah tempo hari lalu. Luka yang masih tampak dan masih terasa perih. Apakah Bang Rafa ingin menyembuhkan luka itu. Lalu menciptakan luka baru yang lebih menyakitkan.
"Maksud abang apa?" Aku tak ingin terhanyut dalam kata kata manisnya. Aku melirik Marsya yang sedari tadi menatap kami dengan tatapannya yang seperti mengintimidasi pelaku kejahatan dan siap menjatuhkan hukuman.
"Hanya kehadiran kamu yang bisa buat aku tenang. Aku akan tetap selamanya di depan pintu hatimu. Menunggu pemilik hati membukanya untukku."
"Sumpah Deeva gak ngerti, rencana apa lagi yang kalian buat?* Aku menjauhkan tubuhku beberapa langkah dari tubuh Bang Rafa, yang tadinya begitu dekat hingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya disetiap mulutnya membuka suara.
"Maafin Abang. Malam ini Marsya mutusin balik ke Sumatera setelah tahu semuanya." Aku masih bingung dengan ucapan Bang Rafa, apa yang diketahui Marsya sampai membuat hatinya tergerak keluar dari rumah ini.
"Aku tau kalian udah menikah, Rafa udah jelasin semuanya ke aku. Jadi aku mutusin untuk saat ini aku bakal balik ke Riau." Marsya mulai bersuara, mataku tertuju pada sebuah koper milik Marsya. Meyakinkan aku bahwa di benar benar ingin pergi. Aku menggerakkan kakiku melangkah ke dekat Marsya. Dihadapannya aku merasa canggung, tak enak hati telah menghancurkan mimpinya bersama Rafa.
"Aku bingung mau sedih apa senang sana keputusan kamu ini. Aku berterimakasih, kamu mau mengesampingkan keinginan masa lalu kamu untuk hidup bersama Bang Rafa." aku menghentikan ucapanku sejenak. Melirik Bang Rafa yang sedang melipat tangannya di dada. Menyimak apa yang ku katakan.
"Aku sadar, aku hadir diantara kalian. Tapi aku gak bisa gitu aja ninggalin Bang Rafa. Perceraian adalah hal yang dibenci Allah. Walaupun kamu tetap bersikukuh buat jadi istri Bang Rafa, aku tetap pertahanin pernikahan kita. Maaf." Aku tak menunggu respons Marsya yang begitu serius menatapku. Sebegitu senangnya aku hari ini. Aku berlari ke kamar. Menaiki satu persatu anak tangga.
"Deeva," Langkahku terhenti diujung anak tangga. Aku menoleh pada suara yang memanggil namaku. "Kita berangkat dulu ya."
Aku mengangguk, mengiyakan. Ku pandangi punggung mereka. Hingga tenggelam saat pintu tertutup rapat.
****
Beban yang memikul pundakku telah tersingkirkan. Aku kini hanya tinggal berdua di rumah bersama bi Inah. Bang Rafa tinggal di apartemen milik om Akbar. Berhubung bang Rafa sebentar lagi wisuda, banyak hal yang mau diurus. Belum lagi menyusun skripsi. Mempersiapkan sidang. Bak tersangka yang mempersiapkan jawaban dengan segala bukti. Dan siap dieksekusi bila jawaban bertolak belakang dengan hati.Sesekali bang Rafa berkunjung ke rumah. Kalau hari libur dia bakal nginap untuk sehari atau dua hari. Jarak dan ruang memisahkan kita sementara. Justru hal ini membuat kami semakin dekat. Setiap hari bang Rafa menjemputku ke rumah. Hanya untuk mengantarku pergi ke kampus. Acap kali aku menolak, namun sikap keras kepalanya membuat aku luluh.
Pagi ini, Bang Rafa menjemputku. Aku sudah menyiapkan sarapan untuknya. Hal ini sering aku lakukan. Apalagi bi Inah selalu siap mengajariku untuk memasak. Walaupun sering ada lecet pada masakanku. Tapi aku bahagia bisa menyiapkan sarapan untuk Bang Rafa.
"Assalamualaikum." Tanpa menunggu izin masuk rumah, Bang Rafa langsung masuk dan meletakkan tasnya di sofa depan. Sudah merupakan sebuah kebiasaan baginya, saat sampai ke rumah langsung menuju meja makan. Dan siap menyantap masakanku.
"Pagi ini masak apa, Dek?" Panggilan baru untukku. Aku menyukai saat dia mengganti panggilanku. Adek. Dan aku mulai mencoba mengganti panggilanku padanya. Mas Rafa. Begitulah aku memanggilnya.
"Hari ini Deeva masaknya beda." Aku menyiapkan piring bersih di meja makan. Lalu meletakkan sendok dan garpu sepasang. Menatapnya erat erat. Enggan melepaskan tatapanku padanya.
"Wah, sepertinya enak nih. Mas gak sabar." Mas Rafa menopang dagunya dengan tangan. Membalas tatapanku dengan sedikit menggoda.
"Deeva masak nasi goreng." Aku meletakkan sepiring nasi goreng dicampur dengan beberapa sosis yang telah dipotong. Plus telur ceplok diatasnya.
Mas Rafa tersenyum geli melihat aku menyodorkan nasi goreng lagi. "Masak yang beda ya." Bukan pertama kali aku memasak nasi goreng. Hampir tiap hari aku memasak nasi goreng padanya. Dengan campuran yang berbeda beda.
"Kemarin nasi goreng, hari ini nasi goreng. Bedanya dimana dek." godanya sambil melahap nasi goreng buatanku.
"Kemaren kan pake telur dadar dan gak pake sosis. Sekarang Deeva bikinnya pake sosis plus telur ceplok. Gimana, enak gak?"
"Kamu tau gak kenapa Mas gak pernah sarapan diluar?" Sebuah pertanyaan mudah namun sulit untuk dijawab. Aku mengernyitkan dahi. Mencoba menebak. "Masakan aku lebih enak kan." Alisku naik turun, menggoda Mas Rafa.
Lagi lagi dia tersenyum sambil menghabiskan nasi goreng yang ada di dalam mulutnya. "Yups. Yang paling penting kamu masak pakai hati. Bumbu bumbunya diracik pakai tangan_"
Aku memotong. Bibirku tertarik sedikit, hingga bisa dilihat senyum di wajahku. "Wih gombal. Masak itu pake tangan kali, hati gak bisa masak." Aku mencoba mengendalikan diri agar tidak termakan rayu. Sifat perempuan memang begitu. Ketika ada lelaki yang memuji keindahan atau kelebihannya pasti direspons cuek. Jual mahal katanya.
"Ce-ileh, dibilangin gak percaya. Adek udah makan?"
"Udah kenyang liat Mas Rafa makannya kekgitu." Seketika Mas Rafa berhenti memasukkan nasi ke mulutnya. Dia memang seperti itu. Makan tanpa henti. Seperti tikus menggerogoti apa saja yang ada dihadapannya. Mas Rafa mengangkat tangannya menuju hidungku. Sepertinya dia hendak memencet hidungku yang pesek. Aku berhasil menghindar. Aku berlari ke kamar. Sebelum itu aku menjulurkan lidah, mengejek kemenangan.
****
Pagi begitu cerah. Keringat bercucuran dibalik jilbab peachku. Aku mengibaskan tangan berniat menghilangkan rasa gerah. Namun rasanya masih sama. Aku mempercepat langkahku. Tiba di kelas aku akan menikmati dinginnya AC.
Bruk. Aku menabrak batu yang lumayan besar. Badanku terpental agak jauh dari batu. Aku memegangi ujung kakiku yang terasa sakit. "Shhh." Aku mengesah kesakitan. Melirik kesana kemari berharap ada seseorang yang menolongku.
Kembali mencoba berdiri, namun tidak mampu. Rasanya kakiku mengeras menjadi batu. Aku mendongak ke atas saat ada seseorang mengulurkan tangannya memberi bantuan. "Kak Nazri."
***
NS.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADEERA
Teen FictionGak kebayang nikah di umur yang masih belasan tahun. Gimana ya rasanya? Aku terpaksa menikah dengan lelaki yang tak kucintai. Kami menikah bukan karena dijodohkan, namun karena sebuah kondisi yang memaksa kami untuk menikah. Sama halnya seperti ce...