Hey guys, gimana nih kabarnya? Maaf udah nunggu lama.
Pada kangen gak nih? Enggak ya?
Okey kekangenan aku bertepuk sebelah tangan:(Langsung baca aja yok.
HAPPY READING!
21
****Lantunan suara adzan bergema, sahut menyahut satu sama lainnya. Alunan indah suara muadzin terdengar begitu indah. Pelafalannya yang lantang mampu membangunkan umat muslim untuk bergerak melaksanakan shalat. Seolah sebuah jam alarm yang berbunyi tepat waktu dan selalu berhasil membangunkan orang-orang yang memang menginginkannya.
Aku melangkahkan kakiku ke kamar mandi dan mulai membersihkan telapak tangan sampai membersihkan kaki.
Selepas shalat subuh, aku merapikan tempat tidur. Lalu kembali mengerjakan tugas yang belum selesai untuk dikumpulkan hari ini. Beruntung hari ini kelasnya agak siang, sehingga bisa bersantai ria menikmati kesejukan pagi.Aku membukakan jendela agar bisa menikmati udara pagi menyapa telingaku. Membisikkan kata-kata yang mampu menenangkan jiwa. Deritan jendela terdengar saat aku mulai membukanya. Angin berhembus teratur, aku memejamkan mata lalu menarik nafas panjang berusaha menikmati udara segar membersihkan rongga hidung.
Saat kembali membuka mata, aku melihat seorang lelaki berjaket hitam mendekati kost-an kami. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, lelaki itu mengendap-endap dengan membawa sebuah tas kecil yang entah apa isinya. Aku menuju pintu keluar, membuka sedikit tirai memberikan celah untuk aku mengintip apa yang sedang dia lakukan.
Lelaki itu meletakkan tas itu di depan pintu, lalu berlari meninggalkannya. Aku semakin bingung dan penasaran, apa yang sebenarnya diinginkan lelaki itu. Setelah memastikan dia telah pergi, pintu kubuka dan mengambil tas yang diletakkannya tadi. Perlahan aku membuka tas itu.
"Bunga? Cokelat? Apa ini?"
Sebuah panggilan telepon masuk ke ponselku. Dengan cepat aku menggeser tombol hijau.
"Saya tau, kamu pasti sudah menerima bunga dan cokelat saya. Semoga kamu suka."
Aku memandangi sekeliling, cowok misterius itu pasti masih berada disekitar rumahnya. "Lho siapa? Kenapa lho neror gue?"
"Ini bukan teror. Kamu sedang berada di fase yang sangat sulit, saya ingin melihat kamu tetap tersenyum. Dengan bunga dan cokelat itu, saya harap bisa membuatmu melupakan kesedihanmu."
Panggilan teleponnya terputus.
Aku mengambil tas yang berisi bunga dan cokelat pemberian mister x itu kemudian membuangnya kedalam tempat sampah. Mungkin sebagian wanita akan merasa senang jika mendapat hadiah dari seorang penggemar rahasia. Namun, aku membenci pemberian secara sembunyi. Apakah cowok itu tidak memiliki keberanian hingga memberikannya hadiah dengan cara seperti ini. Aku membanting pintu dengan keras.
Dea yang sudah bangun dari tadi menghampiriku. "Kamu kenapa sih va, lagi pms?"
"Itu ada yang ngasih bunga sama cokelat lagi ke gue. Tadi gue liat ada cowok pake jaket hitam taruh bunga sama cokelat itu di depan pintu. Gue penasaran sama itu orang, maksud dia apa coba?" tanpa henti aku menceritakan pada Dea yang tampaknya sangat menyimak ocehanku.
"Coba lho ingat-ingat, di kampus nih ya, ada cowok yang naksir sama lho gak?"
Aku mengernyit seraya berpikir sejenak mengenai apa yang dikatakan oleh Dea. Selama ini aku tidak pernah peduli apakah ada orang yang menyukai aku atau tidak.
"Jika ingin melupakan masa lalu, cobalah membuka ruang agar masa depanmu bisa masuk kesana."
Aku teringat dengan kata-kata itu, juga orang yang mengatakannya. "Yak." Dea mengangguk dan menatapku keheranan. Aku melangkah keluar hendak mengambil bunga dan cokelat yang telah berada ditempat yang tidak layak. Aku mengambil bunga dan cokelat itu, kemudian meletakkannya diatas kasur. Tanpa berkata apapun pada Dea hingga Dea memandangi aku penuh kebingungan. Aku pergi ke kamar mandi lalu bersiap akan pergi menemui seseorang.
"Pagi-pagi gini lho mau kemana? Gue temenin lho ya." tantha Dea padaku yang tengah sibuk memasuki beberapa barang kedalam tas.
Aku mengambil bunga dan cokelat tadi, "Gue mau ke suatu tempat, lho gak usah khawatir, gue ada urusan bentar." ucapku seraya keluar dari kost-an.
****
Aku sudah berada disebuah komplek perumahan yang bisa dibilang cukup ramai penghuninya. Penghuni disini bisa digolongkan kelas atas. Para pembantu tengah sibuk membersihkan rumah majikan mereka. Aku memandangi sekeliling, membaca nomor rumah yang ada disana. Ini adalah kali pertama aku masuk ke perumahan ini. Sebelumnya Rafa pernah mengajakku, tapi karena enggan aku memilih menunggu di dalam mobil.Aku mengecek nomor yang aku catat di ponselku, memastikan kalau aku sudah berada di depan rumah yang benar. "70 C." Setelah yakin bahwa itu adalah rumah yang kucari, perlahan aku mengetuk pintu seraya mengucapkan salam. "Assalamualaikum." Beberapa kali aku mengetuk, tapi belum ada jawaban sama sekali.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam," Dari dalam rumah aku mendengar suara derap langkah kaki seraya menjawab salam dariku. Sepertinya itu adalah suara orang yang aku cari. Dia membuka pintu, hingga menampakkan wajah kusut dan rambut yang masih acak-acakan menghampiri diriku. Aku menatap dari atas ke bawah, cowok itu masih mengenakan celana pendek dibawah lutut dengan kaos putih yang mampu mempertahankan aura ketampanan cowok itu.
"Deeva? Ada apa, tumben kesini?" tanyanya dengan wajah gang berseri-seri seakan kedatanganku membuatnya bahagia. Aku meletakkan tas kecil berwarna cokelat berisikan bunga itu disamping kakinya.
"Aku gak bisa nerima ini dari kakak,"
Mendengar ucapanku, Nazri tampak bingung. "Udah banyak kali aku nerima bunga dari orang yang gak aku kenal. Hampir tiap minggu dia datang dan aku yakin itu pasti kamu, kak. Aku gak nyaman sama orang yang menusuk sahabatnya sendiri."
"Kamu nuduh aku? Asal kamu tau, aku bukan tipe orang yang suka hianatin sahabatnya sendiri. Dan soal bunga itu, aku sama sekali gak pernah ngirim bunga itu ke kamu." Ucapannya seperti menyambar ditelingaku, aku merasa kehilangan harga diri setelah Nazri mengatakan hal ini. Sebuah kesalahpahaman yang telah ku ciptakan membuat aku malu padanya. Setelah mendapat penjelasan dari Nazri, aku meminta maaf kemudian meninggalkannya dengan hati yang masih bertanya-tanya tentang lelaki yang memberikan bunga itu.
****
"Ternyata bukan dia yang ngasih bunga itu, yak." ucapku seraya menempelkan kepalaku di bahu Dea.Dea menyikut kepalaku dari bahunya, memandangiku tajam seolah ia sedang berhadapan dengan terdakwa kasus kriminal. "Dia siapa?" Aku lupa memberitahu orang yang aku sangka lelaki misterius adalah Nazri.
Aku mengalihkan pandanganku pada sebuah objek yang ada dihadapan kami. Sebuah motor berlalu lalang tanpa henti. Menyumbangkan suara bising yang setiap saat bersenandung keras. Aku menggaruk tengkukku yang tidak terasa gatal, "Nazri." ucapku pelan nyaris tak didengar oleh siapapun.
"Apa? Sumpah demi apa, lho nuduh kalau Kak Nazri yang jadi pengagum rahasia lho," teriak Dea yang hampir menyamai bisingnya suara motor dijalanan. Aku menutup telinga seraya memejamkan mataku ketika mendengarkan ocehan Dea. "Ya ampun va, gue gak habis pikir lho bisa-bisanya nuduh Kak Nazri yang lumayan ganteng jadi itu lho."
Saat Dea ingin membuka mulut, aku segera membekap mulutnya agar tak mengeluarkan ocehan tak pentingnya lagi. "Udah ngebacotnya?" Dea menggeleng, lalu aku melepaskan tanganku dari mulutnya. "Sumpah, dia pernah ngomong sesuatu yang bikin gue risih. Dan ucapannya bikin gue mikir dia yang ngasih itu."
Kami bergeming sejenak, saling melemparkan tatapan yang tak punya arti. Sesuatu melintas dalam pikiranku. Akankah dia orang misterius itu, atau mungkin aku akan mempermalukan diri sendiri lagi. Telah menuduh orang yang jelas tidak mempunyai maksud apapun padaku. Aku berlari meninggalkan Dea yang masih duduk terpaku di halte bus. Panggilannya tak kuhiraukan, aku berlari menyebrangi jalan yang dilalui berbagai jenis kendaraan.
****
Makasih udah nyempetin buat baca karya aku, SEMANGAT NUNGGU KELANJUTANNYA.
Jangan lupa vote sama comment. Babay.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADEERA
Teen FictionGak kebayang nikah di umur yang masih belasan tahun. Gimana ya rasanya? Aku terpaksa menikah dengan lelaki yang tak kucintai. Kami menikah bukan karena dijodohkan, namun karena sebuah kondisi yang memaksa kami untuk menikah. Sama halnya seperti ce...