29
****"Aku mencintaimu." Aku mengerjap beberapa kali berusaha menyaring sebuah kalimat yang baru saja menyelinap ditelinga.
Rafa mendekati diriku yang masih berdiri terpaku membelakanginya. Posisinya begitu dekat hingga deru nafasnya menghujani kepalaku. Aku berbalik dan mendongak menatap sorot matanya yang begitu tulus.
"Cinta itu lucu. Disaat kita berusaha mendapatkan cinta lain, maka cinta itu akan menjauh..." jeda sekian detik. "Ketika kita mulai melupakan cinta itu, dia malah berbalik menatap cinta yang telah ia abaikan."
Aku menepuk lengan Rafa beberapa kali. Rafa menahan tanganku kala aku hendak meninggalkannya.
Kedua tangannya memegang erat kedua tanganku lalu menariknya sangat dekat dengan tubuhnya.
"Apa kamu tidak mencintai Mas Rafa lagi? Ayo katakan?"
Aku tak mampu menatap binar matanya yang memancarkan pengharapan lebih dariku. Aku merunduk dan menggeleng pelan.
"Aku tidak bisa mendengarnya, katakan Deeva?" Aku melepas paksa setengah pelukan Rafa. Sekian detik kemudian aku mendorong tubuhnya hingga sedikit menjauh dariku.
"Apa semua yang sudah terjadi ini tidak bisa menjawab pertanyaan kamu?" Aku tersenyum getir dan melayangkan tatapan permusuhan. "Aku tidak menyalahkan apa yang telah terjadi, semuanya memang karena kesalahanku sendiri. Jangan merasa bersalah."
"Aku belum menikahi Marsya." Tubuhku seperti tersengat listrik. Bibirku bagai diberikan perekat hingga tak mampu bergetar sedikitpun.
Dengan terburu-buru Rafa keluar dari mobil mencari keberadaan Marsya di taman. Saat Marsya mengatakan akan mengakhiri hidupnya rasanya bagai dilempar dengan tumpukan beling.
"Kamu udah gila sya, bunuh diri gak menyelesaikan masalah kamu." Marsya mencoba merebut botol racun yang direbut oleh Rafa.
"Aku gak bisa hidup tanpa kamu, kamu sudah menikah. Untuk apa lagi aku hidup, ha?"
Rafa menarik Marsya ke pelukanku, ia sudah menganggap sebagai seorang adik yang harus ia lindungi.
"Kita akan menikah."
Dimalam itu juga Rafa meminta papanya Marsya untuk menjemputnya di bandara untuk pulang ke Riau.
Rafa membawa Marsya bersama seorang lelaki paruh baya ke sebuah pondok pesantren di Jakarta. Lukman-- Papa Marysa memeluk Marsya dari samping dan memapahnya masuk ke dalam.
"Marsya, untuk sementara waktu kamu tinggal disini dulu ya sayang. Papa akan sering nengokin kamu nanti." Lukman mengusap lembut puncak kepala Marsya. Marsya menepis tangan Lukman dengan keras.
"Marsya gak mau tinggal disini, Marsya mau menikah sama Rafa Marsya mau tinggal sama dia." Marsya mendekati Rafa. "Kita akan menikah kan fa, kamu udah janji sama aku."
"Iya sya, tapi kamu tinggal disini dulu."
"Kamu persiapkan pernikahan kita, aku mau acaranya seperti di Disneyland. Aku mau jadi putri Aurora nya Rafa." ucap Marsya diakhiri tawa getir.
Tak lama dua orang wanita berjilbab keluar dari pondok dan membawa Marsya. Marsya masih saja berontak ketika akan dimasukkan ke pondok.
Obsesinya menikahi Rafa sejak remaja telah menjadikan ia kehilangan akal. Bisa dikatakan Marsya mengalami sedikit gangguan psikologis.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADEERA
Teen FictionGak kebayang nikah di umur yang masih belasan tahun. Gimana ya rasanya? Aku terpaksa menikah dengan lelaki yang tak kucintai. Kami menikah bukan karena dijodohkan, namun karena sebuah kondisi yang memaksa kami untuk menikah. Sama halnya seperti ce...