Bagian 23

245 9 7
                                    

23
****

Satu hal yang aku yakini, segalanya akan baik-baik saja jika kita bisa menerimanya.

Aku memantapkan langkahku memasuki pesawat yang akan lepas landas. Pergi jauh meninggalkan kota ini. Walau sementara, tapi aku berharap ada sebuah keajaiban ditempat lain. Kalimantan adalah tempat yang sudah lama aku ingin kunjungi. Namun, kali ini bukan berkunjung untuk satu atau dua hari. Aku akan menghabiskan waktuku hingga mungkin satu tahun lamanya. Menghabiskan segala kenangan yang mungkin tertinggal seiring bergantinya malam.

Para penumpang telah duduk manis dikursi mereka. Namun, aku masih sibuk memperhatikan nomor kursi yang telah tertera, sama seperti ditiket. Satu persatu aku memeriksa nomornya. Hingga tepat disamping kursi yang bernomor sama pada tiket, aku berdiri disana.

Aku mengernyit bingung, melihat seseorang telah menduduki tempat dudukku. Aku tidak mungkin salah, di kertas jelas tertulis itu adalah tempatku. Namun, seorang lelaki berjubah hitam sedang bersandar dengan wajah yang ditutupi sebuah majalah.

"Permisi Pak," sebuah panggilan tak membuat lelaki itu bangkit. "Permisi Pak, anda sepertinya salah tempat duduk. Ini tempat duduk saya, Pak." Aku menekankan lagi pada lelaki itu. Namun, ia bergeming. Lantas aku memanggil pramugari, untuk mengusir lelaki itu dari tempatku.

"Mohon maaf mbak, silahkan mbak duduk di kursi itu. Kursi ini khusus untuk pria ini, mbak." pinta pramugari itu seraya menunjuk kursi diarah pojok belakang.

"Maaf ya mbak, ditiket saya tertulis kalau nomor kursi ini milik saya. Gak bisa gitu dong mbak, saya gak mau."

Pramugari itu kembali mengecek tiket yang aku sodorkan padanya, "Mohon maaf sekali lagi mbak, ini pasti ada kesalahan. Silahkan ke kursi mbak yang ada disana."

Dengan menatap kesal lelaki dan pramugari itu bergantian, aku berlalu menuju kursi yang katanya milikku.

Pesawat berangkat. Aku masih memandangi cakrawala. Awan putih bertemankan langit biru seakan melambai melepas kepergianku. Lewat jendela seolah sang angin membisikkan sebuah kalimat penyemangat. Agar aku tetap kuat menjalaninya. Iya, aku harap aku bisa. Aku merasa aku akan bisa menjadi kuat.

****
"Permisi, apa saya bisa menyewa satu kamar?" tanyaku pada wanita berseragam hitam di hotel itu. Dia mengecek, kemudian memberikan kepadaku sebuah kunci kamar seraya menyunggingkan senyum manisnya.

Aku memutar kunci, hingga terdengar suara ceklek. Perlahan aku membuka pintu, melangkahkan kakiku memasuki kamar yang bercat putih dengan sedikit bercak hitam seperti tumpahan cat di dinding sepertinya keberadaannya disengaja untuk memperindah dinding. Aku menyukai kamar ini, begitu tenang dan sepi. Dengan balkon yang menghadap ke laut, sengaja ku pesan agar aku bisa menikmati hembusan angin laut dengan tenang.

Malam ini begitu terasa sejuk, aku memutuskan tidur lebih awal dari biasanya.

Untuk beberapa menit pikiranku sudah tenggelam, melupakan segala kejadian tak menyenangkan. Namun, samar-samar aku mendengar bel kamarku berbunyi. Dengan berat hati, aku membuka mataku yang terasa begitu berat dan enggan untuk dibuka.

Aku masih menyeimbangkan tubuhku yang belum terkendali seperti orang mabuk menuju pintu. Dengan dua kali putaran kunci, aku membuka perlahan pintu dengan celah yang sangat sedikit.

Aku mengucek mataku yang masih kabur. Aku memandangi sekeliling, lorong tampak sepi. Saat mataku sibuk mencari seseorang yang telah memencet bel, kakiku tak sengaja menendang sesuatu. Aku menunduk, melihat benda yang berada di kakiku. Aku berjongkok, mengambil benda tersebut. Sebuah kotak merah dengan sebuah pita kuning diatasnya.

Dengan penuh rasa penasaran aku membuka kotak dengan perlahan.

****

Hay guys. Sengaja nih aku gantung ceritanya supaya greget gimana gitu hehe.

See you in the next chapter.

ADEERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang