Hai..hai..hai
Adeera up lagi nih :)Maaf buat kalian kalian yang udah pada nunggu !
Langsung aja yuk,
HAPPY READING!!
19
****"Masih gak enak badan va?"
"Udah baikan, aku lagi butuh istirahat aja. Titip salam ke anak-anak ya."
"Cepat sembuh buat lo va, assalamualaikum."
Setelah menjawab salam dari Bondan aku mematikan sambungan teleponnya. Hari ini aku memilih berada di rumah. Padahal hari ini adalah hari terakhir ospek. Aku tidak mau memperburuk mood ku jika nanti bertemu dengan Rafa.
Dea baru saja keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih menempel di bahunya. "Gak ke kampus lagi?"
Aku hanya menggeleng, "Aku ke dapur dulu nyiapin sarapan."
Dea seakan paham dengan kondisiku saat ini. Ia hanya tak ingin memperburuk suasana hatiku. "Masak nasi goreng kan, gue pake telor ceplok ya."
"Iya-iya aku tau."
Aku mulai memasak. Namun sebenarnya pikiranku tidak tertuju pada masakan. Aku mengasihani diriku yang begitu lemah, berusaha bertahan saat fisik menolak menerima untuk bertahan. Angan ingin bergerak ke depan, tetapi hati selalu menahan. Entah bagaimana caranya memadukan sesuatu yang bertolak belakang. Hanya mengikuti arus air yang mengalir. Bak sampah yang terus bergerak mengikuti jalan si air. Tanpa tahu kapan dan dimana akan berlabuh.
Aku sudah selesai memasak. Di meja makan Dea sudah menunggu nasi goreng untuknya. Dea memang anak kos, tapi dia sama sekali tidak tahu caranya memasak.
Aku meletakkan nasi goreng plus telur diatasnya. Dea tercengang saat aku menyodorkan nasi gorengnya. Aku mengernyit bingung tidak mengerti. Apa yang salah dariku?"Lo lagi sakit?"
Aku menggeleng.
"Perasaan aku tadi minta masakin telur ceplok deh, apa telur ceplok udah berubah jadi telur dadar?"
"Kamu aja gak bisa bedain mana telur ceplok sama telur dadar. Hahahaha"
Aku tersenyum jika mengingat kejadian hari itu. Dimana Rafa tertawa saat aku tidak bisa membedakan telur ceplok dengan telur dadar. Sama persis dengan kejadian hari ini. Kenangan itu kembali terulang. Kenangan yang sangat indah sekaligus sakit bila diingat. Perih rasanya seolah ada luka yang masih belum sembuh dari dalam sana.
"Va, lo gak papa kan?" Aku tersadar dari lamunanku. Kini aku bisa menahan air mataku agar tidak tumpah lagi. Entah darimana kekuatan ini berasal. Atau mungkinkah air mataku sudah kering karena terlalu sering menangisinya.
"Gue ke kamar dulu, lo makan apa yang ada aja. Telur ceplok atau telur dadar apa bedanya, sama aja." Aku pergi begitu saja, tanpa menatap Dea. Takut kalau dia melihat kesedihan lagi di mataku. Tidak enak hati jika semua kesedihanku ku bagi padanya.
Aku memandangi seisi kamarku, memandangi foto-foto yang tertempel di dinding. Mengingat kenangan pahit yang kulalui sekaligus kenangan indah bersamanya. Miris melihat nasibku yang harus menikah dengan orang yang tidak pernah mencintai aku. Rasanya seperti sudah memasak makanan yang sangat spesial namun disentuh pun tidak. Keberadaannya dianggap namun tak berarti. Begitulah sekarang nasibku.
Dea memandangi aku, dia mengernyit bingung melihat aku membawa sebuah koper lumayan besar. "Ada apa? Ada apa ini?
Aku tersenyum tipis, "Aku bakal pergi dari sini, ini bukan tempat aku. Aku sadar apa yang aku lakukan saat ini akan membuat aku tersiksa. Dan kalau tidak dilakukan pun, aku lebih menderita."
Dea terdiam, bergeming dihadapanku. Aku melangkah menuruni anak tangga. Terasa perih seolah memijak tumpukan kerikil tajam. Setetes air jatuh, namun aku tak mau itu jatuh untuk kedua kalinya. Aku harus kuat.
"Bi Inah." Saat menyebut namanya entah kenapa aku merasa sedih. Seseorang yang selalu menguatkan aku saat aku tak mampu menghadapi dunia. Bi Inah keluar dengan tangan yang masih terbalut dengan sarung tangan memasak. Aku memeluknya erat. "Maaf Bi, Deeva udah buat Bibi kerepotan tiap hari harus nyiapin sarapan buat Deeva. Ganggu Bibi masak, Deeva sayang sama Bibi."
Air mataku terasa mengalir sangat deras. Hingga membasahi baju lusuh Bi Inah. Aku menyusut air mataku dan melepaskan pelukannya. Berusaha tersenyum dihadapannya. "Aku pasti kangen sama Bibi."
Aku memandangi rumah yang memberikan aku perlindungan disaat tembok pelindungku telah musnah. Sebuah rumah yang menghangatkan aku dikala sepi melanda.
"Taksinya udah dateng va."
Aku mengangguk dan melangkah masuk ke taksi. Saat ingin masuk seseorang datang menghentikan langkahku. Bukan Rafa ataupun Nazri, tapi seorang bapak yang membawa tumpukan barang.
"Bu, ada surat buat Pak Nazri."
Aku dan Dea saling bertatapan, apakah itu surat dari orang yang sama. Aku mendekati bapak itu dan menerima suratnya. Beberapa menit aku memandangi surat itu. Hingga aku memutuskan untuk mengetahui isi surat itu dan membacanya.
****
"Non Deeva ninggalin suratnya di meja kamar, den."Rafa mempercepat langkahnya menuju kamar. Sampai di ambang pintu, Rafa mengamati satu persatu meja. Mencari keberadaan surat itu. Matanya tertuju pada secarik kertas kecil dan kertas putih bertuliskan beberapa kata.
Aku mencintai orang yang salah, seseorang yang mungkin tidak akan memberikan hidupnya padaku. Aku memang bodoh telah menyetujui yang sepertinya hanya kau anggap permainan yang jika kau bosan, akan kau uninstall begitu saja. Aku memang bodoh, telah memberikan kepercayaan kepadamu.
Hari ini aku meminta engkau melepaskan aku. Melepaskan aku dari ikatan tak berarti ini. Sedih rasanya saat mendengar engkau mengatakan kau tidak mencintai aku. Setiap malam aku selalu bertanya pada hatiku. Apakah kau yang mengatakan itu? Dan aku selalu menguatkan diriku, dengan menganggap mungkin itu bukan dirimu.
Namun, hari-hari telah menjawab semua pertanyaan itu. Aku ulangi lagi, aku mencintai orang yang salah. Namun, yang lebih salah jika aku sama sekali tidak mencintai. Terimakasih untuk semua hari bahagia yang dengan suka rela kau korbankan untukku. Selamat tinggal dan semoga kau bahagia.
Adeeva Afsheen Meisya.
Rafa beralih pada sebuah amplop kuning, lalu membukanya perlahan.
97 HARI MENUJU HARI BAHAGIA KITA
M.
****
Jangan lupa vote dan comment, suara kalian sangat berpengaruh buat achu:)
NS.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADEERA
Teen FictionGak kebayang nikah di umur yang masih belasan tahun. Gimana ya rasanya? Aku terpaksa menikah dengan lelaki yang tak kucintai. Kami menikah bukan karena dijodohkan, namun karena sebuah kondisi yang memaksa kami untuk menikah. Sama halnya seperti ce...