Bagian 17

251 14 8
                                    

HAPPY READING!!

17
****

Dalam kehidupan nyata, tidak semua keinginan menjadi kenyataan. Kehidupan tidak sepenuhnya berada dalam kendali kita. Harus terbiasa menjalani hidup yang kadang tidak sesuai dengan keinginan itu. Belajar untuk berdamai dengan takdir.
Artinya, harus bersabar. Bersabar adalah salah satu bentuk dari kekuatan jiwa. Semakin bersabar menghadapi sesuatu, maka diri akan semakin dewasa.

****
Bondan bersorak melihat Rafa melangkah perlahan mendekati barisan mahasiswa. Lantas dia menyerahkan mikrofon pada Rafa. Salah satu mahasiswi ditunjuk oleh panitia untuk maju.

"Namanya siapa?" Rafa mulai bersuara. Jantungku berdebar kencang, serasa hendak copot saja saat mendengar suara Rafa untuk sekian kalinya selepas hari itu. Aku merindukan suaranya yang dalam namun penuh makna. Suara yang selalu berbisik di telingaku. Suara yang mampu menari dan mengisi kekosongan hatiku. Tapi tidak lagi sekarang ini.

Aku kembali memfokuskan perhatian pada mereka.

"Meri, kak." jawab cewek itu.

Rafa tampak menghela nafas panjang.
"Meri," ucapnya lirih. Hatiku rasanya sesak saat mendengar dia memanggil nama orang lain. Rasanya aku ingin melempar sepatuku ke wajah Rafa. Agar ia tau bahwa aku membencinya.

"Kamu dapat salam dari Yadi." Aku melirik ke berbagai arah, tetapi sepertinya tidak ada mahasiswa bernama Yadi disini. Aku mengernyitkan dahi. Menunggu lanjutan gombalan sang mantan ketua senat.

Cewek itu membalas, "Yadi siapa, kak?"
Bibir tipis Mas Rafa tertarik hingga terlihat senyum diwajahnya. "Yadiriku."
Semua bersorak kegirangan. Terbawa perasaan. Aku senyum tersungging. Ingin sekali aku menangis mendengarnya. Selama ini, Rafa selalu bilang kalau dia tidak bisa merayu perempuan. Merayu perempuan adalah kelemahannya. Namun, di depan mataku dan dihadapan banyak orang dia merayu cewek lain.

Bondan mengambil mikrofon dari Mas Rafa, "Waduh, sepertinya ada yang terbakar api cemburu nih. Kakak yang dipojokan jangan marah ya." tunjuk Bondan ke arahku dan diikuti tatapan para maba. Beberapa saling berbisik dengan temannya.
"Pacar Kak Rafa?"
"Udah ada yang punya, toh."

Sedikit tidak nyaman dengan tatapan itu. Aku masuk ke dalam gedung fakultas. Menghindari tatapan kebencian dan pertanyaan dari para maba. Aku membenci situasi seperti ini. Dadaku semakin sesak dan rasanya tidak mampu bernafas lagi. Aku mengambil tasku dan berlari keluar ruangan.

"Deeva, mau kemana?" tanya salah satu anggota panitia. Aku menyusut air mataku, agar tidak diketahui olehnya kalau aku sedang menangis.

"Aku lagi gak enak badan."

"Aku antar ke ruang kesehatan aja, gimana?

"Gak usah, makasih no. Kamu bilangin aja sama Bondan, aku izin pulang." Setelah Rino, lelaki yang menghentikanku itu mengiyakan permintaanku, aku berlalu begitu saja. Aku keluar dari pintu belakang fakultas, supaya tidak ada yang melihat kondisiku dan nantinya malah dikasihani oleh mahasiswa lain.

"Dan, Deeva izin pulang. Kayaknya dia lagi sakit deh, mukanya pucat-pucat gitu." bisik Rino pada Bondan yang tengah memimpin acara.

****
"Aku gak tau lagi harus gimana yak, aku gak kuat lagi. Dulu aja dia bilang dia paling gak bisa rayu cewek, sekarang di depan aku dia ngerayu cewek lain. Rasanya aku mau gampar dia tadi." Dea memelukku, aku sengaja meminta ditemankan olehnya. Hanya dia yang bersedia mendengarkan segala kesedihanku kapanpun itu. Dea adalah sahabat terbaikku yang pernah kumiliki.

"Positif thinking aja va, lagian itu kan karena disuruh Bondan, kamu kan tau itu tradisi di fakultas kita."

"Kenapa dia gak nolak aja, emang dasar dia aja yang kegatelan jadi cowok. Kalau dia gak pernah cinta sama aku, kenapa dia masih aja pertahankan pernikahan kita." Air mataku kian deras, hingga baju Dea basah. Melihat bajunya basah, aku menyusut air mataku. "Maaf ya."

Dea mengernyit bingung, "Maaf kenapa?"

"Aku udah buat baju kamu basah." Dea melirik bajunya, aku tersenyum tipis melihat Dea.

"Kamu beruntung, kamu adalah orang pertama yang menangis di pelukanku. Setelah kamu nanti bakal ada orang kedua dan ketiga yang nangis di pelukanku."

"Siapa?"

"Orang kedua dan ketiga itu adalah suami dan anak-anak aku." Mendengarnya aku tertawa lepas serasa tidak ada beban lagi. Dea mampu membuat aku tersenyum kembali. Menghilangkan penat dan beban hang ku pikul selama berbulan-bulan ini.

Aku memeluk Dea, "Makasih yak, kamu mau dengerin curhatan aku. Kamu selalu ada pas lagi aku butuh." Dea membalas pelukanku. Mengusap punggungku dengan penuh kasih dan sayang.

"Setiap kamu butuh aku, sedih maupun senang aku pasti ada disamping kamu. Itulah yang dinamakan sahabat, selalu menemani orang yang disayanginya kapanpun itu." Air mataku kembali mengalir. Terharu mendengar ucapan Dea. Ingin sekali aku memanggilnya ibu, tapi sepertinya tidak mungkin. Dea adalah sahabatku bukan ibuku. Hahahaha.

Terdengar suara seseorang mengetuk pintu. Aku melangkah membukakan pintunya. "Kak Nazri?"

****
Malam telah merayap mengganti siang. Sang surya mengendap menuju cakrawala senja. Dari balik langit, bulan hadir membawa cahaya. Bintang bertabur dengan kilatan mempesona. Malam kian menghilang. Hening semakin nampak kesunyian. Hanya suara hati yang bising ditelinga. Cahaya rembulan dibalik awan menemani malam yang kan larut. Kesunyian yang menumpuk semakin jelas.

Ku lirik Dea yang sudah terlelap di atas tempat tidur. Bahagia rasanya dia bisa tidur tanpa beban apapun. Sedangkan aku, terus memikirkan seseorang yang tidak menganggap keberadaanku. Seseorang yang menyatakan dengan jelas bahwa dia tidak mencintaiku. Apakah salah jika aku masih saja memberikan cintaku padanya? Apakah salah jika jatuh cinta pada orang yang tidak mencintai kita? Entahlah, semakin aku memikirkannya semakin berat dan sakit bagiku.

Aku mencoba memejamkan mataku. Agar bayangnya menghilang dari pikiranku barangkali sebentar saja.

Rafa nyuruh aku mastikan keadaan kamu, itu aja.

"Aku gak butuh perhatian dia, Kak Nazri pulang aja. Bilang ke dia, gak usah nyuruh-nyuruh orang liat kondisi aku. Aku bisa jaga diri aku sendiri. Maaf kak."

Masih saja aku teringat dengan apa yang dikatakan Nazri. Selalu saja begitu, Rafa selalu meminta Nazri memastikan kondisiku. Setiap seminggu sekali, Nazri akan datang ke rumah. Sekedar membawakan aku makanan, katanya dari Rafa. Tapi aku selalu menolak jika kedatangannya hanya karena Rafa. Aku tidak membutuhkan belas kasihan dari siapapun.

"Satu lagi kak, aku mau pisah sama dia. Bilangin sama dia, aku gak bisa hidup seperti ini. Dia udah nyiksa aku, menikah itu berarti selalu mendampingi pasangannya bukan menjauh."

***

Ditunggu chapter selanjutnya, jangan lupa vote dan comment sebanyak-banyaknya.

Kalian di tim mana?
#DeevaRafapisah
#DeevaRafabalikan

Sad ending or happy ending?

ADEERATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang