1#Shalawat

3.4K 521 47
                                    

"Ustadz!"

"Akhi saja pak haji, saya belum pantas menyandang gelar itu!"

Menyelesaikan tugas kajian singkat disebuah mushola, Digo Abdul Ali menolak dipanggil ustadz oleh salah satu pengurus mushola.

"Masya Allah, pantas saja kok disebut ustadz, jam terbang sudah cukup setelah pulang dari Tharimkan, dan sepertinya disini banyak pengagum, ustadz, pada request biar minggu depan ustadz lagi yang ngisi kajian!"

Pak Ibrahim  masih juga lebih nyaman memanggilnya ustadz dan menambahkan banyak pengagumnya hingga ia diminta mengisi kajian lagi minggu depan. Bahkan tadi ada yang mendekat untuk membahas lebih detail apa yang ia sampaikan dikajian singkatnya hari itu. 

"Akhi saja pak haji, lebih ringan dipundak saya, saya juga belum pantas dikagumi, pak haji!"

Digo Abdul Ali tersenyum. Ia lebih fokus kepada hal merasa belum pantas untuk dijunjung dengan kata ustadz dan menyatakan ketidakpantasannya untuk dikagumi. Ia hanya sedang mengamalkan ilmu yang ia dapatkan saat belajar di Tharim. Mengamalkan shalawat, dan menggunakan hafalan Al Qur'an dan hadistnya sebagai dakwah. Berbagi ilmu, bukan berbagi pesona.

"Kalau pak haji Sholeh, pengurus mesjid An Nur, memanggil Dai singkatan dari nama saya!"

"Ah ya, pak haji Sholeh pernah bilang, saya lupa!"

Pak Haji Ibrahim sepertinya baru ingat. Ketika merekomendasikan Digo Abdul Ali padanya, pak Haji Sholeh menyebutnya DAI.

"Jazakallah, akhi Dai, hari ini lancar kajian singkatnya, ahya, biasanya juga ada shalawatan, shalawatan mingguan, jika berkenan hadir, kami akan jadwalkan akhi Dai yang pimpin!"

"Wa iyyaka, pak haji!"

Berdiri dari duduknya diiringi pak haji Ibrahim, beliau mengulurkan tangan disambut Ali dengan sedikit menunduk. Bagaimanapun haji Ibrahim, pengurus mushola didepannya itu, lebih tua darinya. Beliau selalu memanggilnya ustadz meski sudah dipesankan berulang kali, kalau ia lebih suka dipanggil akhi saja.

Berjalan beriringan keluar dari mesjid, pak haji Ibrahim mengantarnya hingga parkiran. Menjadi seorang yang membagi ilmu, mau tidak mau tentu dimuliakan, meski ia merasa tak harus diperlakukan special tetapi tetaplah ia diistimewakan.

"Naik motor, akhi?"

Pertanyaan Pak Ibrahim seperti, pengurus-pengurus setiap mesjid, mushola atau pesantren yang ia datangi saat melihatnya naik motor.

"Iya pak, lebih nyaman!"

Dan jawabannyapun akan seperti itu. Ia merasa lebih nyaman naik motor.

"Lama-lama harus dibonceng akhi, jangan bawa sendiri, apalagi kalau panggilan kajian lebih banyak lagi!"

"Insya Allah pak haji, bawa sendiri juga tidak apa-apa, saya senang, yang penting sampai ketempat dimana ilmu saya masih berguna untuk dibagi!"

Pak Haji Ibrahim mengangguk-angguk sambil tersenyum mendengar prinsip yang terdengar rendah hati karna apa-apa tak ingin diistimewakan terpenting ilmunya dapat dibagi.
Pendakwah yang benar-benar tidak komersil dan tidak minta diagung-agungkan berlebihan. Berdakwah karna Allah, tak pasang harga.

"Hati-hati dijalan, akhi!"

"Jazakallah pak, Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumsalam!"

Pamit setelah mengucapkan salam, Digo Abdul Ali menggeber motor klasik hitamnya. Hari itu ia memakai koko bercelana. Ia tak pernah kesulitan menaiki motornya meski dengan gamis sekalipun. Sudah biasa. Meskipun saat ini sudah menjalani proses menjadi pendakwah. Pilihan pendidikan yang diarahkan orangtuanya sejak dini, ia terima dengan lapang, tetapi tak menghilangkan cirinya yang suka tongkrongan gank motor.

Saat Cinta BershalawatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang