16#Shalawat

2.6K 542 101
                                    

Gemericik air yang memancar dari kolam buatan didepan Mesjid Raya pagi itu, mengalahkan degub jantung yang bergemuruh dalam dada Digo Abdul Ali saat melangkah melewatinya.

"Yaa H. Digo Abdul Ali bin H. Daim AsSyarief."

"Na'am/labbaik."

"Anakahtuka wa zawwaj-tuka makhthubataka binti Hj. Iliyah Haniya bi mahri mushaf alquran wa alatil 'ibadah haalan."

(Aku nikahkan engkau dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu putriku Iliyah Haniya dengan mahar kitab Al Qur'an dan seperangkat alat sholat tunai.)

"Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq!"

(Saya terima nikah dan kawinnya dengan mahar yang telah disebutkan, dan aku rela akan hal itu. Dan semoga Allah selalu memberikan anugerah)

"Barakallahhh......"

Alhamdulilah. Kelegaan jelas terpancar dari keluarga dan wajah tamu undangan yang hadir di acara sakral dan syahdu tersebut.
Begitupun tentu saja diwajah Ali yang melewati ijab kabul berbahasa arab yang sangat mendebarkan dalam genggaman Abu H. Daud ArRizali yang sekarang sudah sah menjadi mertuanya, karna putri beliau, Hj. Iliyah Haniya, telah syah menjadi isterinya.

Iliyah Haniya. Gadis berniqab dengan mata lentik bercahaya yang menjadi salah satu alasannya untuk tidak harus melihat raut dibalik niqab itu, sekarang telah halal baginya.

Teringat saat ia melihat raut dibalik niqab hitam itu, polos, tanpa riasan, bahkan bibirnya nampak pucat karna melihat keterkejutan diwajah Ali saat menyelami parasnya.

"Ii memang tidak suka menggunakan riasan setelah wajahnya tertutup niqab, jadi mohon maaf dia kelihatan pucat, terutama sepertinya ia terlalu nervous!" Ummu Salma seakan menjelaskan saat netra Ali tak lepas menatapnya.

Iliyah Haniya memang terlihat tegang dibuatnya, saat keryitan didahi Ali tertangkap retinanya. Seketika ia khawatir, senyumnya yang samar semakin hilang, mendadak ia tak percaya diri. Astagfirullah.

Sementara saat itu Ali justru sama beristigfar, teringat sumpahnya kalau apapun takkan membuatnya berubah pikiran. Tak merias diri, kelihatan pucat pasi dan polos membuatnya terlihat apa adanya. Harusnya takkan membuatnya mundur karna tidak sesuai dengan ekspektasi atau apapun itu namanya.

"Ia akan mempercantik diri setelah menikah nanti, betulkan Ii?" Ummu Salma berkata sambil menatap putrinya sejenak.

"Ini juga sudah cantik, cantik alami, benarkan Abdul?" Ummu Daiba yang menyahut sementara bibir Ali rasanya kelu.

Ada yang membuatnya berpikir keras. Rasanya wajah polos didepannya ini begitu familiar. Tapi apa yang membuatnya seperti itu. Matanya. Ya, matanya yang bercahaya dengan bulu mata lentik. Mirip dengan...

"Bagaimana nak Digo Abdul Ali? Mau lanjut atau...?"

"Lanjut!"

Abinya yang menyahut ketika abu Daud mempertanyakan bagaimana langkahnya selanjutnya. Mundur atau lanjut?
Sebagai seorang pria yang sudah bersumpah, ia tak mungkin menjilat ludahnya sendiri. Tidak juga ingin mengecewakan kedua orangtua yang telah dengan harap-harap cemas menanti.

Segalanya begitu saja terjadi. Uminya menyematkan cincin dijari manis Iliyah lalu para orangtua merembukkan tanggal pernikahan. Sementara Ali masih saja sesekali mencuri pandang kearah wajah yang lebih suka tertunduk, entah malu atau menghindar. Seketika mereka merasa canggung satu sama lain. Dan tidak ada pembicaraan yang mereka bangun setelah khitbah. Persiapan pernikahan semua diatur oleh keluarga. Sampai pemilihan baju pengantin, secara khusus, disainer datang langsung kerumah mereka. Mereka benar-benar tidak bertemu hingga dihari yang telah ditentukan.

Saat Cinta BershalawatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang