Dai, menikah gak ngundang-ngundang?
Digo Abdul Ali, memandangi layar ponselnya. Sisi? Ia mengeryit lalu mengangkat wajah melihat kearah pintu kamar mandi dimana ada Iliyah didalamnya. Kalau Iliyah ada didalam kamar mandi, berarti kecurigaannya benar-benar tidak terbukti. Pertanyaannya semakin tercekat ditenggorokan.
Setelah berakhirnya resepsi, mereka diantar ke kamar pengantin dihotel yang sama dengan tempat resepsi.
Sesaat ketika mereka memasuki kamar setelah ditinggalkan keluarga termasuk crew videografer dan photografer yang mendokumentasikan hari bahagia sejak akad nikah, hening didalam kamar itu.
Ditangan mereka terselip buku nikah masing-masing, yang baru saja digunakan untuk mengabadikannya dilensa kamera video dan photo. Sebenarnya ingin saling menyelip tetapi sama-sama tak bisa memulai. Canggung melanda mereka.
Ily duduk ditepi ranjang dengan pakaian pengantin masih lengkap dan niqab yang masih menutup wajahnya. Ia menunduk menatap buku nikah berwarna hijau itu. Buku nikah yang baru saja ia lihat photonya karna ketika diurus mereka mengabadikan dengan berphoto sendiri-sendiri. Baru setelah akad dan menandatanganinya, mereka sempat melihat buku itu.
Abdul Ali duduk disampingnya, juga menatap buku bersampul coklat yang berisi sighat taklik nikah dihalaman terakhirnya itu. Ia sudah membacanya dengan lantang dihadapan keluarga setelah mereka saling menyentuh dalam doa, genggaman tangan dan sentuhan bibir didahinya.
Sama-sama saling mengangkat wajah akhirnya retina mereka bertabrakan. Ali membuka buku nikah itu dan menemukan halaman dimana ada lembaran photo lalu kembali menatap mata didepannya yang lentik berkedip.
Mengangkat tangannya dengan gemetar, Ali ingin menunaikan rasa penasaran pada wajah dibalik niqab itu. Jantungnya berdegup melihat kedip dilentik itu.
Yang disentuh, merasakan darahnya demikian cepat alirannya. Serasa ada listrik ratusan watt melanda tubuhnya. Pasrah, yang ia rasa, ketika jari itu mulai menyingkap niqabnya. Melepas dari sudut kanan lalu niqab luruh bersamaan dengan raut yang terpampang seluruhnya.
"Sisi!"
Jantung Iliyah bagaikan berhenti berdetak. Dadanya sakit seketika mendengar ucap yang keluar dari bibir pria yang sudah sah menjadi imamnya. Kenapa harus menyebut nama lain disaat harusnya mereka saling bebas memandang?
"Sisi?" Iliyah mengulang ucap Ali dengan nada tanya.
"Jangan pura-pura tidak mengerti!"
"Apa maksudmu?"
"Kamu mengujiku dengan menjadi Sisi, bukan?!" Bibir Ali berucap lirih bagai menyimpulkan sendiri.
Berhari-hari ia berpikir keras. Wajah Iliyah meskipun polos tak menutup mata lentiknya yang bercahaya. Dan cahaya itu seperti cahaya lensa Sisi dimatanya. Ia berpikir keras, jika Iliyah adalah Sisi berarti selama ini Iliyah yang selalu hadir saat ia berada dimajelis dakwah ataupun shalawat baik ketika ia sebagai pendakwah maupun sebagai jemaah.
Pantas saja ketika menatap wajah yang tertutup niqab tetapi matanya terlihat seperti familiar. Pantas saja ketika ia bersama Iliyah beberapa waktu saat kecelakaan, Sisi juga tidak muncul.
Iliyah melebarkan matanya?
"Apa maksudmu?" Ulangnya, karna ia benar-benar tidak mengerti. Mengujinya dengan menjadi Sisi? Atas dasar apa?
"Kenapa menjadi Sisi?"
Iliyah makin terlihat tak mengerti. Sedari tadi yang Ali ucapkan mengandung kata Sisi.
"Apa kau anggap aku seperti ustadz kairomu itu? Memilih wanita yang lebih agresif, tertarik kepada yang lebih ekspresif?" Abdul Ali merasa menyesal telah mengungkapnya dengan nada cemburu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Cinta Bershalawat
DuchoweDiantara shalawat yang berkumandang, diantara seruan cinta kepada Sayyidina Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, diantara nada yang indah itu, menyusup keindahan dari rasa paling indah pada mahluk-mahluk ciptaanNya. "Semoga aku berjodoh dengannya...