"Assalamualaikum warahmatullahh, Assalamualaikum warahmatullah....."
Mengusap wajahnya setelah salam, Ilyah meraih tasbih untuk melakukan wirid sebelum berdoa. Dari balik gorden ia melihat cahaya dilangit mulai meredup bersamaan dengan dilaksanakannya magrib.
"Sudah pulang?"
Memasuki rumah setelah memarkir mobil yang digunakannya digarasi tadi, sapa suara ummanya terdengar mengejutkan.
"Assalamualaikum, umi!"
Iliyah mengucapkan salam lagi setelah sebelumnya mengucapkan salam saat membuka pintu dan memasuki rumahnya yang kebetulan tak terkunci yang ia dorong.
"Wa'alaikumsalam!"
"Tadi dijalan ban bocor umi, lalu mobilnya diderek kebengkel, akunya ke tempat pengajian naik taxi online, pulangnya ngambil mobil dulu kebengkel!"
"Hmm, kemarin mobilnya dipepet orang trus masuk bengkel juga, kemarinnya lagi naik taxi online, pas pulang order taxi online agak susah jadi kemagriban juga, kapan lalu dibentak orang gara-gara lambat menepi saat ada ambulance lewat, lama-lama umi khawatir kalau kamu kesana-kemari sendirian, i!" Umi Iliyah seakan mengabsen kejadian demi kejadian yang ia alami saat berkendara sendiri dijalan.
"Nggak papa umi, kendala kecil, nguji kesabaran!" Sahut Iliyah.
"Udah pantes ada temennya, i!"
Iliyah tersenyum mendengar ucap Ummanya. Sejak ia pulang dari Tharim, seperti itulah umma. Khawatir. Cemas. Melihat ia kemana-mana sendirian. Ke kajian, ke-undangan shalawatan, mengikuti seminar Islam, baik sebagai peserta maupun pengisi acara, mengajar mengaji disebuah pesantren putri, menjadi tamu atau nara sumber disebuah acara keagamaan.
"Ii jangan selalu sendirian, harusnya punya teman yang nemenin gitu," Ujar Uminya lagi. Pertanyaan yang sudah pernah diajukan, dan jawabannya tak pernah berubah.
"Lebih nyaman sendiri umi, mau kemana tanpa saling tunggu!" Alasannya selalu seperti itu. Lebih nyaman sendirian. Kalau bersama teman biasanya lebih banyak tunggu-tungguan. Belum lagi berbeda arah dan tujuan.
"Masih belum bisa melupakan kejadian dulu? Sampai nekat belajar jauh-jauh sampai ke Tarim?" Umi justru membelokkan pertanyaan kearah lain.
"Umi, kan katanya aku harus ikhlas, sudah ketentuanNya, dia bukan takdirku, tapi takdir Marini!"
Nasib baik, masih bisa menyebut namanya. Seorang teman bahkan bisa dikatakan sahabat, sering menginap dirumah, kepengajian bersama, keacara shalawatan sama-sama, kadang juga ikut seminar Islam sama-sama.
Kenal dengan seorang pemuda lulusan Kairo. Tepatnya, pemuda itu dan keluarganya bertemu diacara Tabligh. Ia datang dengan umi dan abi. Mereka berkenalan, dan setelahnya sering bertemu dipengajian dan acara seminar dimana ia sebagai peserta, pria itu sebagai nara sumbernya.
Sebetulnya orangtua Iliyah dan orangtua pria itu sempat antusias melihat perkenalan mereka berlanjut hingga ke pengajian dan seminar. Pria itupun pernah datang kerumah untuk sekedar berkunjung sekeluarga.
Hari itu seusai acara, pria itu menghampirinya. Ia bersama dengan Marini saat itu. Mereka berkenalan, berbincang bertiga. Ia dengan sikap lemah lembutnya saat itu masih tanpa niqab, sementara Marini begitu lincah dan ekspresif, sehingga ia terlihat lebih dominan dalam pembicaraan.
"Iliyah....."
Hari itu, Marini mengajaknya bertemu diluar rumah. Sesungguhnya Iliyah heran kenapa ia tidak kerumah saja seperti biasa. Ada yang ingin dibicarakan? Membicarakan apa? Bukankah kala Marini menginap dan tidur dengannya, sebelum tidur mereka selalu bercerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Cinta Bershalawat
EspiritualDiantara shalawat yang berkumandang, diantara seruan cinta kepada Sayyidina Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, diantara nada yang indah itu, menyusup keindahan dari rasa paling indah pada mahluk-mahluk ciptaanNya. "Semoga aku berjodoh dengannya...