"Abdul!"
"Ya, umi?"
"Bagaimana Iliyah? Apa mau dikhitbah?"
Digo Abdul Ali yang dipanggil uminya Abdul itu, termenung sekarang didalam kamarnya setelah tidak bisa menjawab tanya uminya.
"Masih belum yakin? Coba istiharah, curhat sama Allah, umi doakan segera dikasih petunjuk!"
Digo Abdul Ali mengangguk sebelum pamit kedalam kamarnya dan merenungi pertanyaan beliau, "bagaimana Iliyah? Mau dikhitbah?"
Pertanyaan umi yang tak berubah sejak pertama kali dipertemukan dengan gadis itu.
Iliyah. Sosok yang anggun, lemah lembut dan bersahaja. Ia tak melihat wajah dibalik nikab itu bagaimana ekspresinya. Hanya dari mata dan bahasa tubuhnya saja. Karna nada suara dibalik niqab itu tetap terasa seperti apa meski ia tak melihat ekspresinya. Ia hanya bisa membayangkan wajah dibalik mata itu. Mata yang bercahaya saat tertimpa lampu kala itu. Sesungguhnya gadis tertutup niqab itu membuat penasaran. Dikhitbah, baru bisa melihat wajahnya.
Tidak seperti...
Ah, Abdul mengusap rambutnya saat teringat wajah dengan mata yang mirip. Sisi.
Ekspresif dan ceria, tak ditutup-tutupi. Ia sudah merekam raut wajahnya yang riang setiap berbicara. Tidak dikenalkan siapa-siapa. Sisi hadir, mereka bertemu dan saling mengenal hampir berbarengan dengan saat ia bertemu dengan Iliyah.Tidak ada yang salah dengan ekspresif dan ceria.
Apalagi dengan yang lemah lembut dan bersahaja.
Kedua-duanya memberi kesan tersendiri. Dan tidak ada yang menyuruh memilih. Karna mereka bukan pilihan.
Hanya saja, dari sikap dan tutur katanya, Sisi memiliki perhatian padanya. Kalimat yang diucapkannya selalu mengandung pendekatan. Memang aura ceria selalu saja tercipta saat sedang berkomunikasi dengannya, dan seakan takdir, tanpa sengaja mereka selalu dipertemukan.Bagi Digo Abdul Ali tanpa sengaja, tapi nampaknya Sisi memang sengaja mengikuti kemana jadwalnya. Baik kepengajian yang dihadirinya sebagai penimba ilmu maupun ketika ia sebagai pendakwah. Ia sampai heran, kenapa bisa Sisi tahu jadwalnya? Tahu darimana? Ia saja tak pernah mengumbar-umbar jadwal, kecuali umi dan abinya yang tahu. Sisipun tak pernah bertanya-tanya padanya.
"Assalamualaikum, ustadz Dai!"
"Wa'alaikumsalam! Dai?" Digo Abdul Ali mengeryit setelah menjawab salam Sisi yang menghampiri saat ia berdiri dan ingin keluar dari mesjid, menyebut 'Dai' yang diucapkan Sisi dengan nada tanya.
"Ngikut haji Sholeh, dipikir bener juga Digo Abdul Ali, disingkat DAI," Sisi terkekeh.
Oh. Jadi informan Sisi, Haji Sholeh? Haji Sholeh yang rekomendasi ke Mushola AnNur, makanya Sisi juga tahu ketika ia ada kajian disana.
"Pasti kepikirankan, haji Sholeh yang sering kasih tahu saya, kemana Ustadz Dai!"
Ia tersenyum menanggapi Sisi yang mengutarakan apa yang ada dipikirannya.
"Maaf, saya kemarin nanyain kapan Ustadz ada kajian lagi di mesjid, beliau bilang shalawatan jumat, trus setelahnya ada kajian di mushola, gak sengaja kok pak haji Sholeh kasih tahunya!"
Digo Abdul Ali tersenyum saja. Kebetulan sekali saat Sisi bertanya pada Haji Sholeh, pas informasi tentang jadwalnya banyak.
"Ustadz, saya mau mengajukan proposal sama ustadz!" Sisi berkata dengan nada antusias.
"Proposal?" Digo mengeryit. Bicara proposal tapi tidak ada apapun ditangannya yang bisa disebut proposal.
"Proposal agar ustadz mau menjadi guru mengaji!" Ucap Sisi dengan senyum cerianya seperti biasa dengan kalimat-kalimat antusias lagi percaya diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saat Cinta Bershalawat
EspiritualDiantara shalawat yang berkumandang, diantara seruan cinta kepada Sayyidina Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, diantara nada yang indah itu, menyusup keindahan dari rasa paling indah pada mahluk-mahluk ciptaanNya. "Semoga aku berjodoh dengannya...