Happy reading 💞
Hari-hari selama liburan, mereka lalui dengan hal-hal yang menyenangkan dan bermanfaat. Setiap pagi, mereka merawat tanaman-tanaman yang ada di halaman rumah eyang. Mereka juga menanam sayuran dan buah-buahan di kebun sebelah rumah eyang. Semua itu mereka lalui dengan senang hati. Selain menyenangkan, mereka juga mendapat banyak pelajaran dari eyang tentang macam-macam tumbuhan yang belum mereka ketahui sebelumnya.
Tak terasa, hari yang selalu menyenangkan itu berakhir. Hari ini, Sheila dan Sheli mulai menjalani kegiatan masing-masing seperti biasa.
Dua hari yang lalu, Sheli kembali ke Jakarta. Dan sekarang, ia mulai kuliah kembali. Seperti biasa, pagi yang cerah ini ia gunakan dengan membaca buku di kelas sambil menunggu dosen. Masih sama seperti dulu, Sheli duduk bersebelahan dengan Syarif yang kini tengah fokus menulis sesuatu.
Hening. Keduanya terdiam. Kelas masih lumayan sepi, hanya ada beberapa mahasiswa yang lebih memilih memainkan ponselnya. Sheli melirik Syarif. Ia harap, Syarif berbicara dan menyapanya terlebih dahulu. Bukan karena apa-apa, hanya saja ia tidak nyaman dengan suasana canggung seperti ini.
Hening. Syarif dan Sheli masih saling diam. Sheli sendiri bingung harus memulai percakapan dari mana. Sebenarnya ia ingin sekali menyapa Syarif, tetapi ia takut Syarif tidak nyaman. Setelah terakhir Syarif menolak ajakan Sheli untuk pulang bersama, Sheli sedikit menjaga jarak. Ia berusaha sebisa mungkin untuk tidak jatuh cinta pada lelaki cerdas seperti Syarif. Meyakinkan dirinya sendiri agar tidak terus berharap.
"Sheli, maaf." Setelah sekian lama membisu, akhirnya suara Syarif terdengar.
Sheli yang merasa dipanggil, langsung menoleh. "Maaf untuk?"
Syarif menatap Sheli dengan tatapan bersalah. "Kemarin, ketika gue menolak lo. Mungkin waktu itu gue terkesan kasar, nolaknya. Maaf ya, gue tidak berniat seperti itu." Ia tersenyum. "Maaf juga, baru sempat meminta maaf sekarang. Maaf."
"Tidak perlu minta maaf, Syarif. Lo nggak salah. Lagipula, itu udah lalu kok. Lupakan saja, nggak penting."
Syarif tersenyum sambil mengucap terima kasih kepada Sheli. "Gue punya kejutan buat lo."
Sheli yang tadinya hendak melanjutkan kegiatan membacanya, langsung terkejut mendengar ucapan Syarif. "Kejutan? Apa?"
"Ada, tapi bukan sekarang. Akan gue berikan satu tahun lagi. Tepat ketika kita lulus."
Sheli terdiam. Kejutan? Kejutan apa yang akan Syarif berikan? kenapa harus menunggu satu tahun lagi? Atau jangan-jangan, kejutan yang Syarif berikan itu, datang menemui kedua orang tua Sheli?
Apakah benar, bahwa kejutan yang Syarif berikan itu adalah lamaran? Ah tidak. Sheli tidak boleh berpikiran seperti itu. Jangan berharap, Sheli. Syarif tidak mungkin melamarmu. Sosok lelaki tampan dengan segudang prestasi seperti Syarif tidak pantas untukmu.
Ah, entahlah. Biarlah waktu yang akan menjawab.
Sheli berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja, meski sebenarnya ia terus memikirkan kalimat Syarif itu.
***
Di tempat lain, Sheila masih duduk terdiam. Tangannya masih mengaduk-aduk es teh dengan sedotan. Memainkannya dengan malas. Sekerang, ia sedang berada di kantin, tetapi seperti ada didunia lain. Bukan raganya, tetapi pikirannya. Ya, pikiran Sheila kini sedang tidak keruan.
Setelah liburan kemarin, ia merasa sikap Rafa berubah. Ah, berbicara Rafa, ia jadi teringat mata kuliah pertama tadi, ketika Sheila bertanya kepada Rafa, dan Rafa hanya menjawabnya dengan jawaban yang membuatnya kesal.
"Kalau kamu pengin tau, buka saja halaman 209 di buku ini." Itulah jawaban yang diberikan Rafa tadi pagi ketika ia bertanya.
Biasanya, Rafa akan sangat antusias menjawab pertanyaan Sheila, tetapi mengapa kali ini tidak? Apakah ia sedang marah dengan Sheila?
Bukan hanya itu, ketika Sheila berpapasan dengan Rafa di koridor, mereka akan saling diam, bahkanRafa memalingkan wajah. Biasanya, Rafa dengan senang hati menyapa Sheila.
"Hai, Sheila cantik."
"Selamat siang, Mahasiswaku."
"Selamat pagi yang cerah. Secerah wajahmu, Bidadariku."
Itulah yang sering Rafa ucapkan ketika berpapasan dengan Sheila, tetapi tidak berlaku dengan hari ini. Hal itu, membuat Sheila merasa bingung. Apa salah Sheila? Bukankah kemarin itu libur panjang? Dan sebelum libur juga mereka baik-baik saja. Ada apa?
"Hei, Bengong mulu!" Seseorang menyenggol lengan Sheila, membuatnya terkejut dan reflek menoleh.
"Habisin tuh es teh. Sebentar lagi masuk, nggak usah kebanyakan melamun lo," ucap Tasya yang baru saja menghabiskan porsi nasi gorengnya.
"Lo bisanya cuma ngagetin gue ya. Untung aja gue nggak jantungan. Jahat lo!" Sheila mendengus kesal.
"Lo ngapain melamun? Mikirin siapa?"
"Kak Rafa..." Sheila mulai menceritakan semua yang ia rasakan kepada Tasya. Berharap, Tasya bisa membantunya.
"Cobe deh lo tanya sama kak Rafa, apa salah lo dan nanti lo jelasin semua yang sebenarnya pada kak Rafa. Dia cuma salah paham. Jelasin, She."
"Itu tak mudah, Sya."
"Yakinlah, She. Lo nggak boleh biarin ini semua. Jangan buat orang yang lo sayang, membenci lo. Lo mau?"
Sheila terdiam. Sejauh ini, ia memang sudah memiliki sedikit rasa pada Rafa. Ya, ia sangat menyayangi lelaki itu dan tak ingin kehilangan.
Oke, aku akan bertanya dan memecahkan kesalahpahaman ini semua sama kak Rafa, batin Sheila.
***
Setelah mata kuliah berakhir, Sheila meminta Rafa untuk berbicara empat mata di taman kampus. Awalnya Rafa menolah dengan alasan masih ada tugas, tetapi Sheila terus memohon, dan akhirnya Rafa mengangguk.
"Kak, sebenarnya apa salah aku? Kenapa aku merasa, kak Rafa berbeda, selalu menghindar dariku. Kenapa, kak?" tanya Sheila ketika mereka tengah duduk di meja bundar taman kampus.
"Kamu nggak salah apa-apa," jawabnya dingin.
"Kak, tolong beritahu aku. Mungkin aku tak sengaja membuat kesalahan, dan membuat kakak seperti ini. Apa salahku, Kak?"
"Kamu nggak ada salah apa-apa, Sheila."
"Nggak, Kak. Aku merasa kak Rafa berbeda. Kak Rafa selalu menghindar ketika bertemu denganku. Kenapa, Kak? Kalau ada sikapku yang kamu nggak suka, bilang aja. Supaya aku bisa memperbaikinya."
Rafa terdiam. Tatapannya terkesan jutek, tak seramah biasanya. Dan itu membuat Sheila semakin yakin bahwa Rafa marah padanya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Rafa menatap Sheila tajam. "Kamu pengin tau salah kamu dimana?"
Sheila mengangguk.
"Pikir sendiri!" jawaban Rafa membuat Sheila semakin bingung. "Sudahlah, aku mau pergi. Akan sia-sia waktuku kalau disini terus." Lelaki itu bangkit meninggalkan Sheila yang masih terdiam dengan perasaan bingung.
Sheila tidak merasa membuat kesalahan. Bukankah kemarin liburan, dan sebelum liburan pun tidak ada permasalahan? Apa yang terjadi? Mengapa sikap Rafa seakan membuat Sheila merasa sangat bersalah?
***
Follow! vote! and comment!
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary Shefa 🍁 [end]
Teen FictionBaca. Jangan lupa Follow, Vote, and Voment 🍁 "Terkadang, cinta itu membutakan hati dan tidak bisa membedakan sesuatu yang belum pasti," 🍁