4 - Aku cinta kamu

1.3K 1K 2.1K
                                    

"Bumi!" Icil berteriak.

Bumi dan Iqbal berhenti berkelahi mendengar teriakan Icil. Kini semua mata beralih ke Icil yang tiba-tiba muncul.

"Kenapa kalian berdua malah jadi berantem kayak gini, sih?" ujar Icil dengan tatapan tajamnya.

Bumi mendekati Icil hingga jarak mereka hanya satu senti. Icil menahan napasnya, kini tidak ada jarak di antara mereka.

"Itu karena aku suka kamu, Icil." bisik Bumi tepat di telinga Icil. Bumi menatap Iqbal yang sudah babak belur.

"Heh, ada apa ini? Bubar-bubar," perintah Pak Udin, guru BK, yang tiba-tiba muncul. Orang-orang membubarkan diri. Kini hanya ada Bumi, Iqbal, dan Icil. Mereka bertiga pun dibawa ke ruang BK.

"Oke, kalian bertiga saya hukum bersihkan gudang sepulang sekolah!" perintah Pak Udin.

"Tapi, Pak. Kan..."

Pak Udin menajamkan kedua matanya, "Saya tidak suka dibantah! Apa kamu mau saya beri poin merah, Icil?"

Icil menghela napas, pasrah," Tidak, Pak."

"Kalian kembali ke kelas masing-masing dan jangan diulangi lagi!"

"Iya, Pak," jawab mereka bersamaan.

"Cepat kembali ke kelas sekarang!"

Mereka bertiga menganggukkan kepala, menuruti perintah Pak Udin. Mereka bertiga berjalan beriringan kembali ke kelas masing-masing.

"Maaf, Icil! Kamu jadi ikut-ikutan dihukum."

"Hm."

"Kenapa, ya? Padahal kamu nggak salah apa-apa."

Icil menghentikan langkahnya, membuat Bumi ikut terhenti. Icil menoleh ke arah Bumi, menatap pria itu tak suka.

"Lo bisa berhenti ngikutin gue?"

"Nggak bisa. Kan, kita satu kelas? Dan lagipula aku udah pernah bilang kalo aku suka sama kamu."

"Tapi gue nggak suka sama lo."

"Nggak apa-apa. Tapi aku yakin nanti kamu pasti suka sama aku."

"Nggak akan!"

"Kenapa?" lirih Bumi sedih.

Icil tak menjawab, langsung pergi begitu saja.

Bumi menundukkan kepalanya, raut wajahnya bertambah sedih, "Susah juga, ya, dapetin hati kamu, Icil. Kokoh banget, tak ada tandingannya. Tapi aku nggak akan menyerah. Nggak akan!"

Bumi mengangkat kepalanya tegak. Ia kembali bersemangat.

"Icil! Tungguin!!!"

****
Sore hari, SMA Negeri 3 Bandung terlihat mulai sepi, menyisakan segelintir murid yang mengikuti ekstrakurikuler.

Begitu juga dengan Icil, Bumi, dan Iqbal. Sepulang sekolah mereka bertiga harus menjalankan hukuman yang diberikan Pak Udin membersihkan gudang sekolah.

Icil, Bumi, dan Iqbal membersihkan gudang sekolah hanya bertiga, karena sepertinya hari ini tak ada yang membuat pelanggaran selain mereka bertiga. Sebenarnya, Icil pun tak bersalah. Hanya kesalahpahaman yang terlalu fatal.

Bagi Icil, ini adalah malapetaka. Selama ia masuk sekolah ini, ia sama sekali belum pernah merasakan yang namanya hukuman dari guru. Semua ini karena kedua insan bernama Bumi dan Iqbal.

"Berantakan banget gudangnya. Capek tahu, " lirih Bumi, memijati pundak kanannya yang terasa kencang.

Bumi menatap Icil yang hanya diam dan terus menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Bumi berjalan mendekati Icil yang tengah membersihkaan lantai di pinggir-pinggir gudang.

"Icil," panggil Bumi.

Icil diam tak menjawab, bahkan menoleh pun sama sekali tidak.

"Kamu marah, ya, sama aku?"

"Nggak," jawab Icil singkat.

"Beneran?"

"Hm."

Bumi berusaha untuk tersenyum."kita romantis banget ya, Icil, bisa dihukum bareng. Aku seneng banget. Icil seneng nggak?"

"Nggak."

"Yah, kok enggak," lirih Bumi lemah.

"Kamu mau aku bantuin?" tawar Bumi melihat Icil yang kesusahan membersihkan lemari. Bumi mendekati Icil, ingin mengambil alat yang dipegang oleh Icil.

"Ngapain lo?" tanya Icil dingin, tangannya mengeratkan alat sapu di tangannya.

"Bantuin kamu. Biar aku aja yang bersihin," jawab Bumi, berusaha menarik dan merebut alat sapu tersebut.

"Nggak usah," tolak Icil tak ada lembut-lembutnya.

"Aku aja Icil yang bersihin. Aku bisa, kok. Kamu nggak usah ngerasa nggak enak sama aku." Bumi masih tak mau kalah. Ia berusaha menarik lagi, tapi Icil tetap tidak mau.

Bumi menggertak kesal. Ia pun mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menarik alat sapu tersebut.

"Seraahinnn ke akuuuu, Icil!!!" teriak Bumi, menarik alat sapu itu dengan kencang.

"Oke," jawab Icil dan dengan tak berdosanya melepaskan alat sapu itu begitu saja.

Dan...

"HUAAAAAAAA!!!"

BRAAAKKKK!!

Tubuh Bumi yang tak bisa diseimbangkan akhirnya terdorong sendiri hingga ia terpeleset dan kakinya di jatuhi lemari besar. Iqbal menonton kejadian itu dengan raut wajah yang langsung panik, ia pun segera berlari keluar gudang, berusaha mencari bala bantuan.

Bumi merintih kesakitan. "ICIIILL, KOK LEPASIN ALATNYA, SIH!" teriak Bumi begitu kesal.

"Sorry."

Jantung Icil berdegup begitu kencang, dia sangat ketakutan. Baru kali pertama dia melihat kejadian seperti ini. Kaki Bumi memar, bengkak, dan juga membiru. Akhirnya, Bumi dibawa oleh Iqbal ke rumah sakit. Mata Icil masih merah. Dia masih bertanya-tanya, mengapa ini semua bisa terjadi? Maafkan gue Bumi, kata-kata itu terus beterbangan dipikiran Icil. Tapi dia masih terdiam, dia masih sangat kesal dan marah dengan dirinya sendiri.

Ketika mereka sudah sampai di depan rumah sakit, Bumi menggenggam tangan Icil.

"Icil udah jangan merasa bersalah kayak gitu. Aku nggak apa-apa, kok. Kamu pulang aja, istirahat! Biar aku ditemenin sama Iqbal aja. Oke." ucap Bumi sambil tersenyum.

"Tapi, Bumi. Kan..."

"Icil aku mohon pulang!"

"Iya."

"Kamu hati-hati pulangnya. Sekali lagi terima kasih?"

"Iya."

Icil menarik napas kuat-kuat dan menghembuskannya cepat. Icil berusaha tetap kuat, ia yakin semuanya akan baik-baik saja. Icil berjalan menjauhi Bumi, berpamitan dengan Iqbal. Setelah itu, ia pergi menuju parkiran.

Icil berjalan dengan langkah lunglai dan kepala tertunduk. Ia berusaha mati-matian untuk tidak menangis, tapi tak bisa. Icil tak sekuat itu. Sikap baik Bumi sudah berada di luar batas kesabarannya, hati Icil tak mampu lagi menanggungnya.

Icil menangis tanpa suara. Ia terus berjalan diiringi air mata yang terus menetes di kedua pipinya yang pucat.

"Kenapa, sih? Kenapa yang gue lakuin selalu salah? Kenapa Tuhan mempertemukan gue dengan seorang cowok aneh tetapi berhati malaikat? Kenapa Bumi bisa sebaik itu dengan gue? Padahal gue selalu cuek, kasar, dan selalu nyakitin dia. Tapi dia sama sekali nggak pernah marah ataupun membenci gue."

New studentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang