19 - Kejujuran

569 494 523
                                    

Salah sekali memang naik taksi di hari kerja, karena kota ini sulit dijadikan teman. Rumit sekali peraturan di kota ini. Untuk manusia yang tidak bisa diatur dengan peraturan, Icil lebih senang menghabiskan waktunya di rumah, karena baginya, rumah adalah kota yang tenang.

"Nih, minum dulu, kamu pasti haus," ucap Bumi sambil memberinya sebotol air mineral yang tidak Icil terima.

"Pacarnya ya, Mas?"

"Sebentar lagi, Pak."

"Apaan, sih!" dengan sigap, Icil menyikutnya.

Sopir taksi itu tertawa. "Bapak jadi ingat masa muda. Si Mbak sama si Mas ini cocok sekali, lho...."

"Memang sangat cocok, Pak. Sudah saya tawarin jadi pacar saya tapi belum diterima."

Icil tak kuasa menahan Amarah, ia merasa harga dirinya terancam.

"Maaf, Pak, ini teman saya emang suka gila kalau di jam-jam segini." jawaban Icil ternyata memancing perang yang baru. "Ciee.... sudah hafal sama kebiasaanku, nih?"

Sopir taksi itu menahan tawa, Icil cuma bisa tersenyum walau dalam hatinya ia ingin sekali melempar Bumi keluar mobil.

"Nanti aku tanya lagi ya, Icil? Aku nggak bosan kok nanyanya."

"Nanya apa?"

"Itu nanya kamu kapan mau jadi pacarku?"

"Bumi, lo makan apa, sih?"

"Makan apa maksudnya, Icil?"

"Lo aneh."

"Loh, bukannya kata kamu aku memang aneh?"

"Ya iya sih, tapi sekarang makin aneh."

"Makanya jangan terlalu diperhatikan, Icil. Nanti kalau kamu tiba-tiba jadi makin nyaman denganku, kan, kamu sendiri yang nggak mau..."

Icil akhirnya diam. Ia memilih tidak lagi meneruskan percakapan yang selalu berujung membuatnya jengkel. Entah darimana Bumi belajar bicara seperti itu. Kalau gadis itu bukan Icil, pasti dengan mudah akan jatuh cinta dengan Bumi. Pintar, berkharisma, tampan pula. Sayangnya gadis itu Icil, yang bahkan senja tidak bisa berhasil mencuri hatinya.

"Icil, kamu sukanya apa, sih?"

Icil masih pada keputusannya untuk diam membisu. Ia tidak tertarik untuk mendengar gombalan Bumi yang semakin membuat perasaannya merasa ada yang keliru.

"Icil? Cilla? Fricilla?" Bumi terus memanggil Icil selayaknya anak kecil yang memanggil dari luar pagar untuk diajak bermain.

"Payah, Icil masih nggak bisa jadi anak komunikasi yang baik."

"Biarin."

"Ayo jawab dong, Icil."

"Gue nggak suka apa-apa, Bumi."

"Nggak mungkin."

"Ya udah, Kalau nggak percaya."

"Sudah sampai, Mas, Mbak."

Icil keluar dari taksi lebih dulu. Hatinya itu memang sensitif sekali, kalau ada orang yang berusaha mendekatinya pasti berakhir dengan pendapatnya yang selalu benar. Padahal itu salah. Icil pun tahu itu salah. Namun, dia sudah terlanjur tidak peduli.

"Gue masuk dulu," pamit Icil.

"Hmm... iya." balas Bumi sambil tersenyum tipis.

Icil semakin dekat dengan pagar rumahnya. Tiba-tiba ada sesuatu yang berlari di dalam perasaan Bumi. Sesuatu yang memaksanya untuk bilang. "Icil? Bagaimana kalau yang keluar dari mulutku itu benar?"

Icil yang sudah mau membuka pintu pagar, langsung menoleh dan membalikkan badannya ke arah Bumi dengan wajah bingung. "Hah?"

"Kalau aku menyukai kamu gimana, Icil?"

Rasanya seperti melihat meteor jatuh. Fokus Icil seketika langsung buyar. Icil masih mengira itu mimpi atau mungkin Bumi keracunan sate ayam. Dari semua kosakata yang ada di kepalanya, Icil memilih untuk berjalan masuk dan pergi dari hadapan Bumi, meninggalkan Bumi begitu saja. Bumi menggigit bibirnya, hatinya tiba-tiba terasa sakit, seperti ada sesuatu yang menghantam keras dadanya. Rasanya begitu menyedihkan. Lagi-lagi Bumi hanya bisa menatap kepergian Icil dalam diam dan kekecewaan. Harapan besarnya perlahan terkikis. Namun, ia masih berusaha untuk menenangkan diri, berpikir positif bahwa ia pasti bisa mendapatkan hati Icil. Ya... semoga bisa.

****
Bi surti mengetuk pintu kamar Icil. "Non? Itu ada kurir di depan, mengantar paket."

"Dari siapa, Bi?"

"Ndak tahu, Non."

Ia buru-buru ke depan rumah. Benar ada kurir. "Atas nama Fricilla Emly Hermawan?"

"Iya, Mas. Saya sendiri."

"Mohon tanda tangan disini, Mbak," katanya sambil memberi kertas tanda terima.

"Maaf, tapi dari siapa, ya?"

"Di atas paketnya ada surat dari pengirimnya kok, Mbak."

"Oke makasih ya, Mas."

Dari bentuknya familiar sekali. Ia langsung curiga bahwa paket itu adalah dari seseorang yang ingin sekali ia usir dari hidupnya. Ia mengambil amplop berisi surat yang menempel di bungkusan itu. Ketika dibuka, tertulis sepucuk surat diatas sebuah kartu kecil.

Ini untuk kamu, Fricilla Emly Hermawan. Aku bohong. Nggak ada sepupu aku yang sedang berulang tahun. Kostum Belle ini aku berikan agar kamu percaya bahwa seorang yang mengaku cuma Icil itu juga bisa jadi princess. Seperti Belle dan pangeran buruk rupanya. Walau baru sebentar mengenal kamu, rasanya kamu berhasil menghilangkan kutukan yang tadinya ada di dalam hidupku. Rasanya sekarang duniaku jadi lebih menyenangkan. Karena itu, dalam surat ini aku ingin bilang, AKU MENYUKAIMU. Ini sebuah kejujuran, bukan rayuan gombal seperti kata Judika, Jebolan Indonesian Idol itu. Maukah kamu jadi gadisku? Maukah kamu mengatakan hal yang sama denganku? Tidak usah besok, tidak usah lusa, aku akan menunggu sampai kamu mengatakannya- Bumi

****
Lapangan penuh oleh sorak-sorai para siswa yang lebih menonton pertandingan basket, sedangkan tim cheers menyemangati pemain di pinggir lapangan.

Icil yang baru datang langsung menghampiri Arum dan Ariel yang berada di pinggir lapangan sambil berteriak heboh. Begitupun dengan teman-teman sekelasnya, hampir tidak ada satu orang pun yang terdiam. Semuanya berteriak menyemangati timnya masing-masing.

"Memangnya siapa lawan siapa?" Icil penasaran.

"Itu anak kelas 12 IPA 1 lawan anak kelas 11 IPA 2, gila, greget banget." kata Ariel yang masih menyaksikan dengan saksama pertandingan tersebut.

Icil seketika terkejut. "11 IPA 2?!"

New studentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang