12 - Marsya

823 717 841
                                    

"Bumi," panggil Jordan.

"Apa?" sahut Bumi tanpa menoleh dan terus berjalan menuju kelas.

"Lo udah sarapan belum? Makan bakso di kantin dulu, yuk!"

"Ya udah, hayuk!"

Hampir setiap hari mereka makan bakso Bang Amat sebelum masuk kelas. Pria paruh baya penjual bakso sudah seperti Ayah kedua mereka karena mereka lebih sering cerita dengannya ketimbang dengan orangtua mereka sendiri. Satu tahun mereka berteman, mereka berdua tidak pernah banyak bertanya tentang keadaan orangtuanya masing-masing. Baginya, itu tidak perlu, mereka berdua akan bicara kalau mereka sendiri yang mulai cerita duluan, dan akan selalu seperti itu.

"Pagi, Bang Amat!!" sapa Bumi sambil memeluk Bang Amat-si penjual bakso-dari belakang.

"Aih... Si kasep... kayak biasa?"

Jordan memesan teh tawar panas lalu duduk di depan Bumi. Mencamil makanan ringan yang tidak perlu membuatnya keluar uang banyak.

"Bumi, lo beneran suka sama Icil? Atau, cuman main-main doang?"

"Dan, kita, kan, udah pernah bahas ini."

"Ya, tapi, kan, kalau lo cuman main-main doang, lo lebih baik nggak usah terlalu buang waktu lo, buat ngejar Icil."

"Tapi gue udah bilang, gue nggak akan nyerah, ngejar Icil! Titik, nggak pakai koma-komaan."

"Paling nggak, lo bisa cari cewek lain dulu biar kalau lo nggak sama Icil. Lo nggak terlalu sakit hati nantinya."

"Terus? Gue harus jadi cowok playboy gitu, yang selalu gonta-ganti pasangan dan nggak setia sama satu cewek yang gue cintai. Gitu mau lo?"

"Bukan kayak gitu juga, Bumi..."

"Dan, gue cuma mau mencintai satu cewek aja dan cewek itu cuman Icil seorang. Titik."

Salah memang mengajak Bumi berdebat. Jordan hanya ingin membuat temannya itu lebih bersemangat lagi menjalani hidup, tapi cara yang ia lakukan selalu gagal. Karena buat Bumi, Icil adalah cinta pertama dan terakhirnya. Tidak ada yang lain daripada itu, bahkan kebahagiaannya sendiri.

"Oh iya Bumi, sebenarnya gue mau ngasih tahu sesuatu..." ucap Jordan ragu-ragu. "Ah, tapi lo janji nggak marah, ya."

"Iya. Apaan?"

"Marsya..."

"Marsya siapa?"

"Ada adik kelas di X IPA 3..."

"Jangan bilang..."

Ini adalah kesejuta kalinya Jordan berusaha mencomblangi Bumi dengan teman-temannya. Jordan sendiri adalah anak pencinta alam, bisa dibilang ia cukup terkenal di sekolah. Sudah tidak terhitung berapa kali ia ingin mencarikan Bumi pacar. Ia ingin menunjukkan kepada Bumi kalau hidup yang ramai itu menyenangkan, paling tidak satu orang yang bisa mencintainya, yang bisa berbagi bebannya.

"Ayo dong, Bumi, dicoba."

"Jangan buat gue marah, please."

"Eh, ini gue nggak mengajukan elo, kok, dia sendiri yang emang udah kagum sama lo."

"Kagum. Gimana ceritanya? Gue aja nggak pernah ketemu sama dia. Nggak usah ngarang."

"Bumi...," ucap Jordan dengan wajah memelas.

"Nggak."

"Minimal lo chat-an sama dia sekaliii... aja." Jordan terus memohon.

"Nggak."

"Nih, kasep... baksonya." sodor Bang Amat memotong pembicaraan mereka.

"Makasih, Bang Amat!!" jawab Bumi gemas. Memang cuma Bang Amat yang bisa membuat suara girang dari dalam dirinya keluar, karena cuma di tempat ini Bumi bisa tertawa lepas. Selebihnya tidak. Ia melamun dan memikirkan Icil yang entah kapan bisa membalas cintanya.

Selesai menyantap sarapan, Bumi bergegas menuju kelas karena kelas akan dimulai. Jordan mengikutinya dari belakang dengan masih memegang makanan ringan. Di depan pintu kelas, ada seorang gadis bertubuh mungil, seperti sedang menunggu seseorang. Namun, ketika gadis itu melihat Bumi, ia segera menegakkan tubuhnya seakan ingin menghampiri Bumi. Dan, ternyata benar.

"Kak Bumi, ya?"

Bumi menatap gadis itu dengan curiga. "Tau nama gue dari mana?"

Gadis itu langsung menyodorkan kantong kertas berisikan sekotak kue cokelat hitam dan sekotak kue cokelat putih.

"Ini, Marsya ada kue cokelat hitam dan Marsya juga bawa kue cokelat putih buat Kak Bumi. Terima, ya."

Bumi diam sebentar, "Gue nggak bisa te...,"

"Sini! Biar gue aja yang terima." potong Jordan menatap wajah Marsya tidak tega.

Marsya menganggukkan kepala sembari menyodorkan kantong kertas itu kepada Jordan.

"Maafin, Marsya! Karena Marsya nggak tahu Kak Bumi suka sama kue cokelat hitam atau suka sama kue cokelat putih. Jadi, Marsya bawain kedua-keduanya, deh. Biar nggak salah, hehehe."

"Tenang aja! Bumi itu lo kasih apapun dia pasti suka. Asalkan, jangan lo kasih kayu sama batu aja. Itu gue bisa jamin, barang pemberian lo nggak mungkin diterima Bumi. Iya, kan?" sahut Jordan sambil menyenggol lengan Bumi pelan.

"Kue cokelatnya enak banget, loh. Besok Marsya bawain lagi, ya."

"Nggak perlu," tolak Bumi cepat.

"Kenapa? Kak Bumi nggak mau?" lirih Marsya sedikit kecewa.

"Kalau Bumi nggak mau, gue mau kok, Sya. Dengan senang hati dan ikhlas lahir batin Abang Jordan siap menerimanya," sahut Jordan tak tahu malu.

"Marsya pengennya ngasih ke Kak Bumi, bukan ke Kak Jordan!" ketus Marsya.

"Kan, Bumi nggak mau. Daripada lo patah hati karena Bumi, mending kasih ke gue," sambung Jordan tak mau kalah.

"Siapa Kak Jordan yang harus Marsya kasih kue cokelat?"

"Lo nggak tau gue siapa?" Waaahh...," songong Jordan, menjulurkan tangannya. "Kenalin, gue yang pernah isi bensin di mobil punya Presiden."

Bumi menjitak kepala Jordan dengan cukup keras, membuat Jordan langsung meringis memegangi belakang kepalanya.

"Sakit kodok?!" Protes Jordan.

"Nggak usah lo dengerin nih Si manusia konslet, Sya. Bisa-bisa lo ikut konslet nantinya," ucap Bumi memperingati Marsya.

Marsya menganggukkan kepala mengiakan sambil terus menatap Bumi. "Pokoknya Marsya bakalan terus bawain Kak Bumi kue cokelat setiap hari," seru Marsya.

"Terserah," balas Bumi malas.

"Kalau gitu Marsya mau balik ke kelas dulu, ya, Kak Bumi. Sampai jumpa nanti jam istirahat."

Bumi diam saja tak membalas, bahkan tak memandang gadis itu sama sekali. Marsya pun hanya bisa melongos pasrah. Marsya membalikkan badan, berjalan kembali menuju kelasnya dengan perasaan cukup sedih.

"Dicuekin," lirihnya. "Nggak apa-apa. Marsya nggak boleh nyerah!"

New studentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang