22 - Hujan

381 301 336
                                    

"Ini gelang bagus banget, dari siapa? Dari Bumi yaa?" teriak Ariel ketika Icil baru saja memasuki ruang kelas. Semua tatapan tertuju ke arah Icil seakan menunggu jawaban apa yang akan dikatakan oleh Icil. Icil terdiam, menatap seisi kelas yang mengarahkan pandangan padanya dan suasana pun mulai terasa menegangkan.

"Icil, ngaku! Ini gelang pasti pemberian Bumi kan?" desak Ariel.

"Hah? Bumi ngasih Icil gelang? Yang benar?" terdengar banyak bisikan yang masih bisa Icil dengar dengan jelas. Untungnya saat itu Bumi masih belum datang.

"Iya." Icil menjawab singkat dan langsung duduk di kursinya.

"WADAW! WA-DI-DA-DAW!" teriak Ariel.

"Cie-cie... dikasih gelang sama Bumi." goda Arum. "Bumi sekarang lo terima, yaa?" tanya Arum.

"Kayaknya sih iya. Hahaha..." sahut Ariel.

"Bener Bumi udah lo terima?" tanya Arum memastikan.

"Icil nggak mungkin jawab. Gimana kalo kita tanya Bumi aja?" ide yang muncul secara tiba-tiba di kepala Ariel.

"Ariel bisa diam, nggak?" tanya Icil dengan tatapan yang mematikan.

"Hahaha, sorry gue cuma ......"

"Diam!" bentak Icil yang membuat Ariel terdiam tak melanjutkan perkataannya.

Memang dia dan Bumi belum ada hubungan, keberadaan Bumi di hidupnya belumlah bisa disebut sebagai pasangan, meski sebenarnya hatinya mulai luluh.

Tapi meski Icil berkata tidak pun semua masih akan tetap menganggap dirinya dan Bumi sebagai pasangan karena memang cara Bumi memperlakukan Icil nampak seperti seorang kekasih yang takut kehilangan. Bumi tidak pernah menyembunyikan perasaannya, Bumi selalu menunjukkan cintanya pada Icil bahkan ketika banyak orang melihatnya. Ya, meski sampai sekarang Icil masih keras kepala menolak memastikan hubungannya dengan Bumi.

****
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, hari ini langit menjatuhkan banyak kesedihan. Icil dan beberapa anak lainnya masih tertahan di sekolah karena tidak membawa payung, tidak menyangka bahwa hari ini akan turun hujan. Sedangkan Arum dan Ariel sedang sibuk rapat di organisasi mereka masing-masing.

"Pulang?"

Suara itu lagi! Di mana saja Icil berada, sepertinya pemilik suara itu memang akan selalu mengikutinya. Siapa lagi kalau bukan Bumi!

"Hujan, nunggu reda."

"Kamu takut basah?" tanya Bumi.

"Bukan, gue takut buku gue basah," Icil menjawab pertanyaan Bumi tanpa menoleh ke arah Bumi sedikit pun.

"Aku takut kehilangan kamu," pernyataan Bumi inilah yang membuat Icil menatap Bumi dengan tatapan tajam. Bagaimana tidak, masih banyak siswa lain di samping Icil, tapi Bumi tetap saja bersikap demikian. Bukan karena Icil tidak suka, Icil hanya takut jika hati Bumi akan sangat terluka jika akhirnya nanti Icil tidak bisa menerima kehadiran Bumi di hidupnya. Icil takut Bumi menjadi bahan pembicaraan banyak orang nantinya.

"Nih," Bumi menyodorkan kantong plastik hitam besar kepada Icil.

"Buat apa?"

Bumi menarik Icil duduk di bangku kosong di depan salah satu kelas.

"Tas kamu bawa sini," Icil menyerahkan tasnya kepada Bumi.

Bumi membuka tas Icil dan mengeluarkan semua isinya. Buku, kotak pensil, dompet, kaca, juga ponsel Icil, lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik itu. Icil makin kebingungan dengan apa yang Bumi lakukan.

"Sekarang aman, buku kamu enggak akan basah," kata Bumi seraya menyerahkan tas kepada Icil.

"Astaga! Bumi!"

New studentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang