15 - Aku nggak mau

639 580 603
                                    

"Apa Bumi marah sama gue?"

"Kayaknya, sih, iya."

Bumi menutup bukunya dan membereskan soal-soal yang selesai dikerjakan, lalu keluar dari kelas tanpa mengucap sepatah kata, ia meninggalkan Icil begitu saja.

Icil memandang Bumi yang sudah berlalu. "Mungkin dia lagi sariawan."

****
Sepulang sekolah, Icil mampir ke perpustakaan, ada buku yang tertinggal disana. Ketika masuk ke dalam, Icil menemukan Bumi. Pria itu sedang membereskan buku-bukunya yang begitu banyak.

Icil berjalan mendekat, memperlihatkan kehadirannya. Namun, Bumi hanya diam, bertingkah acuh tak acuh, bahkan membuang muka.

Icil yang melihat Bumi kewalahan membawa buku-bukunya memutuskan untuk semakin mendekat. Meskipun Icil sosok yang dingin dan cuek, ia masih punya hati untuk membantu orang yang sedang kesusahan. "Mau gue bantuin?" tanya Icil.

"Nggak perlu," jawab Bumi jutek.

Icil menghela napas berat, mengasah otaknya untuk menebak perubahan sikap dari seorang Bumi. "Lo marah sama gue?" tanya Icil serius.

"Nggak."

"Kelihatannya lo marah sama gue."

"Kenapa aku harus marah. Kamu nggak usah sok tau," ketus Bumi.

"Gue nggak sok tau."

"Ya udah, diam. Nanya mulu!"

Icil kaget mendengar balasan Bumi yang tak biasanya, ia pun memperhatikan Bumi lebih saksama. "Lo marah gara-gara gue nggak mau diajak nonton?" tebak Icil.

Bumi menatap Icil. "Sejak kapan kamu jadi banyak tanya kayak gini?"

Icil terdiam, ia mulai bertanya kepada dirinya sendiri. Benar yang dikatakan oleh Bumi. Sejak kapan ia bersikap seperti ini?

"Nggak usah sok peduli kalau nggak suka, nggak usah kasih aku harapan."

Bumi membalikkan badan, ingin beranjak keluar, tapi lengannya diraih oleh Icil. Ia pun mengurungkan langkahnya.

"Lo beneran marah sama gue karena kemarin?" tanya Icil lagi. Entah kenapa hatinya tidak tenang karena sikap Bumi seperti ini.

"Pikir aja sendiri!"

Kemudian Bumi pergi meninggalkan Icil sendiri. Bumi mempercepat langkahnya. Ya, karena kakinya sudah tidak di-gips lagi. Ia berusaha dengan sekuat tenaga untuk bersikap dingin dan tak peduli seperti itu. Padahal, hatinya sudah meronta untuk meneriaki nama Icil. "Lo bisa, Bumiii!!"

****
Bumi berlari dengan sangat kencang menuju kelasnya, ia langsung menghampiri Jordan, "Jordannnn!" teriak Bumi.

Jordan terkejut bukan main, ia mengangkat kepalanya menatap Bumi yang sudah duduk di hadapannya. Jordan menghela napas pelan sembari mengelus dadanya. "Apa lagi, sih, Bumi," gemas Jordan.

"Gue nggak bisa pura-pura cuek ke Icil. Kasihan Icil, terus kalau nanti Icil marah, gimana?" curhat Bumi.

"Nggak bakalan, Bumi. Udah, percaya sama gue."

"Kan, udah gue bilang, percaya sama Allah. Bukan percaya sama lo!"

"Kan, gue juga udah bilang, pengin gue cubit ginjal lo! Yuk, sekarang!" kesal Jordan.

Bumi memberikan cengiran tak berdosa, "Jordan, gimana?" lirih Bumi cemas, senyumnya menurun. "Udahan aja, gimana?"

Jordan memberikan sorot mata tajam. "Terserah lo, deh! Kalau mau terus-terusan diabaikan sama Icil, nggak usah ikutin saran gue. Kalau lo mau terus-terusan ditolak sama Icil, ya udah sana lo kejar-kejar Icil kayak orang gila!"

Nyali Bumi menurun, ucapan Jordan membuatnya semakin takut. "Ya udah deh, gue turutin dulu saran lo sampai enam hari."

"Gitu dong, baru sahabat gue." Jordan menepuk pelan bahu Bumi, memberikan keyakinan. "Lo pasti bisa, Bumi."

"Iya, gue pasti bisa."

****
Tiga hari berlalu dengan begitu cepat, tiga hari itu pula Bumi menderita karena misi sialan dari Jordan. Tiga hari yang bagaikan tiga tahun bagi Bumi. Selama tiga hari itu juga Bumi tak memiliki semangat seperti biasanya, ia malas menyapa siapa pun, bahkan untuk tersenyum.

Bumi berusaha menahan kebiasaannya selama tiga hari ini, seperti isi pesan SMS Bumi terakhir untuk Jordan. Kangenku sudah stadium akhir. Tolong aku. Namun, Jordan tak membalas pesannya, paling cuma tersenyum ketika selesai membacanya. Walau semakin tidak dibalas, semakin banyak pesan masuk dari Bumi yang ia terima. Harusnya Icil yang menderita, tapi Bumi merasa sebaliknya, ia yang dibuat sakit hati karena selama tiga hari tak ada reaksi apa pun dari seorang Fricilla Emly Hermawan. Icil bersikap seperti biasanya, dingin dan masih tak peduli dengan dirinya. Bumi merasa Icil memang benar-benar tidak peduli padanya.

****
Bumi tak henti melihat ke arah pintu, tampak resah menunggu kedatangan Icil yang tak kunjung hadir. Hari ini ada ulangan Fisika, membuatnya wajib untuk datang ke sekolah.

Bumi khawatir sendiri, takut jika Icil marah dan tidak mau lagi menemuinya. Takut jika gadis itu sungguh-sungguh tidak mau peduli lagi dengannya.

Namun, rasa khawatir dan takut itu seketika hilang. Bumi mendengar suara pintu perlahan terbuka, Bumi dengan cepat menundukkan kepala dan berusaha menyibukkan diri, membaca buku. Bumi berpura-pura tidak mengetahui kehadiran Icil.

Tak ada suara yang memecah keheningan diantara mereka, Icil sendiri datang dengan tenang. Gadis itu langsung duduk, mengambil bangku di hadapan Bumi dan lansung membuka bukunya.

Mereka sama-sama diam Bumi berharap Jordan segera datang untuk mencairkan suasana di antara dirinya dan Icil.

Beberapa menit kemudian, Icil memundurkan bangkunya, membuat sedikit ruang. Ia mengeluarkan sesuatu dari kantung bajunya, lalu menyodorkan dua buah kertas berukuran 10 × 7 cm di hadapan Bumi.

"Apa?" tanya Bumi menyembunyikan kegugupannya.

"Tiket nonton," jawab Icil tenang.

"Punya siapa?"

"Gue."

"Terus kenapa dikasih ke aku?"

Icil tak langsung menjawab, kedua matanya yang biasa menyorot dingin berubah melunak dan sedikit hangat. "Mau nonton sama gue?"

Bumi merasa jantungnya cenat-cenut, ia berusaha susah payah untuk meyakinkan dirinya bahwa ini benar-benar nyata. Icil tiba-tiba mengajaknya nonton berdua? Seorang Fricilla Emly Hermawan?

Mungkinkah Icil kesurupan kolor ijo atau Bumi yang sedang bermimpi? Bumi tak henti mengulangi pertanyaan tersebut di otaknya, meyakinkan diri bahwa ia tak salah dengar. Saat ini, Bumi sangat ingin berteriak, 'YA! GUE MAU! GUE MAU!'

Namun, Bumi langsung teringat dengan kenyataan pahit bahwa ia masih harus menjalankan misi sialan enam harinya itu. Bumi harus tetap mengikuti saran Jordan untuk melanjutkan berpura-pura tidak peduli pada Icil hingga enam hari.

Ini masih belum enam hari dan Bumi harus menahannya. Ia menggigit lidahnya dengan kuat agar tidak mengatakan 'ya'.

Bumi menarik napas dan menghelanya pelan-pelan, mengontrol diri sendiri untuk tetap tenang. Ia mencoba untuk tetap bersikap biasa dan berpura-pura tidak tertarik. "Aku nggak mau," tolak Bumi percaya diri.

New studentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang