17 - Tampan

593 541 604
                                    

"Lalu gimana, Icil?"

"Gimana apanya?"

"Ayam bakar sama ayam gorengnya?"

"Gue nggak laper."

"Sudah kuduga."

"Terus kalau sudah diduga kenapa dibeli?"

Bumi terkekeh, lalu duduk pada kursi di depannya.

****
Bumi tak henti senyum-senyum sendiri sedari tadi, ia terus menatap Icil yang tengah fokus mencatat materi yang ada di papan tulis. Bumi membayangkan kejadian tadi pagi, begitu romantis dan mendebarkan hatinya.

"Sampai kapan lo mau liatin gue kayak gitu?"

Tubuh Bumi tersentak, ia dibuat kaget dengan pertanyaan Icil yang tiba-tiba, gadis itu menatapnya datar.

"Sampai kamu suka sama aku," jawab Bumi dengan cepat.

Icil menghela napas panjang, kehabisan kata untuk membalas ucapan Bumi yang sangat terang-terangan.

Uhuukk! Uhukkk!

Ariel yang baru datang, sengaja terbatuk-batuk, menahan tawanya. "Udahlah, Icil. Kasihan anak orang. Terima cinta Bumi," suruh Ariel.

Icil menatap Ariel tajam.

"Maaf-maaf, anggap mulut gue baru aja lenyap dari dunia ini," ucap Ariel buru-buru, tak ingin mendapat serangan mematikan dari Icil.

Ariel lalu duduk di samping Icil, "Lanjutin aja pacarannya, nggak usah malu-malu. Gue kesini cuman mau ngambil uang doang, tadi lupa bawa uang soalnya, hehehe." ucap Ariel dengan wajah sumringah.

Setelah Ariel keluar, Bumi kembali pada aktivitasnya, memandangi Icil sepuas hati. "Aku boleh tanya nggak?" Bumi kembali beraksi.

"Apa?" balas Icil berusaha sabar.

"Kamu udah suka sama aku?"

"Nggak."

"Kok enggak? Terus kenapa kamu repot-repot beliin tiket nonton? Repot-repot ngajak aku nonton? Kamu takut, ya, aku marah sama kamu?"

Icil menatap Bumi lekat. "Mana dulu yang harus gue jawab?"

"Kamu suka sama aku?" tanya Bumi untuk kesekian kalinya.

"Nggak." jawab Icil singkat.

"Terus kapan sukanya sama aku?" lirih Bumi sedih.

"Nggak tau."

"Tapi ada rencana, kan, buat suka sama aku?"

"Nggak juga."

Bumi menghela napas berat, mulai pasrah. "Ya udah deh. Kalau gitu besok aku tanya kamu lagi, ya. Aku bakalan tungguin sampai kamu suka sama aku. "

"Oke."

Bumi mendesis kesal mendengar jawaban Icil yang singkat dan ogah-ogahan seperti itu. Ia mengelus dada, berusaha sabar dan tetap semangat. "Aku boleh tanya lagi nggak?"

"Cepetan!"

"Kamu pernah suka sama orang nggak, sebelumnya?"

"Nggak ada."

Bumi melongo. "Seriusan? Kenapa?"

"Males aja, ribet mana susah lagi."

Bumi tersenyum penuh arti. "Kalau gitu suka sama aku aja. Insya Allah, aku nggak susah, kok, orangnya. Aku mandiri, rajin menabung, cuma nyebelin dikit aja, hehehe. Aku juga ganteng, terus pinter juga," cerocos Bumi mempromosikan dirinya.

"Lo kapan bisa diem?"

"Kalau kamu suka sama aku, aku bakalan belajar diem." jawab Bumi tanpa ragu.

"Oke." Icil mengambil earphone dan memakainya. Ia menyalakan lagu dengan volume paling keras, membiarkan Bumi terus berkicau. Sepertinya hari ini akan berlalu sedikit panjang dan melelahkan.

****
Sepulang sekolah, Icil dan Bumi bergegas menuju bioskop. Bumi merasa sangat bahagia. Sepanjang perjalanan, adegan-adegan cetar membahana badai antara dirinya dan Icil menjadi imajinasi liar di otaknya. Hari yang indah dan tak akan pernah dia lupakan.

Mereka berdua masuk ke sebuah Mal yang cukup terkenal di Jawa Barat. Bumi sedari tadi berusaha menyamai langkah Icil yang cepat, ia ingin berjalan di samping Icil. Namun Icil selalu saja berjalan duluan dengan meninggalkan Bumi.

"Icil," panggil Bumi, lebih mendekat ke Icil.

"Hm?" balas Icil sekenanya.

"Liat, deh, tangan aku." lanjut Bumi sembari mengulurkan tangan kanannya.

"Kenapa?" tanya Icil gagal paham.

"Tangan aku ini loh, hampa banget, nggak ada yang menyinggahi," jelas Bumi gemas.

Icil diam sejenak, mendalami maksud perkataan Bumi. "Menyinggahi? Maksudnya?" tanya Icil dengan wajah tak berdosanya.

"Maksud aku itu, gandeng tangan akuu!!"

"Oh."

Bumi mengelus dada, mengatur napasnya yang hampir kehabisan stok oksigen. Ia harus ekstra sabar menghadapi gadis macam Icil. "Ya udah, cepet gandeng tangan aku," pinta Bumi.

Icil menghentikan langkahnya, Bumi pun mendadak ikut berhenti. Icil menolehkan kepalanya, menatap Bumi, lalu tersenyum picik.

"Lo ngelindur?"

****
Mereka sampai di bioskop. Masih ada waktu dua puluh menit sebelum film di mulai.

"Icil, aku beli pop-corn dulu, ya," ucap Bumi.

"Iya."

"Kamu mau juga, nggak?"

"Terserah."

Bumi menganggukkan kepala, sepertinya dirinya mulai terbiasa dengan balasan singkat dan tak berperasaan yang tiap kata keluar dari bibir gadis bernama Icil. "Icil tunggu disini, ya. Jangan kemana-mana."

"Iya."

Setelah itu, Bumi berjalan meninggalkan Icil. Ia membeli satu pop-corn ukuran large dan dua minuman soda dingin.

Icil tak bergerak dari tempatnya berdiri, kedua matanya lurus ke depan menyorot pada Bumi yang tengah sibuk memesan. Icil memperhatikan Bumi cukup lekat. Ia menyadari bahwa pria itu terus tersenyum begitu bahagia.

Tanpa sadar, satu sudut bibir Icil sedikit terangkat walau tak begitu terlihat jelas. "Tampan."

Icil mematung, kedua matanya terbuka sempurna. Apa yang barusan ia katakan? Icil menggelengkan kepalanya cepat, menyadarkan dirinya untuk kembali ke dunia nyata. Icil berusaha menarik lagi kata-katanya.

Tak lama kemudian, Bumi kembali dengan membawa makanan dan minuman yang dibelinya. "Ayo Icil, masuk ke dalam," ajak Bumi.

"Hm."

Mereka berdua segera beranjak, lagi dan lagi Icil berjalan selangkah lebih cepat dan pada Bumi. Tidak memberikan celah kepada pria itu untuk berjalan beriringan dengannya.

Bumi mendengus pelan, raut wajahnya terlihat sedih. "Kapan kamu mau ngasih kesempatan buat aku supaya bisa melangkah bersama. "

****
Pukul tiga lewat tiga puluh, Bumi dan Icil sudah keluar dari bioskop sejak lima belas menit lalu. Mereka bergegas untuk pulang.

Bumi tiba-tiba menghentikan langkah, kedua matanya terbuka lebar ke arah sebuah toko kostum.

"Icil," panggil Bumi menarik-narik lengan Icil tanpa sadar.

New studentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang