14 - Mendadak berubah

672 607 688
                                    

"Halo?"

"Halo, Dan?" balas Bumi. "Gue lagi sedih nih, Dan."

"Sedih?" Jordan terdengar bingung.

"Ya," sahut Bumi. Dan untuk memperjelas, Bumi menambahkan, "Remuk hati gue."

"Remuk?" Jordan tambah kebingungan. "Ada apa?"

"Ada hal penting yang ingin gue bicarakan sama lo," jelas Bumi. "Apa kita bisa ketemuan hari ini?"

"Bisa aja," kata Jordan. "Mau ketemuan dimana?"

Tentunya tidak di rumah Bumi atau di rumahnya. "Di cafe' Nostalgia aja," putus Bumi. "Jam delapan malam. Tapi nggak usah bawa siapa-siapa! Lo aja sendiri yang boleh datang kesana. Oke."

Kalaupun Jordan penasaran kenapa Bumi melarangnya mengajak orang lain soal pertemuan mereka, Jordan tidak menanyakan apa-apa. Jordan hanya mengiyakan dan menutup telepon.

****
Bumi masuk ke dalam cafe', setiap langkah yang dipijak kedua kakinya tak bertenaga. Ia duduk berhadapan dengan Jordan, menaruh kepala di atas meja. Jordan memperhatikan sahabatnya, dengan pandangan heran. "Kenapa lagi, Tuan Muda? Icil lagi?"

"Iya," jawab Bumi lirih.

"Kenapa? Nggak dipeduliin lagi?"

"Icil nggak mau nonton sama gue."

"Yang sabar."

"Icil kapan, ya, bisa lembut dan peduli sama gue? Padahal gue udah berusaha pantang menyerah. Susah banget dapetin hati Icil."

"Lo mau nyerah?"

Bumi langsung bangkit, menegakkan tubuhnya, "Enak aja, enggak lah! Kan, upin & Ipin masih belum lulus SMA, Nobita juga belum juara 1 di kelasnya," jawab Bumi asal.

"Terus hubungannya sama lo apa?" gemas Jordan.

"Ya ada, pokoknya."

Jordan menghela napas berat, geleng-geleng kepala melihat tingkah gila Bumi yang semakin menjadi-jadi. Di sisi lain, ia juga merasa tak tega, wajah Bumi masih tampak murung tanpa ada senyum.

"Bumi, mau gue kasih saran?" tawar Jordan.

Bumi mendongak, menatap Jordan, dan kedua matanya tersorot sebuah harapan. Ia tersenyum. "Mau, Dan. Apa sarannya?"

"Jual mahal dikit ke Icil, berlagak kayak lo udah nggak suka lagi sama dia. Cuekin Icil, sok nggak peduli dan sedikit jaga jarak sama dia," ucap Jordan serius.

"Tapi, kan, gue masih suka sama Icil."

"Pura-pura aja, Bumii!!!" gereget Jordan. "Kan, nanti Icil bakal ngerasa kehilangan lo," tambah Jordan.

Bumi berpikir keras, melihat Jordan dengan tatapan dilema dan penuh keragu-raguan. "Gue kayaknya nggak bisa jauhin Icil. Gue udah terlanjur suka," lirih Bumi.

"Haduh, Bumi. Jangan lembek, deh. Cuman enam hari aja lo coba saran dari gue dan liat ada perubahan nggak sama sifat Icil ke elo," jelas Jordan. "Kalau Icil nyariin lo, berarti dia ada rasa suka sama lo."

"Kalo Icilnya biasa-biasa aja dan malah jauhin gue, gimana?"

"Lo jangan pesimis dulu. Dicoba dulu aja, seriusan bakalan berhasil, gue doain." ucap Jordan berusaha meyakinkan.

Bumi menghela napas, otaknya dibuat ekstra. Pilihan yang lumayan sulit, tapi menggiurkan untuk di coba. "Serius, nih? Nggak apa-apa gue lakuin saran lo?" tanya Bumi ragu.

"Serius, Bumi! Lo percaya, deh, sama gue."

"Percaya sama Allah, bukan sama lo."

"Lucu banget sih lo, jadi pengen gue cubit ginjalnya."

Bumi nyengir tak berdosa.

"Jadi gimana? Mau nggak nurutin saran gue?" tanya Jordan kembali ke topik.

"Harus banget, ya, enam hari? Dua hari aja, gimana?"

"No! Enam hari!"

"Tiga hari, deh!" tawar Bumi lagi.

"Bumi!! Enam! Ngerti enam, kan? Seven!"

"Seven?"

"Eh, maksud gue six. Iya six. Tapi kalo lo mau tujuh juga gak apa-apa malah tambah bagus." Jawab Jordan tak berdosanya.

"Yah... kok tambah lama? Nggak setuju gue." tolak Bumi mentah-mentah.

"Ya udah... enam hari aja." ucap Jordan mengalah. "Jadi selama enam hari, lo harus ngejauhin Icil. Ngerti kan?"

"Iya, gue ngerti." ucap Bumi dengan berat hati.

Jordan tersenyum puas mendengarnya. "Gitu dong. Lo harus kuat dan semangat!" seru Jordan.

"Tapi Dan, gue nggak boleh gitu nyapa Icil sebentar?" tanya Bumi.

"Nggak boleh."

"Nelepon?"

"Nggak, Bumi."

"SMS Icil?"

"Nggak, nggak!"

"Ngelirik doang gitu, nggak boleh juga?"

"ASTAGHFIRULLAH, BUMI!" gereget Jordan mulai kehabisan kesabaran. "Nggak boleh, Bumiii!!!"

****
Keesokan hari, Bumi memantapkan hatinya, bahkan semalaman dia melatih dirinya untuk bersikap tidak peduli kepada Icil. Bumi benar-benar melakukan ide yang disarankan Jordan untuknya seperti saat ini, Bumi hanya diam dan fokus dengan soal-soal Fisikannya, tak membuka suara sama sekali. Ketika Icil masuk ke dalam kelas pun Bumi berlagak biasa saja tanpa menyapa gadis itu.

"Tumben lo telat masuk?" tanya Arum. Tangannya sibuk memasukkan beberapa buku ditasnya.

"Gue ke Dinas pendidikan dulu sama Pak Udin. Katanya gue harus ngelengkapin persyaratan dulu baru bisa ikut olimpiade," jelas Icil. "Lo mau kemana?"

"Gue mau nemenin adik gue dulu yang lagi sakit, habisnya nggak ada yang jagain dia di rumah sakit." jawab Arum harap-harap cemas.

"Hah! Adik lo kenapa?" kaget Icil.

"Dia kena DBD. Makanya adik gue harus masuk rumah sakit. Doain, ya, semoga adik gue lekas sembuh."

"Aamiin." ucap Icil dan Ariel bersamaan.

"Gue udah rangkum beberapa soal dan jawaban Fisika. Lo bisa baca-baca dan koreksi kalau ada yang salah," pesan Arum.

"Oke." ucap Icil mengiyakan.

"Gue duluan, ya," pamit Arum. "Riel, gue berangkat," lanjutnya.

Icil dan Ariel menganggukkan kepala bersamaan, membiarkan Arum keluar dari kelas.

Icil mengambil duduk di hadapan Ariel, meletakkan tas dan mengeluarkan beberapa bukunya. Icil diam-diam berpikir, merasa ada yang kurang pagi ini, aneh.

Benar, suara Bumi. Yang biasanya pagi-pagi sudah berkicau tak jelas, ia tak mendengarnya pagi ini. Icil menoleh, melihat Bumi sebentar. Pria itu tak mengajaknya bicara sama sekali dan fokus mengerjakan soal-soalnya. Bumi tak menghiraukan kehadiran Icil. Tak biasanya.

Sikap Bumi yang mendadak berubah pendiam tentu membuat Icil heran. Beberapa kali, Icil mencuri pandang untuk melirik Bumi. Ia semakin merasa aneh dengan pria itu. Bumi bertingkah seperti tak melihat Icil di kelas ini. Icil tak bisa menahan rasa penasarannya. "Riel," panggil Icil.

"Apa?"

"Kenapa dari tadi Bumi diam aja?"

"Ekm, tumben banget seorang Fricilla Emly Hermawan nanyain tentang Bumi. Biasanya, kan, lo males banget kalau ngomongin soal Bumi. Kok sekarang malah nanya-nanya, sih? Lo khawatir, yaa, sama dia? Apa lo mau denger dari orangnya langsung? Gue bisa kok, tanya langsung sama orang yang bersangkutan?" goda Ariel.

"Apaan, sih, Riel. Jangan ngaco, deh, lo. Mana ada gue khawatir sama dia. Malahan gue seneng hari ini dia nggak gangguin gue lagi."

"Jangan-jangan Bumi jadi pendiem kayak gitu. Mungkin karena elo tolak mentah-mentah kemarin. Iya nggak, sih?" tebak Ariel.

Icil tiba-tiba teringat akan ucapannya yang cukup kasar di koridor kemarin. Apakah pria itu marah padanya?

New studentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang