8 - Ketenangan yang akan punah

1K 936 1.2K
                                    

Seperti biasa setelah bel pulang sekolah berbunyi yang dilakukan Icil hanya ada dua.

Pertama menunggu sampai semua teman-teman kelasnya keluar, dia malas jika harus berdesak-desakkan.

Kedua, yaitu ritual keramat!

Icil menghela napas berat, tubuhnya ia sandarkan ke papan tulis dengan kedua tangannya ia taruh di depan dada. Kedua matanya mengamati kedua teman ajaibnya yang sedang sibuk mengecek seluruh kolong meja kelas.

"Riel, gue nggak ada nemu bolpoin, nih. Kalau lo, ada nemu nggak?"

"Kalau gue ada nih, gue nemu dua bolpoin di mejanya si Dewi!" teriak Ariel mengangkat dua bolpoin itu tinggi-tinggi. Raut wajahnya begitu berbinar.

"Waahhhh keren! Dewi hebat! Baik sekali si Dewi," balas Arum tak kalah heboh.

"Cari lagi Rum, di meja sebelah sono, siapa tau kita nemu lagi," ucap Ariel lebih bersemangat.

"Oke-oke, siap dilaksanakan boss!"

Icil menggeleng-gelengkan kepalanya, takjub. Bagaimana bisa ia berteman dengan kedua gadis ini? Bagaimana bisa pertemanan mereka awet kayak ikan asin yang dikasih formalin?

Icil mengangkat tangan kirinya, mengecek jam tangan. Sudah pukul tiga siang, satu jam setelah bel pulang berbunyi. Pasti sekarang cukup sepi.

"Gue pulang duluan," teriak Icil berpamitan kepada kedua temannya.

"Hati-hati," balas Arum ikut berteriak.

"Kalau ketemu Tom sama jerry yang lagi berantem di jalan, nggak usah takut. Bilang aja lo temennya Ariel!" sahut Ariel tak kalah keras.

Icil melangkah keluar kelasnya, tak memedulikan kegilaan Ariel.

"Astagfirullah!" kaget Icil memundurkan beberapa langkah.

Icil terkejut melihat sosok pria paruh baya menggunakan seragam warna putih yang tiba-tiba sudah ada di hadapannya.

Icil menghela napas berat, melepaskan earphone yang sedari tadi terpasang.

Icil menatap pria itu bingung. "Maaf pak, ada yang bisa saya bantu?" tanya Icil.

"Kedatangan saya ke sini, saya disuruh Mas Bumi untuk mengantar Mbak Icil pulang." Jawab pria itu tanpa menghilangkan senyum di wajahnya.

"Saya nggak mau," tolak Icil.

"Saya mohon, Mbak! Jangan menolak, saya takutnya kalau Mbak menolak. Nanti saya di marahi sama Mas Bumi." Jujur pria itu.

"Kalau soal itu, bapak tenang aja! Kalau sampai Bumi berani marahin bapak hanya karena ini. Bilang aja sama saya, nanti biar saya yang ngurus." Ucap Icil datar.

"Tapi, Mbak..."

"Udah, bapak! Bapak nggak usah khawatir," potong Icil. "Saya duluan, Pak. Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam."

*****
Setelah menutup kembali gerbang rumahnya, Icil segera berjalan menuju teras. Ia menemukan Papanya yang sedang sibuk dengan burung kesayangannya. Yah, hobi aneh Danar, Papa Icil. Sejak beberapa minggu lalu, mengoleksi burung-burung dengan harga jutaan.

Icil mendekati Papanya, menyalami.

"Gimana?" tanya Danar.

"Apanya?" sahut Icil bingung.

"Sekolahnya."

"Ya gitu." Jawab Icil sekenanya.

Danar mengangguk-anggukkan kepala tak kaget dengan sikap cuek Icil.

Icil berniat melanjutkan langkahnya. Namun, lengannya dicegah oleh Danar.

"Apa lagi, Pa?" tanya Icil berusaha tetap sabar.

Danar tiba-tiba tersenyum duduk kembali. Icil pun menurut saja.

"Tadi siang Papa ketemu sama salah satu klien di kantor."

"Terus?" tanya Icil tidak tertarik.

"Terus klien Papa cerita dia punya putra yang jago banget di bidang sains. Lebih-lebih lagi kalau di pelajaran fisika."

Icil menoleh ke Papanya, kedua matanya langsung terbuka sempurna. Otaknya berubah menjadi kembali bersemangat. Icil menegakkan tubuhnya. Bidang tersebut adalah kegemaran Icil sejak dirinya duduk di kelas VII.

"Terus, Pa?" tanyanya mulai tertarik.

"Papa cerita bahwa kamu juga sangat suka di bidang itu, lalu klien Papa bilang dia akan ngenalin kamu dengan anaknya. Jadi, kamu bisa belajar bareng sama dia."

Icil mengangguk lebih semangat. "Makasih banyak, Pa. Icil tunggu kabar baiknya."

"Iya. Nanti kalau Papa udah dapat nomor anak klien Papa itu, segera Papa kabari kamu. "

"Siap!"

"Masuk sana, mandi."

Icil menganggukkan kepalanya, segera masuk ke dalam.

"Icil, bersihin hati juga! Biar nggak individualis mulu!" teriak Danar menggoda putrinya lagi.

"Bawel!" balas Icil tak kalah kencang dari ruang tamu.

****

Icil melempar tasnya ke sembarang arah, membaringkan tubuhnya di atas kasur yang terasa sangat empuk. Icil memandangi kamar.

Drtt.... Drttt....

Ponsel Icil berdering nyaring, Icil mengeluarkan dari saku, menatap layar ponsel. Ada nomor tak dikenal menghubunginya. Icil berpikir keras, Siapa pemilik nomor ini? Nyatanya, yang mengetahui nomor Icil hanya segelintir orang. Bahkan, jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan ditambah jari kaki.

Icil tidak suka memberikan nomornya kepada orang lain, kecuali untuk hal penting. Tanpa belas kasih, Icil me-reject panggilan itu.

Drtt....Drttt....

Sekali lagi ponselnya berdering, sepertinya orang yang menghubunginya ini begitu tak sabar. Tak mau berpikir panjang, Icil memilih menerima panggilan tersebut, Siapa tahu saja memang penting.

"Icil, ini Bumi. Kenapa kamu nggak mau diantar pulang sama sopir yang aku kirim buat kamu?"

Icil terdiam sebentar.

"Lo dapat nomor gue darimana?" tanya Icil dingin.

"Itu nggak penting, yang penting sekarang kamu jawab dulu! Kenapa kamu nolak ajakan dari sopirku?"

"Kan, gue udah pernah bilang kalau lo ngirim sopir buat gue, langsung gue pecat, tuh, sopir. Apa lo udah lupa?"

"Iya... Maksudku kalau aku udah ngirim sopir. Setidaknya, cobalah menghargai seseorang dulu. Jangan kamu main tolak-tolak aja. Kan, kasihan tuh sama bapak yang ku suruh tadi."

"Udah tahu kasihan, tapi masih lo suru-suruh dia jemput gue. Aneh. Udah-udah males ngomong sama orang kayak lo. Bye."

"Icil, tunggu!"

"Apa lagi?"

"Kamu simpan, ya, nomor ku ini. Makasih Icil."

Sambungan terputus, Icil menatap layar ponselnya dengan tatapan cukup tajam. Ia meremas ponselnya kuat.

Icil hanya bisa menghela napas berat. Cobaan apa lagi ini Tuhan. Ketenangan hidupnya mungkin sebentar lagi akan punah.

"Aarghhssss!!" teriak Icil frustasi.

New studentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang