Maut yang ditakdirkan.

54 5 0
                                    

Akhir-akhir ini, Raphael seringkali gelisah. Entah karena tugasnya ataupun dirinya. Ada sesuatu yang mengganjal di dalam pikirannya. Dia tidak tahu pasti.

Pandangannya menerawang jauh ke bawah--bumi. Salah satu tugasnya adalah mencatat roh yang sudah diharuskan untuk pergi dari duniawi. Dan sekarang, dia harus mencatat roh yang harus pergi.

Raphael merendahkan dirinya hingga menyentuh tanah. Di hadapannya, pemukiman tampak sepi karena hari sudah larut. Hanya satu rumah yang masih ramai oleh beberapa manusia. Langkahnya lalu mendekat ke arah rumah tersebut, sepuluh langkah menuju ke rumah tersebut.

Langkah Raphael terhenti ketika melihat Michael ada di depan rumah tersebut. Keningnya mengerut beberapa saat, lalu hilang. Dia mendekati Michael yang tampak tersenyum hangat sembari menatap ke dalam rumah tersebut.

"Siapa yang akan kau catat, Raphael?" tanya Michael sambil tersenyum ramah, meskipun Raphael membalasnya dengan tatapan datar nan dingin.

"Menurutmu?" balas Raphael dengan tanya--tampak tidak tertarik dengan pertanyaan dari Michael.

Masih dengan senyum hangat yang menghiasi wajah tampan Michael, dia menjawab, "Ibunya, ya? Aku merasa kasihan jika kau mencatatnya, Raphael. Apa kau akan tega?"

Raphael memandang rumah di hadapannya dengan datar. Dia mengabaikan pertanyaan dari Michael. Namun, ketika dia melangkah masuk ke dalam pekarangan rumah tersebut dan terdengar suara anak kecil menangis, dia tertegun. Tidak seharusnya dia ragu. "Aku harus mencatat anaknya," lirihnya tanpa sadar dan menjawab pertanyaan dari Michael.

Michael menoleh ke arah Raphael dengan tatapan bingung. Tidak biasanya Raphael ragu. Dia bertanya pada Raphael dengan hati-hati, "Apa kau ragu, Raphael?"

Raphael masih terdiam di tempat. Dia tidak tahu harus bagaimana. Entah kenapa, dia merasa jika dia tidak bisa mencatat anak kecil tersebut. Sebelum pikiran-pikiran tersebut menghasut dirinya lebih dalam, Raphael melangkah masuk ke dalam rumah tersebut, hendak mencatat roh anak kecil. Waktunya tidak banyak, hanya sampai matahari terbit.

"Kalau kau tidak bisa, jangan dipaksakan, Raphael," ujar Michael sedikit berteriak agar Raphael mendengarkannya. Percuma.

Raphael masuk ke dalam salah satu kamar. Sebuah kamar di mana ada roh baru lahir yang akan dicatatnya malam ini. Ketika dia melihat wajah sang bayi, dia kembali terdiam. Tangannya sudah diselimuti oleh cahaya putih yang lembut, bersiap untuk mencatat roh bayi tersebut.

Namun, Raphael kembali urungkan niatnya. Sang bayi menoleh ke arahnya dengan manis, seolah-olah sudah menunggu kedatangan Raphael. Mau tidak mau, Raphael tersenyum tipis kepada bayi tersebut.

"Anak kita perempuan," ujar sang ibu sembari menggendong bayinya dengan lembut. "Akan kaunamai siapa anak kita?"

Seorang pria yang berada di dekat keduanya merangkul istri serta anaknya yang ada di dalam dekapan sang ibu. "Zhea, Zhea Lenore," jawabnya sembari mencium putrinya dengan lembut.

"Sang Penangkal Maut?" tanya sang wanita sembari mengerutkan keningnya. Dia berpikir, nama itu terlalu menentang takdir--seluruh makhluk hidup akan mati di tangan sang Maut.

"Bukan," tolak si pria. "Sang Penakluk Maut, itu artinya."

Sang ibu bayi hanya tersenyum mengiyakan penjelasan suaminya. Dia kembali memperhatikan bayinya yang baru lahir. Bayi yang melengkapi seluruh keluarganya. "Aku suka nama itu."

Raphael masih berdiam di tempat sembari menatap bayi bernama Zhea Lenore itu dengan sendu. Bayi perempuan itu membuatnya meredupkan bahkan menghilangkan cahaya yang berpendar lembut di tangannya. Dia masih di sana, berdiam sambil menatap sang bayi dengan senyum tipis.

a little tale.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang