Maut terus.

14 4 0
                                    

Raphael menghela napasnya dengan perlahan. Dia menatap ke sekelilingnya dengan tatapan meneliti. Masih banyak roh yang belum tercatat. Kalau dia mau cepat selesai, dia perlu akselerasi.

Atensi Raphael teralihkan oleh Maut lain yang datang. Diam-diam, dia bersyukur karena Maut lain datang dan mungkin akan meringankan bebannya yang ada di sini.

"Kupikir kau tidak ada di sini," ujar Maut lain sembari menatap ke sekelilingnya; masih banyak roh yang belum dicatat oleh Raphael.

"Mau membantu?" tanya Raphael mengikuti arah pandang Maut lain.

Maut itu menyeringai dan menjawab, "Tentu."

Selanjutnya, hanya ada percik cahaya yang melayang-layang di seluruh lapangan. Percik cahaya itu berpindah dari satu mayat ke mayat lainnya dengan cepat.

|×××|

Zhea menatap langit malam dengan bosan. Gedung berlantai puluhan yang dipijakinya sama sekali tidak mengasyikan. Dia tidak menyangka, tiga puluh tahun sudah waktu berlalu. Di saat Raphael tidak di sampingnya seperti ini, biasanya ada seseorang yang menemaninya. Contohnya, Michael.

Terakhir kali bertemu Michael ialah dua belas tahun enam bulan yang lalu. Setelahnya, Zhea tidak melihat pria pemurah senyum itu lagi. Walaupun Raphael pergi dari sisinya, atau ketika ada di sisinya.

Yang paling sering menemui Raphael ialah Gabriel. Bukan berarti Zhea ingin ditemani oleh Gabriel, tetapi dia tidak tahan jika harus bertahan hidup di negeri orang tanpa tahu apapun.

Seperti lima tahun yang lalu. Ketika Michael tidak datang dan Zhea hanya sendirian. Dia bertahan hidup di sumber mata air yang cukup strategis. Menghindari predator yang tinggal di hutan dan beberapa makhluk lain; iblis, yang paling sering mengganggunya.

Zhea pernah menyalahkan Raphael atas hal tersebut. Kendatipun begitu, Raphael tidak membalas keluh kesah Zhea dengan bentakan atau kekerasan. Malah pria itu memberikan seekor kucing besar berwarna jingga kepada Zhea. Kata Raphael, agar Zhea tidak kesepian atau merasa terancam dengan iblis-iblis yang mengganggunya.

Kini, Zhea kembali pada kesendirian yang ditemani oleh seekor kucing besar pemberian Raphael. Di bawah gedung yang dipijakinya, jalanan penuh dengan kotak-kotak besi yang bergerak dan mengangkut manusia dari satu tempat ke tempat lainnya--mobil.

Zhea menghela napasnya. Dia menoleh ke arah kucingnya sembari tangannya menyuruh kucing itu mendekat ke arahnya. Tangannya mengelus bulu-bulu kucing tersebut dengan gemas. Dia masih menunggu kehadiran Raphael, yang entah kapan akan datang.

Selama beberapa saat, Zhea memperhatikan bebintangan yang bertebaran di langit malam. Tidak seterang dulu memang, tetapi masih bisa dilihat dari jaraknya. Raphael sering kali memandangi bebintangan tersebut. Entah untuk mencari arah ataupun hanya sekadar menghilangkan penat.

Kucing besar dalam dekapan Zhea mengaum ke arah tangga. Zhea sontak menoleh ke arah kucing tersebut dengan gerakan defensif. Gadis itu lalu beranjak dari duduknya dan menatap tajam sesosok iblis yang menghampirinya dengan senyum manis. "Siapa?" tanyanya tidak mengendurkan pertahanannya.

Iblis itu masih tersenyum sangat manis. "Anda selalu muda sejak tiga puluh tahun yang lalu, Nona," ujarnya sembari terus melangkah mendekati Zhea. "Apakah pengaruh Maut?"

Kucing besar di hadapan Zhea mengaum dengan keras. Tidak berhenti dalam waktu dekat. Dan terus semakin keras setiap kali mengaum, seolah-olah meminta pertolongan pada siapapun yang ada di sekitarnya.

Iblis itu menoleh ke arah kucing besar berwarna jingga tersebut dengan senyumnya melewati garis batas bibir. "Kucing yang cantik, tetapi sangat berisik," komentarnya seraya membuat kucing besar tersebut tidak sadarkan diri.

a little tale.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang