tingkahnya aneh, Maut sedang tidak ada, dan petir.

18 3 0
                                    

Zhea menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir mimpi yang menjadi teman tidurnya kali ini. Netranya beralih pada sinar matahari yang mengintip di balik gorden jendela kamarnya.

Dengan perlahan, Zhea beranjak dari ranjangnya guna membuka gorden jendela kamarnya lebih besar lagi, mempersilakan sinar matahari bertamu di kamarnya. Setelah itu, dia berjalan ke arah balkon kamarnya. Selama beberapa saat, dia menikmati pagi hari di kota.

Sementara itu, Lucifer menunggu Zhea keluar dari kamarnya. Dia berdiri di depan pintu kamar Zhea dengan sabar walaupun sesekali dia berdecak sebal dan mengetukkan kakinya beberapa kali. Sebagai iblis, dia tidak tahan jika menunggu lebih lama lagi. Namun, jika dia masuk ke dalam kamar Zhea, bisa-bisa dia menjadi sasaran empuk Raphael.

"Mau sampai kapan kau di sana?" tanya Raphael sembari membaca benda pipih berbahan besi--ponsel keluaran terbaru yang disarankan Lucifer untuk memantau keadaan bumi. Sebenarnya, buat apa dia punya ponsel selagi dia punya koneksi? Tetapi, dia cukup kagum dengan saran dari Lucifer. Kerja ponsel hampir sama dengan kerja koneksi yang dimilikinya.

Lucifer melirik Raphael yang masih berkutat dengan ponselnya. "Sampai kucing bertelur," jawabnya dengan asal. Atensinya kembali berpusat pada pintu kamar Zhea.

"Setiap makhluk, termasuk hewan, sudah pasti ada cara tersendiri untuk berkembang biak, Lucifer."

"Iya, iya. Aku tahu, Malaikat Cerewet," tukas Lucifer dengan kesal. Dia hendak mengetuk pintu kamar Zhea, namun dia urungkan kembali. Netranya beralih pada alroji yang tersimpan di saku jasnya. "Apa manusia biasa bermalasan di pagi hari?" gumamnya.

"Kau iblis. Seharusnya kau menghasut manusia untuk bermalas-malasan," komentar Raphael sembari menyeruput kopinya. Dia tidak memedulikan rasa dari suatu makanan. Kebiasaan manusia membuatnya perlahan mengikuti mereka.

Lucifer sempat berpikir sejenak mendengarkan penuturan dari Raphael. Benar juga. Dia iblis. Sudah seharusnya dia menghasut manusia dan menunjukkan jalan ke pusaran dosa. Dia menggeleng pelan. Menghasut memang tujuan hidupnya, namun menghasut manusia yang berada di samping malaikat adalah hal menyusahkan. Dia sudah mencoba beberapa kali menghasut Zhea, hasilnya tetap saja hanya kenihilan belaka. "Pekerjaan barumu adalah menghasut iblis, Raphael."

"Baguslah kalau begitu," ujar Raphael dengan bangga. "Menyebarkan kebaikan adalah perbuatan yang mulia."

Lucifer menoleh ke arah Raphael yang masih saja berfokus pada ponselnya.

Zhea menatap Lucifer yang menghalangi jalannya. Tangannya bersedekap dengan muka sebal, kentara sekali jika dia sebal dengan perbuatan Lucifer. Padahal, dia sudah memperingatkan Lucifer. "Mau berapa lama lagi kau berdiri di situ, Lucifer?" tanyanya dengan geram.

Lucifer menoleh ke arah Zhea yang sudah ada di hadapannya. Dia menampilkan senyum manis, seolah-olah tidak berbuat kesalahan apapun. "Sarapannya sudah siap, Nona," katanya dengan ramah.

"Kau tidak membuang-buang gandum lagi, 'kan?" tanya Zhea dengan raut penuh selidik. Pasalnya, Lucifer suka sekali membuang-buang makanan yang ada.

"Tidak, Nona," jawab Lucifer dengan ramah.

"Kurasa tidak, Lucifer," sahut Raphael seraya beralih dari ponselnya ke arah Zhea dan Lucifer. "Kau jelas-jelas membuang-buang gandum lebih banyak dari kemarin."

Zhea murka. Meski sudah sering melihat Lucifer membuang-buang gandum, dia tidak tahan lagi. "Dasar iblis! Jangan buang-buang makananku!" bentaknya sembari berjalan menuju dapur dan memeriksa persediaan gandum.

Lucifer menatap Raphael dengan tajam. Kemurkaan Zhea adalah keheningan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Meski tidak takut, tetapi Zhea adalah manusia di samping malaikat. "Anda salah pengertian, Nona," mulainya.

a little tale.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang