takdir yang ditentukan.

41 5 0
                                    

Raphael telah menghadap Sang Pencipta untuk membenarkan keberadaan Zhea Lenore sebagai manusia yang membuatnya ragu. Dan dia telah mendapatkan jawabannya.

Kini, Raphael sedang berada di sebuah padang bunga yang cukup luas. Di hadapannya, Zhea berkeliling ke seluruh penjuru padang bunga dengan senyum yang terus terpatri di wajah jelitanya. Dia menoleh ke arah lain, selain ke arah Zhea. Netranya terpejam sesaat.

"Akan ke mana lagi hari ini?" tanya Zhea dengan tiba-tiba. Anak perempuan yang sudah bersama Raphael selama sepuluh tahun itu beranjak menjadi gadis remaja yang senang sekali merepotkan Raphael.

Raphael menoleh ke arah Zhea dengan datar. Netranya memandang angkasa lepas, memperhatikan bebintangan yang tidak terlihat oleh mata manusia. "Utara," jawabnya dengan singkat.

Zhea menelengkan kepalanya ke kanan, bingung. "Ada apa di utara?" tanyanya dengan penasaran.

"Kenapa tidak lihat langsung saja?" balas Raphael dengan bertanya.

Zhea merengut sebal. Jawaban dari Raphael selalu tidak memberikan kepastian. Sama seperti dulu ketika dia bertemu dengan Raphael.

"Kita akan jalan ketika aku sudah selesai," perintah Raphael sembari menghampiri pohon yang cukup rindang.

Refleks Zhea ketika Raphael menghampiri pohon yang rindang adalah menatap matahari yang bersinar dengan terik, seolah hendak membakar bumi menggunakan sinarnya. "Pantas saja wajahmu merah, kau tidak suka sinar matahari ya?" terkanya sembari mendekat ke arah Raphael yang berusaha menetralkan hawa panas tubuhnya.

"Tidak."

Sembari duduk di sebelah Raphael, Zhea memainkan rerumputan yang ada di sekitarnya. "Kenapa tidak ke arah lainnya? Seperti timur atau barat, mungkin lebih mengasyikan," celetuknya sembari melirik ke arah Raphael dengan hati-hati.

Selama sepuluh tahun, Zhea sudah cukup memgenal Raphael yang memiliki sifat tidak ingin dibantah, diganggu, dan cukup turuti apa yang diperintahkannya. Memang perintah dari Raphael tidak ada yang memberatkan dirinya, malah membuat dirinya semakin ringan. Mungkin karena Zhea seorang perempuan.

"Belum, masih belum," balas Raphael sembari memetik mangga dari pohon rindang tersebut. Dia mengeluarkan pisau kecilnya dan memotong mangga tersebut menjadi tiga bagian; dua daging buah dan sebuah biji. Raphael membuang biji buah mangga agak jauh dari pohon mangga yang disinggahinya. Kemudian, dia memberikan seluruh daging buah mangganya kepada Zhea.

Mata Zhea berbinar ketika Raphael menyodorkan buah mangga yang sudah bersih dari kulit dan bijinya. Dia menerimanya dan memakannya dengan lahap. Kebetulan, dia sedang lapar. "Kau tidak mau?" tawar Zhea menyodorkan satu bagian daging buah yang belum tergigit.

"Untukmu saja." Netra Raphael lalu menerawang ke angkasa. Pikirannya terbebani oleh banyak hal sama seperti manusia.

Semakin lama, semakin mirip Raphael dengan manusia.

"Kau tidak lapar?"

Lamunan Raphael terbuyarkan oleh pertanyaan dari Zhea. Dia menoleh ke arah gadis tersebut. "Tidak," jawabnya singkat. Kembali, dia mendongak ke angkasa sembari memejamkan netranya.

Zhea mengikuti arah pandang Raphael. Dia tidak pernah mengerti kenapa akhir-akhir ini Raphael terlihat lelah dan selalu memandang ke arah langit meskipun siang hari. Dia mengedikkan bahunya kemudian. Tidak peduli dengan segala pikiran Raphael, dia melanjutkan makannya yang tertunda.

Sembari memejamkan netranya, Raphael tidak pernah mengendurkan pertahanan pendengarannya. Dia selalu waspada dengan makhluk-makhluk yang ada di sekitarnya. Terutama saat dia bersama Zhea. Banyak sekali yang mengincar Zhea meskipun ada Maut di sebelah gadis itu. Dia berdiri tiba-tiba. "Kita pergi sekarang," perintahnya.

a little tale.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang