30. Penyesalan Jean

4.6K 335 5
                                    

Farel melempar ransel sekolahnya ke sembarang arah, lalu membanting tubuhnya ke atas sofa. Hari ini adalah hari yang cukup melelahkan, berlari seratus keliling sebagai hukuman yang diberikan kepada Farel.

Tadi pagi ia terlambat sepuluh menit karena setelah pulang dari Jakarta semalam, Farel langsung tidur dan lupa bahwa hari esok ia masih harus datang ke sekolah.

"Mau bunda panggil tukang pijet?" tanya Ibu Tyana, wanita paruh baya itu mewalakkan segelas es jeruk diatas meja.

Laki-laki itu mengangguk tanpa membuka kedua kelopak matanya, rasanya sangat penat, tambahan Farel yang sudah lama tidak berolahraga akibat kakinya yang lumpuh sementara.

"Mungkin lima belas menit lagi bi Rani datang, bunda mau beresin dapur dulu. Kamu tunggu disini, sampai bi Rani datang." ujar Ibu Tyana. Lepas menjelaskan, ia mengambil langkah menuju dapur.

Semakin jauh langkah membawa Ibu Tyana, perlahan Farel membuka kelopak matanya. Ia mengambil gelas berisi air jeruk dingin dan meneguknya dengan sekali teguk. Cukup-cukup saja untuk menghilangkan rasa dahaga yang menyerang kerongkongannya.

Farel kembali menyimpan gelas beling tersebut ke atas meja, menghasilkan bunyi nyaring antara kaca dengan kaca. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya lagi pada sandaran sofa.

Lima belas menit berlalu, sesuai dengan ucapan bundanya, tukang pijat andalan Ibu Tyana datang. Tidak banyak basa basi Farel segera merentangkan kakinya yang terasa pegal sekali, ia menitah wanita renta itu duduk di kursi yang sudah disediakan.

"Bagian mana den yang kerasa pegell banget?" tanya Bi Rani bersamaan keluarnya aroma khas minyak pijat.

Farel menunjuk bagian paha depan dekat lutut dan betis belakang, ia merasa pegal dikedua bagian itu. Kedua kakinya pun sama.

"Siap!"

Bi Rani mulai mengganyah bagian paha depan terlebih dahulu, yang dipijat semakin merasa kesakitan kala wanita itu menekan dan menarik bagian yang nyeri.

"Sakit, sakit, bi! Aduh!" pekik Farel kesakitan, ia mencoba menarik kakinya dari cengkraman bi Rani namun tidak berhasil.

"Diem dulu, kalo pake cara ini bakal lebih cepet sembuh. Sekarang yang betis." tutur bi Rani. Tangannya mulai merambah ke betis belakang Farel.

Farel hanya berharap semoga gerakan jari bi Rani tidak menyakiti kakinya.

"AHAH SAKIT, BI!"

---

Kaki Jean membawa lelaki itu menuju kamar yang ia sediakan khusus untuk Arka, hasil cintanya bersama Lia. Lama sudah Jean tidak pernah membubuhkan perhatian pada anaknya.

Terus terang, Jean juga merasa kehilangan setelah melayangkan nyawa mantan istrinya. Lelaki itu hanya menaruh dendam. Ia rasa, sakit hatinya tidak sebanding dengan apa yang ia perbuat kepada Lia. Namun, hati dan pikirannya terbuai-buai dengan rasa berat.

Jean memandang damai durja milik sang putra, mimik muka Arka sangat menjiplak dengan wajahnya. Sangat disayangkan, kala Arka membuka kelopak mata, warna madu dari kornea matanya bukan tiruan warna mata Jean.

Dengan perlahan, lelaki dengan usia yang merambah dua puluh tujuh tahun itu mengangkat tubuh Arka. Menggendongnya dengan penuh kasih sayang. Matanya memanas kala melihat bayi dua bulan itu tertawa dalam tidurnya, bibir tipisnya menggumamkan kata yang tidak ia ketahui.

Rasa penyesalan semakin menggerogoti hati dan pikiran Jean, layaknya gula yang dikerumuni oleh semut dan menyisakan sesal yang mendalam. Jean... Tidak bisa apa-apa tanpa wanita itu.

Jean sempat kusut mendengar Lia yang pergi secara tiba-tiba. Satu hal yang membuat Jean tertegun setelah membaca hasil penyelidikan bawahannya, Lia meninggalkan Jean dalam keadaan mengandung.

Terpikir olehnya untuk memaafkan Lia, namun dendam yang sudah tertanam seperti chip tidak bisa ia tahan lagi. Perasaannya sudah dikeraskan oleh dendam. Pada akhirnya, penyesalan selalu tertinggal di penghujung cerita.

Jean mendekat pada nakas kecil yang disimpan di ujung ruangan, dengan telaten ia berjongkok tanpa membuat Arka terbangun dari lelapnya. Ia memandang sebuah figura foto yang terdapat dirinya dan sang istrinya Lia juga seorang lelaki yang nampak lebih tua belasan tahun.

"Kak, m-maaf... A-aku telah membunuh wanita pilihan kakak. Maaf, aku menye— " ucapan Jean terhenti, ralat, sengaja dihentikan. Ia tidak bisa melanjutkan kata-katanya jika air mata sudah berjatuhan seperti rintikkan kecil.

Lelaki yang ia sebut-sebut dengan sebutan kakak itu ialah Halim, almarhum ayah dari Farel yang sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sosok lelaki yang begitu tegas nan bijaksana.

Halim mendidik dirinya begitu baik hingga ia bisa sesukses saat ini, meski mereka bukan saudara kandung tapi tidak melepas kemungkinan bahwa Halim juga merasa senang untuk turut mendidik Jean selama masa hidupnya.

Walau ujung-ujungnya Jean mengikuti egonya sendiri, lelaki itu tak bisa melawan. Jean sadar bahwa dirinya adalah seorang yang temperamental dan egois, tapi Halim bisa membantu Jean sedikit demi sedikit agar kebiasaan buruk itu hilang.

Namun ketika mendengar kabar bahwa Halim yang sudah ia anggap kakak sendiri itu berpulang, Jean kembali pada sikapnya yang awal. Sama saja seperti Farel, mereka berdua dididik oleh Halim dengan cara yang sama.

---

Pagi hari menjelang siang ini terasa begitu terik, matahari juga sudah mulai naik ke tengah-tengah langit.

Jean dengan pakaian serba hitamnya turun dari mobil, diiringi payung yang dipegang oleh pelayannya. Tangannya mencoba menutupi tubuh mungil Arka agar tidak kepanasan.

Kakinya berjalan menyusuri jalanan yang tak besar di tengah tempat pemakaman yang begitu luasnya, dan nampak indah karena setiap makamnya begitu rapi.

Sampai dimana ia di depan blok makam milik almarhumah istrinya, Lia, yang sengaja ia buat begitu mewah khusus untuk peristirahatan terakhir wanita itu. Dan juga sebagai tanda permintaan maaf atas sikapnya selama ini.

Jean memandang nisan berwarna hitam yang bertuliskan nama 'Lia Mahesa' itu dengan tatapan sendu dan penuh penyesalan.

Ia tahu sekuat apapun seorang wanita, pasti akan merasa lelah juga. Jean sadar bahwa dirinyalah yang membunuh Lia, membunuh mental dan batin wanita itu hingga Lia nekat untuk bunuh diri.

Jean sendiri masih tak percaya meski kematian Lia sudah berlalu hampir 40 hari lamanya, bayang-bayang wajah Lia yang selalu tersenyum meski dirinya selalu menyakiti wanita itu secara fisik dan batin.

Lia yang tak pernah mengeluh dalam melayaninya, Lia yang tak pernah marah jika Jean selalu menambah tugas rumah tangannya. Dan terakhir, Lia yang selalu menangis setelah semua kegiatannya berakhir.

Meski begitu, Jean sangat menyayangi dan mencintai Lia. Ia tidak tahu harus bagaimana cara memberi tahunya, Jean tidak bisa bersikap lembut pada seseorang.

Mungkin setelah ini ia akan belajar menghargai dan bersikap layaknya seorang ayah pada sosok yang Lia tinggalkan terakhir kali.

Matanya menangis dan tertutup, ia melafalkan doa untuk Lia. Sebagai penuh, Jean mengecup penuh sayang nisan milik perempuan itu.

---

moshi-moshi

HEH MAKASIH YA UDAH SPAM VOTE, FOLLOW DAN MASUKKIN KE READING LIST HAHAHA LOFFFYUUU

cerita ini cringe tauu, tapi masih pengen dilanjutinn. xixi

selamat tahun baru-!!

Day To Day  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang