Epilog

10.9K 473 22
                                    

kalo ini tidak memuaskan, gomen 🙏


---

Plak

Seorang lelaki menggeram, kedua tangannya terkepal kuat hingga kuku-kukunya memutih. Mulutnya tak bersuara ketika terkena pukulan cukup keras hingga pintu kerjanya dibanting.

"Bian!" Teriak Farel, suaranya menggema dalam ruangan.

Diluar ruangan, bocah yang baru berumur delapan tahun terkikik dengan wajah jahil yang menyeramkan. Beberapa detik ia terus tertawa menggunakan nada yang tertahan, dirasa sudah cukup, ia berniat kabur.

Namun niatannya yang sudah ia rencanakan tidak berhasil ketika kerah kaosnya ditarik melayang di udara. Wajahnya berubah panik.

"Pah, lepasin! Lepasin! Lepasin!" Abian Cavendish, bocah itu terus merengek meminta Farel melepaskan cengkramannya pada kerah bajunya. Ia menendang-nendang udara dengan sekuat tenaga.

"Lepasin! Papah jelek, wle! Jelek banget kayak monyet!" Pekiknya sembari menjulurkan lidahnya, ia terus memberontak.

"Papah lempar dari sini ke bawah, kira-kira ni bocil mati gak ya?" Gumam Farel dengan suara yang sengaja dikeraskan.

Mendengar itu, Bian menjadi panik. Ia semakin berontak dan berteriak sekencang-kencangnya. Mungkin apa yang Farel ucapkan terdengar hanya seperti ancaman, namun pria itu tidak main-main. Bahkan pernah Bian didorong dari dalam dan keluar dari mobil, untungnya kendaraan besi itu melaju sangat pelan. Awalnya hanya terdengar lelucon, namun Farel benar-benar melakukannya. Alasannya karena Bian tidak mau masuk sekolah alias bolos, padahal itu hari pertamanya di sekolah dasar.

Bian sudah terbiasa dengan ucapan-ucapan papahnya, ia sudah tidak takut lagi. Namun kalimat yang dilontarkan Farel terdengar lebih menakutkan, Bian jadi terpikir bagaimana masa depannya jika nyawanya sudah direnggut terlebih dahulu akibat ulah papahnya.

"Papah, lepasin! Huwa, bunda! Bunda!" Teriak Bian lagi, namun tak kunjung mendapat respon dari papah atau bundanya.

Farel membuang nafas lalu menurunkan tubuh kecil Bian, matanya melotot menatap bocah nakal itu. "Nakal!" Tangan Farel terangkat untuk menyentil salah satu daun telinga Bian.

Bian memonyongkan bibirnya kedepan, raut wajahnya terlihat kesal. Kedua lengannya terlipat didada tanpa menatap Farel.

"Papah yang nakal!"

"Gak sopan kamu."

Tak ada respon balik dari Bian, membuat Farel terkekeh pelan lalu mengangkat tubuh putra pertamanya tinggi-tinggi. Mendapat perlakuan tersebut membuat Bian terkejut dengan suara tawa yang menggelegar.

"Hahaha!"

"Papah, kata nenek turun."

Keduanya menoleh, menatap gadis kecil dengan dress merah muda motif kupu-kupu. Gadis itu berdiri di anak tangga terakhir menuju lantai dua, wajahnya yang lucu terlihat hampir menangis.

"Vivi kenapa mukanya gitu?" Tanya Farel dengan Bian tetap digendongnya, langkahnya membawanya mendekat kearah Vivi.

"Pengen digendong!" Vivi memekik diiringi tangisan penuh rasa iri. "B-bian kan udah gede, gak boleh digendong lagi sama papah." Ucapnya sesenggukan, ia memeluk kaki Farel.

"Aduh, aduh. Sini gendong, jangan nangis lagi, ya." Farel menurunkan Bian, kemudian menangkap tubuh Vivi.

"Ih adik itu harus ngalah sama kakaknya!" Teriak Bian tak terima.

"Bian.. sama bunda aja sini."

Qira tersenyum, ia menggendong tubuh Bian lembut dan membawanya turun.

"Farel, dibawah ada bunda."

---

Hampir menginjak sepuluh tahun usia pernikahan Farel dan Aqira, hidup mereka selama itu terasa amat bahagia. Ditambah kehamilan Qira diusia pernikahan mereka yang ke satu tahun, lalu lahirlah bayi yang diberi nama Abian Cavendish. Bayi tampan yang lebih cocok menjadi pangeran seperti dikerjakan dongeng.

Arti dari nama 'Abian' adalah kegembiraan, dan Cavendish melambangkan seseorang yang terampil, kompeten dan berhati lembut.

Namun arti dari nama terakhir itu tidak sesuai dengan sifat dan karakter Abian, anak itu terlalu bersemangat sampai kadang bersikap kasar.

Farel dan Qira tidak mengeluh, karena sosok Abian lah yang selama ini mereka harapkan. Dan kelahiran Nefertari Olivia menambah kebahagiaan mereka.

Benar kata orang, menjalani kehidupan rumah tangga itu berat. Akan tetapi mereka menjalaninya dengan kesabaran level maksimal. Sesuatu yang telah diputuskan, maka mereka harus menerima konsekuensinya apapun yang terjadi.

Arfarel yang sekarang tidak banyak berubah, hanya saja ia menjadi lebih tegas dan meninggalkan semua sifatnya ketika masa remaja.

Kata-kata kasar yang dulu sering ia sebut, kini telah ia buang jauh-jauh. Farel bersungguh-sungguh untuk membuat kedua anaknya tidak menjadi Farel yang dulu ketika besar nanti.

Sikapnya yang kasar sedikit menurun pada Abian, namun itu tidak menjadi masalah baginya.

Perempuan yang dulu adalah perawat Farel kini menyandang status sebagai istri dari mantan majikannya. Aqira tetaplah Aqira yang dulu, sosoknya yang lembut dan penuh kesabaran. Tidak ada perubahan sama sekali, tapi Farel sangat mencintainya.

Kehidupan mereka terasa lengkap dan sempurna, meski mereka tidak tahu apa yang akan dihadapi dihari esok atau esoknya lagi.

"Waktu dan semesta adalah saksi bisu kisah kami."

selesai

Day To Day  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang