31. Tawaran dari Farel

4.5K 333 12
                                    

"Qir, lo mau ga bantuin om Jean rawat Arka?" tanya Farel.

Qira menolehkan kepalanya ke arah Farel berada, dahinya mengernyit. "Memangnya boleh?"

Farel mengangguk seraya mengunyah masakan Qira, "Ya itung-itung nambahin uang kalo lo ada niatan kuliah, intinya uangnya buat lo hidup." jelas Farel dengan suara yang tertahan akibat makanan yang ada didalam mulutnya, lelaki itu segera menelannya.

"Pelan-pelan, tuan." gadis itu mendekat, menuangkan air mineral kedalam gelas yang tersedia selalu di meja makan dan menyodorkannya pada Farel.

"Ga usah." tolak Farel halus, "Oh, ya. Kalo misalnya lo terima, lo bisa keluar dari sini. Lanjutin kerja disana, lagian bunda juga sering ada dirumah." lanjutnya, ia menopang dagu.

Dari lubuk hati yang paling dalam, ia ingin sekali merawat Arka. Perempuan itu ingin memberi kasih sayang dan perawatan yang terbaik untuk bayi yang menggemaskan itu, hanya saja ada sesuatu yang mengganjal. Membuat Qira ragu-ragu untuk menerima tawaran dari Jean.

Qira melamun, ada sesuatu yang membuat timbangan hatinya berat sebelah. Bukan karena jumlah upah ataupun sikap majikan, ia tidak bisa menjelaskannya, tidak ada kata-kata indah untuk menyampaikan apa yang Qira inginkan.

Qira rasa ia bisa menyimpulkan apa maksud keinginan hatinya, walau aneh dan menyebalkan. Gadis itu menyukai Farel.

"Kok melamun?" Farel mengibaskan telapak tangan kanannya tepat didepan wajah Qira.

Matanya berkedip, refleks ia menggelengkan kepalanya. Qira mengambil piring kotor yang ada di atas meja makan, berniat untuk mencucinya setelah ia selesai membuat kue pesanan Ibu Tyana.

"Lo mau?" tanya Farel lagi memastikan.

Qira kembali menggeleng, ia menghentikan langkahnya. "Saya ga mau. Walau saya harus kehilangan kesempatan untuk bersama Arka, saya ga peduli."

Farel berdiri, membuat kursi makan yang ia duduki menghasilkan suara nyaring akibat gesekan dengan lantai. Ia mengejar Qira yang berjalan ke dapur.

"Masa depan lo masih panjang. Disini, gue sama bunda ga mau ngehambat cita-cita lo." jeda, "emang dengan gaji di rumah gue, cukup buat hidup lo nanti? Emang lo bakal selalu kerja disini? Dan emangnya lo mau mengabdikan diri disini?"

Qira terhenti, "Emang apa bedanya kalau saya kerja disana? Sama aja kan?"

"Salah. Disana lo bisa lebih bebas, tugas lo cuma jaga Arka. Om Jean juga udah punya pembantu rumah, beliau juga bakal biayain kuliah yang selama ini lo impikan."

"K-kalo gitu, tuan juga bisa kan? Saya ga harus kerja sama Om Jean."

"Gaji bunda emang gede, tapi setengahnya buat bangun lagi rumah sakit ayah yang dulu."

"T-tapi saya... " Qira berbalik, tangannya gemetar. Bukan menahan tangis, namun wajahnya bersemu.

"Lagian lo juga ga akan sering ketemu gue sekalipun lo milih tetep stay disini." tutur Farel seakan menyadari apa yang ingin Qira katakan.

"Ya udah, itu juga hak lo. Gue ga maksa, meski tawaran gue sangat sangat layak." Farel melanjutkan kata-katanya, ia melangkah pergi, sebelum itu lelaki itu berhenti sejenak.

"Cepet beresin semua, bentar lagi rekan kerja bunda dateng."

---

"Qira," suara ibu Tyana memanggil.

"Iya, ibu."

"Kamu tolong temani Farel di luar ya, ga ada anak rekan saya yang akrab sama dia." ucap Ibu Tyana meminta tolong, Qira menerimanya dengan senang hati.

"Baik, bu." gadis itu mengangguk.

Kakinya membawa Qira keluar rumah, matanya melirik ke kanan dan kiri mencari keberadaan Farel. Namun hanya kosong yang ia temukan, tak ada Farel disini.

Ia melangkah mendekat ke gerbang ketika mendengar suara orang berbincang, mungkin saja disana ada Farel yang sedang berbicara dengan temannya.

Qira mengintip dari balik tembok, benar itu Farel. Gadis itu memang merasa perbuatannya kali ini jahat dan keterlaluan, akan tetapi ia penasaran apa yang Farel bincangkan bersama perempuan yang tak dikenalinya itu.

"Aku dapat beasiswa di Jepang untuk lanjut kuliah, besar kemungkinan aku ga akan kuliah di Indonesia." tutur perempuan berhijab tersebut. "Kalo kamu?"

"Gue masih bingung, tapi gue juga sama kayak lo."

"Jepang juga?" Farel menggeleng. "Bukan di Indonesia."

"Di Quito."

"Ekuador?" tebaknya, Farel mengangguk.

"Wah keren, jadi ikut seneng hehe."

Qira mengernyitkan keningnya, otaknya berputar untuk mencapai apa maksud dari obrolan mereka. Kesimpulannya, lelaki yang Qira kagumi tidak akan melanjutkan pendidikannya di Indonesia setelah lulus nanti.

Hatinya terasa sesak, tapi ia bisa apa?

Perempuan itu memilih pergi.

Farel mengangkat sebelah bibirnya, menghasilkan sebuah senyuman tak berarti. Bahkan Arin- gadis yang bicara dengan Farel, pun tak paham apa maksud dari senyuman itu.

Sebetulnya Farel sudah sangat menyadari akan keberadaan Qira, ia tahu gadis itu akan menguping pembicaraannya bersama Arin. Lelaki itu sengaja memancing Qira agar mendengarkan pembicaraan, dan memilih pekerjaan yang ditawarkan oleh Jean. Farel mulai menyadari bahwa Qira tetap bertahan karena masih ada Farel, kemungkinan perempuan muda itu merasa nyaman. Begitupun sebaliknya.

"Ah, ya. Gue ga jadi kuliah di Ekuador." ujar Farel pada Arin yang sempat ia abaikan. Arin adalah teman barunya di sekolahnya yang sekarang, ia seorang perempuan yang sama kelasnya dengan Farel di gedung perempuan.

"Kenapa?"

"Gapapa, gue udah dapet kampus yang lebih bagus." balas Farel tak mau menjelaskan, "Gue duluan."

Arin mengangguk, lamat-lamat Farel menghilang dari pandangannya. Sejak Farel tersenyum, lelaki itu menjadi sedikit aneh dipandangan Arin. Ya, mungkin itu sebuah hal yang Farel rahasiakan. Ia juga tidak terlalu peduli akan hal tersebut.

---

Qira langsung menuju kamar dan membanting tubuhnya diatas ranjang, ia memeluk sebuah guling bersarung biru miliknya itu begitu erat. Air matanya menetes ketika mengingat percakapan Farel tadi dengan gadis di luar sana.

Jika Farel memang mau melanjutkan sekolahnya di luar negeri, kenapa tidak memberi tahu Qira secara langsung? Malah menawarkan untuk bekerja bersama Jean.

Setelah menangis bermenit-menit lamanya akhirnya Qira luluh juga pada rasa kantuk, matanya perlahan tertutup dan kesadarannya melayang.

Ia tak peduli lagi, lagi pula sudah tidak ada lagi yang harus ia kerjakan. Semua yang dibutuhkan oleh tamu-tamu Tyana sudah ia siapkan, jadi tugasnya siang ini sudah selesai. Selanjutnya ia akan membuat keputusan, keputusan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya yang sekarang. 

---

Day To Day  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang