1. Syok

16.5K 1.1K 45
                                    

Salah satu rumah sakit swasta di Bandung masih nampak ramai padahal waktu sudah masuk dini hari, Tyana yang baru sampai di parkiran terburu-buru berlari masuk ke gedung dan bertanya kepada resepsionis mengenai pengobatan putranya yang bernama Farel.

Tyana yang seharusnya sudah sampai 30 menit lebih awal itu merasa sangat terlambat, macet yang berada di tol Bekasi yang sudah biasa terjadi saat dini hari menjadi salah satu kendala yang menjadi batasan Tyana.

Bekerja di ibukota dan tempat tinggalnya di Bandung, sangat melelahkan setiap hari pulang pergi agar tidak terlambat masuk kantor.

Beliau sadar, Farel belum bisa mengerti keadaannya sebagai ibu dan kepala rumah tangga yang harus menghidupi putra semata wayangnya.

Dulu beberapa bulan setelah kematian suaminya, Tyana memutuskan untuk kembali bekerja di sebuah perusahaan besar bidang perindustrian. Namun sang direktur melempar tugas Tyana ke kantor pusat yang tepat berada di DKI Jakarta.

Setelah mendapat informasi tentang ruang rawat putranya, ia berlari secepat-cepatnya dengan sepatu hak tinggi yang ia gunakan walau sangat sulit.

Sampai di depan ruangan, Tyana menjadi ragu. Kabarnya Farel belum siuman, tapi bagaimana kalau sudah dan Farel sadar bahwa tidak ada bundanya di sampingnya?

Kepalanya menggeleng cepat, menyingkirkan segala pikiran buruk dan membuka pintu tersebut.

Hal pertama yang ia lihat adalah seorang perempuan yang duduk di sebelah ranjang dan Farel yang masih belum sadarkan diri dengan alat medis seperti infus dan suction machine.

Tangisnya pecah, pandangannya memburam dan turut kepalanya ikut pening. Ia menghampiri Farel dan lekas-lekas memeluk putranya.

"Ya Allah." Lirihnya.

Matanya melirik kearah gadis yang sedari tadi diam itu kemudian tatapannya menggelap, kesadarannya perlahan memudar.

---

Tyana pingsan sekitar 2 jam, dan selama itu juga gadis yang menjaga Farel tadi berada di sana ketika Tyana tak sadarkan diri. Sebelum akhirnya gadis itu memutuskan untuk pulang karena sudah terlalu larut, ia meninggalkan secarik kertas berisi kata-kata pendek yang langsung dibaca oleh Tyana ketika terbangun.

"Maaf bu, saya gak bisa lebih lama lagi di rumah sakit. Saya harus pulang, semoga putra ibu lekas sembuh ya."

Sangat disayangkan, padahal Tyana ingin mengucapkan rasa terima kasih karena sudah mau menjaga Farel selama dirinya dalam perjalanan. Tapi perempuan itu malah pulang terlebih dahulu, Tyana juga baru sempat melihat wajah itu samar-samar.

Dokter bilang, ia pingsan karena kelelahan dan syok. Dokter juga menyarankan Tyana untuk istirahat lebih lama, tapi mana mungkin dan tidak akan pernah ia lalai lagi terhadap putranya setelah kejadian ini. Ia tidak mau kehilangan orang yang berharga juga ia sayangi untuk kedua kalinya.

Sudah pukul 3 pagi dan Farel belum sadarkan diri sama sekali, Tyana jadi khawatir. Pandangannya tertuju pada wajah tampan putranya yang sangat menurun dari almarhum suaminya, sangat tampan.

Air matanya kembali menetes, ia benar-benar merasa gagal setelah ini. Putranya, Farel, mengalami kelumpuhan pada kedua syaraf kakinya dan butuh pemulihan yang cukup lama.

"Farel, maafin bunda, maafin bunda, maafin bunda." Ia bergumam sendiri dengan suara bergetar menahan tangis hingga tak sadar mimpi sudah mulai menguasainya.

---

Pagi hari menyambut, kelopak mata Farel terbuka setelah terbebas dari obat biusnya.

Langit-langit ruangan yang begitu terasa asing dan bau obat yang menyengat membuat Farel berasumsi bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit, dan benar saja.

Tapi ia sendirian disini.

Tidak ada seseorang yang harusnya datang dan ikut menemaninya apalagi saat kondisi ia sekarang.

Farel mengusap wajahnya dengan gusar dan bingung, ia memutuskan untuk pergi keluar ruangan untuk mencari tahu apa yang terjadi pada dirinya hingga bisa berakhir di rumah sakit.

Ingatan terakhirnya berhenti saat ia mabuk dan menyetir mobil terlalu cepat, lalu semuanya gelap. Apa jangan-jangan dirinya kecelakaan?

Dengan tak sadar ia mencoba turun, namun hasilnya nihil. Entah kenapa, kakinya tak bisa ia gerakan sama sekali. Rasanya mati rasa, otot-otot pada kakinya seperti melayang.

Farel menggeleng dan mencoba untuk kembali berpikiran positif, dan hasilnya tetap sama seperti yang awal. Ia menggeleng lagi merasa frustasi, menarik kuat kedua sisi sprei putih ranjangnya.

Ceklek

Pintu ruangannya terbuka, menampilkan Tyana dengan pakaian biasa dan beberapa camilan di pegangannya. Wanita itu tersenyum tipis sambil menghampiri Farel.

"Selamat pagi, sayangku." Tyana menjeda ucapannya untuk menaruh beberapa camilan yang ia beli dari minimarket rumah sakit. "Kenapa? Ada yang pusing atau sakit?" Tanyanya.

Farel menggelengkan kepalanya, ia menunduk sambil menahan tangis.

"Kaki Farel.. mati rasa, bun."

Jantung Tyana berdebar kencang mendengar penuturan Farel, ia lupa pasti Farel akan menyadarinya sendiri walau Tyana enggan memberi tahu atau membahas hal itu.

Tyana diam selama 2 menit, ia tak berani membalas ucapan Farel, takut ada salah kata yang pasti akan menyinggung putranya itu.

"Kenapa diem, bun?" Farel bertanya lagi.

Namun dengan segala cara, Tyana mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Kamu mau makan gak? Biar bunda panggilin suster buat ambil bubur."

"Jangan alihin topik, bun. Farel gak suka."

Kini malah dirinya sendiri yang tersinggung.

"Maaf." Ucapnya pelan. Ketika ia hendak menjelaskan, tapi perasaan itu kembali muncul. Perasaan takut menyinggung Farel, ia memutuskan agar Farel membaca sendiri surat pernyataan dari rumah sakit.

Farel menerima amplop panjang dari rumah sakit tersebut, ia membuka dan membaca isinya. Satu persatu kata ia baca, sejak awal perasaannya tidak enak.

Hingga pada akhirnya sampai dimana Farel tahu bahwa dirinya.. mengalami kelumpuhan.

Ia menggeram kesal, memukuli bagian sisi ranjang yang kosong untuk melampiaskan amarahnya.

Tangisnya sudah pecah ketika ia mendongak dan menatap bundanya, tak segan Tyana langsung memeluk Farel, mengusap-usap punggung putranya itu dengan sabar.

"Maaf, Farel. Bunda gak becus jaga kamu, maaf."

"B-bunda... " Ia merengek lagi.

"Iya, sayang."

"Farel ga bisa jalan lagi ya, bun?" Pertanyaan memilukan.

"Bisa, Farel. Pasti bisa! Kamu harus rajin terapi biar syaraf kakinya aktif lagi dan bisa pergi jalan-jalan bareng bunda."

"Tapi Farel ga yakin, bun. Untuk sekarang aja Farel ga bisa liat kaki Farel ada tapi ga berfungsi."

"Bukan engga! Tapi belum, kamu jangan kayak gini dong! Bunda ikut sakit liatnya." Tyana menangis pada akhirnya, tangisan yang ia tahan sedari tadi.

"Jadi Farel masih bisa jalan 'kan?"

"Bisa, sayang."

"Tapi Farel malu, bun." Ia melepas pelukannya dan menunduk. "Nanti kalo Andi, Zafran dan temen-temen Farel liat, gimana? Pasti mereka ngejek Farel."

"Bunda hajar kalo gitu. Kamu jangan terlalu memikirkan orang lain ya, Farel. Pikirin diri sendiri dulu, kita harus bangkit!"

Farel tak membalas, ia memilih untuk menerawang jauh bagaimana reaksi teman-temannya ketika tahu bahwa Farel berkondisi seperti ini.

Day To Day  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang