Beberapa bulan setelah pembicaraan tersebut, tidak ada perubahan. Hanya saja Ibu Tyana semakin gencar mendekati Qira, ia tidak mau berpisah dengan gadis rendah hati dan sopan itu. Walau mereka masih di satu kota yang sama, tapi beliau tidak akan bisa selalu bertemu dengan Aqira. Ditambah hari kelulusan Farel sudah di depan mata.
Suasana loby sekolah muslim tersebut ramai dengan ratusan siswa siswi yang akan menjemput kelulusannya di tahun ini, termasuk Farel, si murid pindahan yang dibicarakan mendapat ranking satu paralel di angkatannya dengan nilai ujian nasional terbesar.
"Arfarel Ganiaziz Halim, lulus dengan nilai sembilan puluh delapan koma tujuh puluh lima (98, 75) Silahkan naik ke atas panggung." ujar kepala sekolah, Pak Hadi Atmodjo dengan senyum ramah yang biasanya di sembunyikan.
"Arinka Melani, lulus dengan nilai sembilan puluh lima koma nol nol (95, 00) Silahkan naik juga." ucap beliau kembali. Arinka, gadis yang saat itu berkenalan sekaligus bicara dengan Farel mendapat peringkat kedua, namun hal tersebut tidak membuatnya kehilangan beasiswa.
"Ali Rasya, lulus dengan nilai delapan puluh sembilan koma lima puluh (89, 50) Silahkan menaiki panggung." ujar Pak Hadi menyebutkan nama terakhir yang memasuki tiga besar.
Mereka bertiga berjejer di atas panggung dengan posisi Farel di pinggi paling kanan. Pak Hadi melangkah mendekati ketiga muridnya tersebut sembari memberikan medali sekaligus piagam sebagai penghargaannya untuk terakhir kali.
"Raihlah mimpi yang selama ini kalian dambakan, setelah berhasil, jangan terlalu bergantung dengan uang dan teruslah menuntut ilmu. Selamat atas kelulusan kalian." tutur Pak Hadi tulus, kepala sekolah tampan dan muda asal Jawa itu memberikan senyuman paling tulus yang tak pernah diperlihatkan selama ia menjabat.
Mata Farel memanas, air mata mulai turun dari kelopak matanya. Ia menangis. Murid dan guru yang melihatnya berfikir bahwa Farel terharu karena kelulusannya sekaligus perpisahan sekarang. Tapi...
"Kangen Koro-sensei." gumamnya pelan, membuat Pak Hadi melunturkan senyumannya. Memang benar kata-kata Pak Hadi terinspirasi dari serial anime Assassination Classroom.
Dibawah panggung, Ibu Tyana tersenyum sendu. Tak menyangka putranya yang kemarin masih ia timang kini sudah beranjak dewasa, waktu berlalu begitu cepat dan terasa ringan. Layaknya kapas yang terbang terbawa angin.
"Ibu," panggil Qira pelan. Tyana menoleh, beliau menarik gadis itu kedalam pelukannya sekaligus menumpahkan rasa harunya.
"Bunda gak mau Farel jauh, Qira. Cuma Farel yang bunda punya, hiks." keluhnya terisak. "Sekarang kamu juga mau pergi, bunda makin kesepian.. "
"Bu.. " cicit Qira pelan. Ia semakin bimbang dengan keputusannya, sejujurnya ia tidak mau. Tapi.. entahlah, ia juga bingung.
"Kalo kamu mau kuliah, bunda masih sanggup biayain."
"Ibu, jujur saya masih ingin bekerja dirumah nyonya. Tapi saya harus kembali ke kampung halaman saya, maaf. Ini sudah keputusan saya.
"Arka bagaimana?"
Qira tersenyum, "saya percayakan Arka pada pak Jean, saya yakin pak Jean bisa memberi yang terbaik untuk putranya."
"Qira.. "
"Nyonya tidak akan menahan saya lagi, 'kan?"
Ibu Tyana mengambil nafas sedalam-dalamnya lalu menghembuskannya secara perlahan, ia juga mengulas senyum. "Engga, sayang. Apapun keputusan kamu, saya dukung."
Qira kembali memeluk Tyana tanpa ragu, ia juga ikut menangis karena akan berpisah dari Tyana, Arka dan juga Farel tentunya.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Day To Day ✓
Teen FictionArfarel yang saat itu sedang mabuk mengalami kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan pada kakinya, dan bundanya mempekerjakan perawat untuk Farel. --- "Waktu dan semesta adalah saksi bisu kisah kami." Dipublish: 26 Mei '20 Selesai: 7 Desember '20