Pagi hari menyambut. Matahari memancarkan sinarnya secara percuma untuk manusia melakukan aktivitas, tidak ada yang tidak berguna dari benda langit tersebut.
Qira mengambil selimut besar yang semalam ia pakai, lalu melipatnya. Ia menyimpan kemul putih tersebut di bagian paling ujung ranjang. Melihat kamar besar tersebut sudah rapih, ia melangkah keluar kamar menuju ruang makan.
"Ibu," panggil gadis itu pelan.
Ibu Tyana menoleh, alisnya terangkat. "Kenapa, Qira?"
"Boleh ngobrol sebentar? Tapi hanya berdua." pinta Qira sopan. Semalaman ia sudah mempertimbangkan tawaran Farel untuk pindah posisi pekerjaan, selain itu ia juga bisa melanjutkan kuliah tanpa harus mengeluarkan uang.
"Boleh-boleh, sebentar saya mau buat teh dulu. Kamu mau?" tawarnya disertai senyuman. Qira menggeleng.
"Saya aja yang buat, nyonya."
"Ga usah, saya mau buat yang spesial." ungkapnya bungah, kemudian beliau melangkah pergi menuju dapur.
Qira diam-diam tersenyum. Di sini, ia merasa diperhatikan layaknya anak oleh Ibu Tyana.
---
"Bikin apa, bun?" tanya Farel dengan gerakan tangan menggosok rambutnya yang basah. Seragam sekolah juga sudah tertempel pas ditubuhnya.
"Teh." jawab Ibu Tyana singkat.
"Kenapa ga Qira aja?"
"Orang yang tau resepnya cuma bunda."
"Mau satu dong," pintanya, ia mengambil secangkir teh yang sudah bundanya buat. "Yang ini, ya."
"Eh jangan, itu punya Qira. Sebentar bunda buatin buat kamu, sekarang sarapan dulu. Qira udah masak tadi." ucap sekaligus titahnya pada Farel, lelaki itu mengangguk patuh lalu duduk diatas kursi makan.
"Qira tadi ngajak bunda ngobrol berdua, makannya bunda buat teh. Kira-kira apa yang bakal di obrolin, ya?" Tutur Tyana sembari meletakan segelas teh hangat buatannya di atas meja makan.
"Dia mau ngundurin diri kali, atau yang lain."
"Hush! Jangan gitu, nanti bunda kesepian."
"Apa sih, kan masih ada Farel."
"Kamu kan lagi fokus belajar, bentar lagi try out. Lagian disini cuma Qira yang sejalan sama bunda, laki-laki ga akan ngerti."
"Ya udah." Final Farel mengalah. "Oh, ya. Farel udah milih kampus yang Farel mau, tapi ada di Amsterdam. Gapapa kan?"
Ibu Tyana tersenyum, ia mengambil sebuah kursi di sebelah Farel lalu mendudukinya. Tangannya tergerak mengelus punggung belakang putranya. "Gak apa-apa, selagi itu keputusan baik yang kamu ambil. Mau kuliah bareng Qira juga gak apa-apa, bunda masih sanggup."
Mata Farel mendelik, "Apa-apa Qira. Se-spesial apa sih cewe itu? Bunda pengen anak cewe? Gapapa bunda nikah lagi aja."
"Bukan gitu, Farel. Qira kehilangan kedua orang tuanya, kamu ga merasa kasihan?"
"Farel juga kehilangan ayah, bunda!"
"Tapi Farel masih punya bunda, bunda sayang banget sama anak bunda."
Farel memalingkan wajahnya, bibirnya ia lipat kedalam menahan senyum. Ia tersipu sekaligus geli, dirinya sudah besar tapi bundanya memperlakukan Farel layaknya anak kecil yang baru menginjak usia lima tahun.
"Kenapa ngejauh? Sini peluk. Kalo kangen ayah, besok kita ziarah bareng ke makam."
Lelaki itu menoleh, "Bareng Qira juga?" tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Day To Day ✓
Teen FictionArfarel yang saat itu sedang mabuk mengalami kecelakaan yang menyebabkan kelumpuhan pada kakinya, dan bundanya mempekerjakan perawat untuk Farel. --- "Waktu dan semesta adalah saksi bisu kisah kami." Dipublish: 26 Mei '20 Selesai: 7 Desember '20