Im back....
Udah lama nih nggak up. Niatan kan aku mau rampungin cerita ini di draf dulu dan Alhamdulillah udah sampe 21 chapter(spoiler), trus mau aku up semua sekalian sampe End.
Eh tangan udah nggak tahan ternyata.
Aku pun mau ngucapin makasih buat kakak-kakak dan adek-adek sekalian yang sudi mau baca cerita absurd aku sampe 17 chapter. APALAGI YANG UDAH BELA-BELAIN VOTE & COMMENT AKU MAKASIH BANGEEEET!
Udah segitu dulu, sekali lagi makasih semua....
Sang mentari telah menyembunyikan suryanya. Sinar dunia pun berganti tumpuan pada rembulan di atas sana, ditemani dengan berbagai sorot lampu kota yang turut hadir saat rembulan tak cukup mampu menyinari bumi.
Duduk bersandar pada kepala kursi dengan ditemani alunan musik yang menenangkan, ia tersenyum saat membayangkan sosok bidadari tanpa sayap yang ia sebut 'Bunda'. Bidadari yang sangat tangguh, yang mampu menjadi ibu yang baik di samping tuntutannya sebagai pengabdi negara. Masih teringat jelas saat tubuh tinggi tersebut terbalut seragam coklat yang pas dan cantik saat dikenakannya. Sampai sudut bibir itu kembali mengendur kala mengingat kepergian sang bunda.
"Galang di rumah dulu ya sama Ayah, juga Abang! Bunda kerja dulu."
Belaian itu...
Suara itu...
Galang sungguh merindukannya.
Ditutupnya pelan kedua matanya, merasakan hembusan angin dingin di malam hari. Membiarkan alunan musik yang ia setel mengalun lembut ditelinganya. Matanya selalu memanas setiap ia mengingat memori terakhirnya bersama sang bunda.
"Bunda di sini aja!"
"Nanti Bunda pulang."
Satu air mata telah keluar dari pelupuknya. Nyatanya kepulangan sang bunda membawa duka bagi semua orang. Tak pernah ia sangka arti pulang dari bundanya nyatanya seperti itu.
Semua salahnya. Jika saja ia kekeh mempertahankan bundanya, mungkin saat ini ia masih bisa merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Usapannya, dekapannya, tutur katanya, dan senyumannya, ia masih bisa merasakan itu semua.
"Lang?" ia menoleh, mendapati Dion yang bersandar di bibir pintu balkon. Entah sudah berapa lama Dion berdiri di sana, ia terlalu larut dalam bayang-bayangnya sendiri.
Dion berjalan mendekat, lantas mengambil duduk di sebelah Galang.
"Kangen Bunda, ya?" mendapati Galang mengangguk seraya mengusap air mata yang sialnya tak henti-hentinya keluar.
Mengerti perasaan sang adik, Dion menarik Galang dalam dekapannya. Ia tahu saat ini pasti Galang menyalahkan dirinya kembali, padahal semua orang juga tahu itu bukan kesalahannya.
"Udah jangan nangis! Bunda sedih tiap liat lo kayak gini."
"Gue udah buat Bunda pergi. Gue nyesel, Bang." Dion semakin mengeratkan dekapannya kala mendengar penuturan Galang di sela isak tangisnya.
"Stop nyalahin diri lo sendiri, Lang! Itu nggak ada sangkut pautnya sama lo."
"Kalo aja gue nggak biarin Bunda pergi, Bunda masih disini." Dion melepas pelukannya, memegang kedua bahu Galang yang masih bergetar karena menangis.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Restraint
CasualeHarta adalah salah satu penyebab munculnya perselisihan. Begitupun apa yang terjadi pada keluarga ini. Banyak masalah yang terjadi didalamnya, namun hanya satu penyebabnya. *Cerita ini hanya fiktif belaka, jika terjadi persamaan tokoh dan lainya moh...