20

485 27 1
                                    

Kebiasaan dari seorang Adib Nurrodin ketika makan adalah, banyak bicara alias berisik. Namun kali ini ia berbeda dari hari-hari biasanya, kini bocah tersebut hanya diam melamun dalam makannya. Sontak saja diamnya sang happy virus, menarik perhatian dari kedua orang tuanya.

"Kok sepi ya, Ma?" sindir Henry, namun masih tak mendapat respon dari si buah hati. Tentu itu mengundang tanya pada kedua orang dewasa tersebut.

Dengan saling pandang, merek saling melempar tatapan heran.

"Kenapa?" tanya Henry pada sang istri tanpa suara. Riana yang memang tidak tahu hanya menggidikkan bahunya. Ia juga heran melihat putranya diam seperti itu.

Tak ingin terlalu lama dalam rasa penasaran, pada akhirnya Riana angkat bicara dengan menyentuh lengan sang putra.

Adib yang terkejut, segera menoleh dengan alis bertaut, "Kenapa, Ma?"

"Harusnya Mama loh yang tanya gitu," ucapnya, "kamu kenapa? Tumben diem?"

Tatapan Adib beralih pada sang ayah, lantas kembali menunduk dan hanya memberikan gelengan lirih pada keduanya.

"Nggak mau cerita nih sama Mama?" gelengan kembali ia dapatkan, dan saat itu pula Riana tak mendesak putranya lagi. Ia lebih memilih membiarkan dan menunggu putranya sendiri yang akan bercerita, karena ia pun tahu sedari dulu Adib tak akan bisa memedam masalahnya sendiri.

Selepas Adib menyudahi sarapannya, ia pamit pada kedua orang tuanya untuk berangkat lebih dulu. Menyalakan sepeda motornya, lantas melaju menjauhi area rumah.

Sedari tadi malam yang Adib pikirkan adalah perbincangan ayahnya dengan ayah Galang. Fakta bahwa ayah Galang menyalahkan semua masalah itu pada dirinya sendiri, membuat ia bertanya-tanya dalam benak. Kesalahan apa yang telah diperbuat pria arogan itu sampai sahabatnya yang harus menjadi korban? Lalu ibunya… Benarkah jika meninggalnya tante Andrina karena masalah suaminya sendiri? Tapi mamanya bilang jika beliau meninggal karena kecelakaan kerja.

Lamunannya buyar begitu saja kala teman sebangkunya menepuk keras pundaknya.

"Kenapa?"

"Goblok, dipanggil noh!" dengan cepat Adib menoleh ke arah seseorang yang ditunjuk temannya.

"Adib Nurrodin, perlu saya antar kamu ke THT?!"

"Enggak, Bu, makasih."

Guru di depan semakin membulatkan matanya, kesal, "Kamu itu bukannya minta maaf, malah jawab lagi!"

"Eh, iya ya ampun, maaf, Bu!" teriaknya meminta maaf.

Guru tersebut hanya menghela napas, lantas kembali melirik daftar absen dihadapannya tanpa menjawab permintaan maaf dari murid nakalnya.

"Baru masuk aja udah dibikin kesel gini." gerutu guru tersebut, lantas melanjutkan kegiatannya mengabsen siswa di kelas.

Adib sendiri menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia bingung, sejak kapan gurunya masuk? Sejak kapan pula bel berbunyi?

***

Bel tanda tibanya istirahat pertama telah berkumandang, seluruh siswa berhamburan menuju kantin sekolah. Tak jarang pula yang memilih menetap di dalam kelas, karena ini pun masih terlalu pagi untuk mengisi perut. Dan Adib akan mengambil opsi pertama untuk hari ini, karena biasanya pun ia akan mendinginkan otaknya dengan air dingin di kantin. Namun sebelum itu, ia terlebih dahulu menuju kelas Galang untuk mengajaknya ke kantin bersama. Temannya yang satu itu tidak akan pergi jika tak ia seret.

Adib terheran kala sampai di kelas 11-1. Ia sama sekali tak menemukan Galang di sana. Menuju deretan bangku nomor dua dari depan, ia bertanya pada teman kelasnya terdahulu.

The RestraintTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang